BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Daerah
asal masyarakat Minangkabau diperjirakan seluas daerah propersi Sumatra Barat,
dengan dikurangi oleh kepulauan Mentawai, tetapi dalam pandangan orang
Minangkabau sendiri.daerah ini dibagi dalam bagian-bagian khusus. Bagian-baguan
khusus itu menyatakan alam asal (kampung halaman) dan alam rantau, yang adaerah
rantaunya di wilayah Medan. Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia,
rentangan sebelum dan sesudah kemerdekaan dalam tahun 1960. Masyarakat etnik
Minangkabau adanya suatu persoalan yang memicu suatu persoalan urbanisasi.
Ketika di alam rantau adaptasi dengan lingkungan setempat.
Bahwa
terjadinya urbanisasi maupun adaptasi masyarakat Minangkabau sangat dipengaruhi
misi budaya. Dimana misi ini sebagai seperangkat tujuan yang diterapkan dan
dicapai oleh anggota-anggota suatu masyarakat tersebut. Misi budaya masyarakat
Minagkabau yaitu berbunyi sebagai berikut: membawa kekayaan, pengetahuandan
keduanya sebagai penguat dan memperkaya kampong halamannya. Ini salah satu
factor yang mendorong masyarakat Minangkabau untuk merantau. Apabila kembali
dari perantauan dimana masyarakat Minangkabau masih terikat alam asal (kampung
halaman) dan juga cara beradaptasi masyarakat Minangkabau dipengaruhi oleh misi
budaya. Keberhasilan dan kegagalan dalam seorang perantau diukur dengan
keberhasilan misi budaya tersebut. Apabila masyarakat etnik Minangkabau gagal
dalam perantauan dan pulang ke kampong halamannya dan dikampung dia akan
dikucilkan.
Dengan
adanya urbanisasi dan adaptasi dialam rantau bagi masyarakat etnik Minangkabau
memberikan tantangan pada masyarakat Minangkabau untuk menjawab perubahan
social yang ada, dengan kondisi kebutuhan masyarakat etnik Minangkabau.
Otomatis ada kebutuhan untuk memperbarui misi budaya, untuk menjawab perubahan
social, walau ada resika disintegrasi identitas. Modernisasi pada masyarakat
Minangkabau tidak dapat lepas dari peran perkembangan zaman. Dinamika budaya
masyarakat Minangkabau pun mulai mengalami perkembangan kearah masyarakat
modern.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini antara lain sebagai berikut:
1.
Bagaimana proses
terjadinya urbanisasi masyarakat Minangkabau ?
2.
Bagaimana proses
adaptasi masyarakat Minangkabau di alal rantau ?
3.
Bagaimana dinamika
budaya dalam konteks masyarakat etnik Minangkabau ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan
diatas, maka tujuan penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut:
1.
Mendiskripsikan proses
terjadinya urbanisasi masyarakat Minangkabau.
2.
Mendiskripsikan proses
adaptasi masyarakat Minangkabau di alam rantau.
3.
Mendiskripsikan
dinamika budaya dalam konteks masyarakat etnik Minangkabau.
D. Kerangka Berpikir :
Ignas Kleden
Setiap
pembaruian suatu budaya bahwa pada mulanya kebudayaan adalah nasib dan baru
kemudian kita menanggungnya sebagai tugas. Pada mulanya kita adalah penerima
yang bukan saja menghayati tetapi juga menjadi penderita yang menanggung beban
kebudayaan tersebut kita bangkit dalam kesadaran untuk turut membentuk dan
mengubahnya. Pada dasarnya kita adalah pasien kebudayaan sebelum kita cukup
kuat untuk menjadi agennya.
Apabila
suatu konsep sejarah diterjemahkan kedalam kebudayaan dan kebudayaan dapat juga
dipakai suatu dialektik antara penemuan dan pencarian antara integrasi dan
disentegrasi antara tardisi dan reformasi. Tanpa adanya reformasi atau
disentegrasi suatu kebudayaan akan kehilangan untuk berkembang. Dimana untuk
memperbarui diri dan menyesuaikan diri dengan adanya suatu perubahan social
yang ada didalam masyarakat.
Dengan
adanya reformasidalam kebudayaan atau sesuai dengan sifat kebudayaan yang
dinamis. Ini dapat memberikan dampak bagi kebudayaan itu sendiri, dimana akan
mengalami resiko, baik identitasnya maupun resiko bagi pembarunya. Missal
dengan tetap mengandalkan tradisi dan integrasi, dalam suatu kebudayaan akan
terpelihara identitasnya, terjamin kelanjutan hidupnya, akan tetapi belum tentu
menjamin perkembangan lebih lanjut. Sebaliknya apabila mengutamakan reformasi
dalam kebudayaan dapat memebrikan dampak yaitu terjadinya disintegrasi
identitas lama, namun belum bias dipastikan suatu identitas baru akan muncul
dan apabila muncul, apakah identitas baru itu dapat memberikan rasa aman dan
pegangan baru yang lebih sesuai.
Kebudayaan
dapat dipakai sebagai sumber pandangan dunia (Weltenschauung) yang memungkinkan seseorang mampu menangkap
dunianya kedalam persepsinya (otologi) dan menangkap bukan sebagai sesuatu yang
kacau, melainkan sesuatu yang beraturan dan bermakna (kosmologi). Jika otologi membuat
kebudayaan menjadi suatu realitas, maka kosmologi mebuatu kebudayaan menjadi sistem
realitas dan sistem makna.
Dalam
pandangan dunia diterjemahkan mejadi tingkah laku, akan didapati pandangan
hidup (Lebensanschauung) yang tidak hanya
memungkinkan seseorang mengetahui dan memahami, tetapi juga mengambil sikap
terhadap apa yang dia ketahui atau pahami. Dunianya tidak ditanggapi hanya
sebagai sesuatu yang ada (ontologi), tetapi juga sesuatu yang mengandung
nilai-nilai dan peraturan mengenai nilai-nilai itu. Pada sistem nilai inilah
ditentukan, entah suatu kebudayaan sebagai sistem pengetahuan dan sistem makna
dapat berubah menjadi sistem, tingkah laku, perbuatan dan tindakan. Secara
singkat etika dan moral sebagai titik kritis menentukan apakah sistem budaya
yang terdiri dari perangkat makna dan perangkat nilai dapat diterjemahkan
menjadi sistem social baru tindakan, perbuatan dan tingkah laku sosial. Pada
masyarakat selalu terjadi perubahan sistem budaya dan sistem sosial untuk
menjawab tantangan perubahan social yang ada.
BAB II
PEMBAHASAN
Proses Terjadinya Urbanisasi Masyarakat Minangkabau
Dilihat dari beberapa alasan ketika
orang-orang Minangkabau jauh dari daerah asalnya. Pertama, keinginan mereka
untuk mendapatkan kekayaantanpa menggunakan tanah-tanah yang ada, ini dapat
dihubungkan sebenarnya dengan keadaan bahwa seorang laki-laki tidak mempunyai
hak menggunakan tanah itu untuk kepentingan keluarga matirilinealnya. Kedua,
ialah perselisihan-perselisihan yang menyebabkan bahwa orang yang merasa
dikalahkan akan meninggalkan kampong dan keluarga untuk menetap ditempat
lain.(Koentjaraningrat, 2002:249)
Dalam mata pencaharian masyarakat
Minangkabau didaerah asalnya (kampung halaman). Sebagian besar masyarakat Minangkabau
tergantung pada tanah. Dimana daerahnya. Dimana daerahnya ini sangat subur
dengan cakupan air yang tersedia., sebagian besar orang Minangkabau mengolah
sawah, sedangkan pada daerah yang tinggi banyak orang menanam sayur mayUr untuk
perorangan, sebagian kubis, tomat dan sebagainya. Didaerah kawasan pesisir
mereka hidup dari tanah dan menghasilkan kelapa.
Pada saat orang Minangkabau meulai
meninggalkan sekitar pertanian. Disebabkan karena tidak adanya tanah pertanian
yang tidak memberikan cukup hasil, ini menimbulkan kesadaran masyarakat
Minangkabau dalam bidang pertanian tidak nisa memberikan kekayaan yang
diinginkan orang Minangkabau. Orang-orang tersebut beralih ke sector
perdagangan, ada juga diantara mereka yang karena pendidikan mereka tidak mau
kembali ke pertanian dan menjadi pegawai lalu mendapatkan gaji. Mereka menjadi
pedagang, memilih lapangan tekstil, kelantangan atau rumah papan (lepau).
Masyarakat Minangkabau dilihat dari
mata pencaharian yang pengaruhnya sector pertanian, berdagang, ada tekanan pada
kumpulan yaitu garis matrilineal memungkinkan terjadinya urbanisasi. Namun,
jika menekankan pada garis matrilineal terjadi urbanisasi masyarakat
Minangkabau belum memberikan jawaban yang mendekati kebenaran. Karena pada
masyarakat Minangkabau digolongkan sebagai seorang bangsawan yang betul-betul
mempunyai kedudukan yang tinggi dimasyarakat. Seorang laki-laki bangsawan
pernah mendapat pelajaran istimewa jika mereka kawin tidak perlu member belanja
istrinya. Bahkan untuk menikahi seorang gadis, ia akan mendapatkan sejumlah
uang yang besar sebagai uang jemputan. Ia secara langsung akan dapat
memperbaiki kedudukan social dari keluarga istrinya, karena anaknya akan lebih
tinggi lapisan sosialnya dari ibunya sendiri. Seorang bangsawan di Pariaman,
katakanlah bangsawan itu Haju, yang kawin dengan seorang wanita biasa, maka
anaknya akan mendapatkan gelar bangsawan pula. Tapi raja tetap kedudukannya
lebih tinggi.
Perbedaan di lapisan social dapat
dihubungkan dengan perbedaan kedatangan suatu keluarga ke dalam suatu tempat
tertentu, keluarga bangsawan. Karena itu, mereka dalam masyarakat Minangkabau
juga dikenal sebagai Urang Asa (orang asal) keluarga-keluarga yang datang
kemudian, tetapi tidak terkait seluruhnya kepada keluarga asal, dapat membeli menjadi
orang biasa atau golongan pertengahan dalam masyarakat yang bersangkutan. Tidak
demikian halnya dengan keluarga-keluarga yang lebih dulu datang dengan jalan
menghambakan diri mereka. Itulah yang dianggap paling rendah dalam masyarakat
tersebut(Koentjranaingrat,dkk, 2002:258).
Dalam perkembangan waktu Islam mulai
masuk pengaruhnya di Sumatra Barat. Ada pertentangan adat dan agama Islam,
ketika nasehat yang ditunjukkan kepada penduduk mengenai sabungan ayam dan
pekerjaan-pekerjaan maksiat lainnya diabaikan saja. Tetapi, suatu ketika ia
merasa gusar mengenai hal itu dan diputuskan oleh Haji miskin untuk membakar
balai adat yang dipuja itu dan hal ini benar-benar dilakukannya(Abdullah,
1990:154).
Dengan berjalannya waktu ajaran
agama Islam mulai mendominasi kepada masyarakat Minangkabau. Dimana masyarakat
tantang garis matrilineal mulai luntur dengan Islam masuk dimana garis
patrilineal yang dipakai.
Disinilah
masyarakat Minangkabau bermigrasi karena adanya misi budaya ketika masyarakat
Minangkabau mayoritas agama Islam, dimana mereka menyatakan bahwa Islam adalah
kesempurnaan dari adat, bahwa Islam memberikan basis transeden untuk
adat.(Pelly, 1998:37). Misi budaya sebagai factor urbanisasi masyarakat
Minangkabau, menurut Usman Pelly, bahwa masyarakat Minangkabau dalam misi
budaya sebagai berikut : pertama membawa kekayaan pengetahuan dan pengalaman
untuk memperkuat dan memperkaya alam Minangkabau dimana ini sebagai cawan yang
didalamnya didasari nilai-nilai dominan dari pandangan dunia masyarakat Minangkabau.
Apabila orang Minangkabau gagal dalam mewujudkan misi budaya dan kembali ke
kampung halamannya.
Akan
dikenal oleh masyarakat kampung. Ajaran Islampun mulai memberikan jawaban
ketika masyarakat yang masih memegang kuat adat Matrilineal, orang laki-laki
pergi ke surau-surau dan lepau. Surau adalah pusat pendidikan agama dalam arti
luas, sedangkan lepau adalah sebagai lembaga bisnis melambangkan keduniawian,
kekasaran dan keberanian. Dimana Muhammadiyah erat dengan budaya Minang. Misi
budaya orang Minangkabau yang membuat terjadinya urbanisasi sewaktu-waktu akan
berubah dari sudut pandang orang Minangkabau apabila tidak sesuai kebutuhan
akan perubahan social yang ada di masyarakat.
Proses Adaptasi Masyarakat Minangkabau di Alam
Rantau
Kota Medan adalah terdiri banyak
pemukiman para perantau. Dalam pemukiman-pemukiman para perantau terjadi saling
tukar-menukar pikiran mengenai pekerjaan, sanak saudaradan bagaimana
menjalankan tradisi untuk mendorong perantau-perantau kota yang baru. Dengan
adanya kampung-kampung rantau ini akan menyerap perantau-perantau baru untuk
datang, karena ada hubungan sanak saudara dari desa asal sebagai penghubung
dalam mencari pekerjaan dan penginapan sementara.
Pemukiman masyarakat etnik
Minangkabau, setelah kemerdekaan pemukimannya berpindah ke pusat-pusat
perbelanjaan baru, berbeda dengan keturunan orang-orang Cina, orang Minangkabau
tidak membangun rumah atau toko baru, tetapi membeli atau menyewa rumah-rumah
rakyatdari pemilik-pemilik lama sekitar pusat-pusat perbelanjaan tersebut. Para
pemilik rumah-rumah tersebut sebagian besar adalah suku Melayu, Jawa, atau
Mandailing yang akan menyewakan atau menjualnya supaya dapat dipindah ke tempat
yang lebih baik, jauh dari pusat-pusat perbelanjaan yang selalu sibuk dan
hiruk-pikuk, karena itu orang-orang Minangkabau tadi tidak mengubah struktur
fisik kampung-kampung sekeliling pasar-pasar. Mereka hanya mengambil alih rumah
demi rumah. Populasi Minangkabau sekitar pasar-pasar terus bertambah setelah
beberapa tahun, berkembanglah kerumunan kampung-kampung etnik Minangkabau
tersebut mengelilingi pusat-pusat perbelanjaan(Pelly, U. 1998: 94-95).
Dalam pemilihan pekerjaan utama
Minangkabau ada tiga yaitu dagang, tukang mandiri dan profesi.
Pekerjaan-pekerjaan ini memberikan kebebasan individu yang sangat mereka hargai
dan tidak membawa keterkaitan dengan setting perantau mereka dimaan seperti
pada pekerja pegawai pemerintah yang mungkin akan menyulitkan misi budaya
mereka. Dimana misi budaya masyarakat Minangkabau masih terikat dengan kampung
asalnya.
Tradisi pulang balik antara kampung
halamn dan kota mengurangi modal dari perdagangan Minangkabau dan menghambat
pengembangan bisnis mereka. Orang Minangkabau berbeda dengan orang Cina, tidak
banyak memiliki pengalaman dalam mebina hubungan dengan kelas penguasa. Akibat
pada masa Belanda, orang-orang Cina berhasil menahan suku Minangkabau pada
perdagangan kecil.
Dari berbagai alasan mengapa posisi
orang Minangkabaudalam pandangan dikota tidak berubah dan barangkali bahkan
makin menurun setelah kemerdekaan. Oertama, selama revolusi (1945-1950)
kebanyakan perdagangan Minangkabau meninggalkan kota dan bergabung dengan
gerilya desa. Ketika mereka kembali ke kota dalam 1950-an, mereka membangun
kembali bisnis menjadi pedagang keliling, mereka berpindah dari kota ke kota,
dari pasar kota ke pasar perkebunan dan dari pasar ke pasar. Ini merupakan
akibat pola urbanisasi orang Minangkabau, antara alam rantau ke alam asal.
Dimana kembali ke alam asal(kampung halaman) membawa perubahan untuk membangun
kampung halamannya dan berangkat ke alam rantauan membawa misi budaya dan
perubahan budaya.
Di alam rantau orang laki-laki
Minangkabau sudah mempunyai kemandirian mulai umur 10 tahun sudah berdiam di
surau, lepau, dimana suaru dan lepau sebagai tempat untuk belajar agama dan
diskusi untuk memecah suatu permasalahan. Sedangkan lepau sebagai penguat di
sector ekonomi dan dimana Minangkabau di alam rantau mulai menguatkan identitas
kelompok dengan ikut organisasi Muhammadiyah.
Para perantau Minangkabau mulai
menganggap daerah rantau sama pentingnya dengan kampung halaman. Dimana
peninjauan kembali tentang misi budaya dimana masyarakat Minangkabau yang
kembali kekampung halamannya akan menganggu bisnisnya sudah dijalankan dimana
pekerjaan ini tidak dapat ditinggalkan. Dan dengan adanya telepon yang
memudahkan untuk berkomunikasi pada keluarga dikampung halaman disini letak
masyarakat Minangkabau mulai menjawab tantangan perubahan social yang terjadi
dimana misi budaya yang mempunyai ikatan dalam kampung diperbarui lagi untuk
menjawab perubahan social yang ada.
Dinamika Budaya Dalam Konteks Masyarakat Minangkabau
Dimulai dari pertentangan antara
kaum Adat dengan Islam, ketika Haji Miskin memberikan nasehat kepada kaum Adat
yang bermain judi sabung ayam. Namun kaum Adat tidak dipakai bahkan diacuhkan,
Haji Miskin merasa gusar dan diputuskan untuk membakar balai adat. Dimana balai
Adat dan agama Islam pun tak terhindarkan namun dengan berjalannya waktu ajaran
Islam mulai banyak dipakai oleh masyarakat Minangkabau. Ajaran Islam melarang
makan sirih, minum candu dan minuman keras, begitu pula main judu. Adapun
memakai pakaian sutera dan perhiasan dari emas hanyalah diizinkan bagi kaum
Ibu. Dengan nilai-nilai norma yang ada saat itu sesuai dengan jiwa zaman dan
menjawab kebutuhan masyarakat Minangkabau untuk tantangan zaman.
Dari pertentangan syariah dan adat
diselesaikan di kampung halaman Minangkabau lalu kemudian dibawa ke perantauan.
Dimana masyarakat mengalami krisis identitas namun Islam memberikan identitas
yang bagus yaitu diibaratkan keturunan Iskandar Zulkarnain.
Sistem budaya Minangkabau merupakan
wujud yang abstrak dari kebudayaan Minangkabau. Sistem budaya merupakan ide-ide
dan gagasan manusai yang hidup bersama dalam suatu masyarakat. Gagasan tersebut
tidak dalam keadaan lepas satu dari yang lainnya, tetapi selalu berkaitan dan
menjadi satu sistem. Dengan demikian sistem budaya adalah bagian dari
kebudayaan yang diartikan pula adat istiadat. Adat-istiadat mencakup sistem
nilai budaya, sistem norma, norma-norma menurut pranata-pranata yang ada
didalam masyarakat yang bersangkutan, termasuk norma agama.
Fungsi sistem budaya menata dan
menetapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia. Proses belajar dari sistem
budaya ini dilakukan melalui pembudayaan itu institutionalization (pelembagaan). Dalam proses pelembagaan ini,
seorang individu memperlajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya
dengan adat-adat, sistem norma dan perantauan yang hidup dalam kebudayaan.
Proses ini dimulai sejak kecil, dimulai dari lingkungan keluarganya, kemudian
dengan lingkungan diluar rumah. Mula-mula dengan meniru berbagai macam tindakan
setelah perasaan dan nilai budaya yang memberikan motivasi akan tindakan meniru
itu. Diinternalisasi dalam kepribadiannya, maka tindakannya itu menjadi suatu
pola yang mantap dan norma yang mengatur tindakan dibudayakan(Sulaeman,
1998:15-16). Dimana masyarakat Minangkabau melakukan reformis kebudayaan untk
menjawab perubahan social. Walaupun itu akan memberikan resiko krisis
identitas, namun pintar kaum Agamis yang reformis terhadap menjawab kebutuhan
masyarakat Minangkabau terhadap krisis identitas dan Iskandar Zulkarnainlah
sebagai jawaban bahwa orang Minangkabau keturunan dari Iskandar Zulakarnain.
Dengan masyarakat Minangkabau
mempunyai pepatah “sekali banjir datang sekali pada lubuk mandi
berpindah”(sekali air bah datang, sekali tepian berubah). Konsep tradisional
Minangkabau memberikan pandangan bahwa perubahan tidak dapat ditolak, dan juga
ada pepatah sebagai pedoman elok nan usang diperbarui, daripada mencari nan
lian (baiklah yang lama itu diperbarui daripada mencari yang lain).
Dimana masyarakat Minangkabau akan
dikuatkan dengan generasi berikutnya ketika Islam mendominasi di masyarakat
Minangkabau bahwa Islam ada kesempurnaan dari adat, bahwa Islam memberikan
basis transenden untuk adat. Agama Islam memberikan pendidikan walau itu
berbasis agama namun membuat sumber daya manusia, disinlah akan memicu
perubahan dunia, dimana akan diterjemahkan weltanschauung
modernitas(Berger.,L.P, 1992:26).
Dilihat dari tipe masyarakat yang
ideal menurut Kluckhohn dan Stroedbeck;(1) masyarakat tradisional,(2)masyarakat
peralihan,(3)masyarakat modern masing-masing ciri dasar sebagai berikut:
Pertama, masyarakat tradisional
mempunyai kecenderungan untuk memandang bahwa hdiup manusia itu buruk, tujuan
karya adalah untuk mempertahankan hidup, berorientasi ke masa lampau cenderung
menyerah pada alam, serta memiliki rasa gotong-royong yang tinggi.
Kedua, masyarakat peralihan memiliki
kecenderungan untuk memandang hakekat hidup itu buruk, tetapi wajib berikhtiar
agar menjadi baik, tujuan karya adalah untuk kedudukan dan kehormatan,
berorientasi ke masa lampau dan masa kini, cenderung meyelaraskan diri denagn
alam serta cenderung bergantung pada tokoh atasan yang berpangkat.
Ketiga, masyarakat modern cenderung
memandang bahwa hidup pada hakekatnya baik dan menyenangkan, berkarya demi
meningkatkan karya sendiri. Berorientasi ke masa depan, berusaha menguasai
lingkunfan alam, hubungan antara anggota masyarakat didasarkan pada
prinsip-prinsip individualisme.
Walaupun masyarakat Minangkabau
belum secara sempurna menunjukkan sebuah cirri dari masyarakat modern tetapi mulai menuju kea rah
tersebut, dilihat meningkatkan kerjha mereka dan berorientasi ke depan, saat
misi budaya mereka tidak menjawab kebutuhan perubahan social mereka akan
memperbaruinya.
Dilihat dari sudut pandang lain
bahwa proses perubahan masyarakat dan kebudayaan yang dikehendaki dan
direncanakan, biasanya dinamakan modernisasi. Proses modernisasi ini pada
intinya berarti peningkatan kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya yang mencakup:
a.
Kebutuhan akan sandang,
pangan dan papan.
b.
Keselamatan terhadap
jiwa dan harta benda.
c.
Kesempatan yang wajar
untuk dihargai (sehingga mempunyai harga diri)
d.
Kesempatan untuk dapat
mengembangkan kemampuan atau potensi.
e.
Mendapatkan kasih
saying dari sesamanya(Soerjono.S, 1992: 43-44).
Ini
lebih dekat dengan ciri masyarakat Minangkabau yang sudah mengalami modernisasi
pada masa setelah merdeka sampai tahun 1960. Saat orang Minangkabau memenuhi
misi budaya dalam alam rantau yang masih terikat oleh kampung halaman namun dengan
adanya kemajuan IPTEK berupa telepon dapat mempermudah hubungan dengan keluarga
dikampung halaman. Ini salah satu indikator misi budaya mulai diperbarui.
Dari
sudut lain lagi, kemajuan IPTEK yang terjadi pada masa kini seringkali
dikaitkan dengan istilah modernisasi, yang memiliki arti sebagai suatu usaha
hidup sesuai dengan zaman konstelasi dunia sekarang(Koentjaraningrat,
1984:140-141) dan supaya menyeluruh. Modernisasi pada hakekatnya merupakan
serangkaian perkembangan dan perubahan nilai-nilai dasar, meliputi nilai teori,
nilai sosial, ekonomi, kekuasaan atau politik, nilai estetika dan nilai agama. Secara
harafiah, kata modern berarti sesuatu yang baru menggantikan sesuatu yang telah
lama berlaku(Hasan, 1987:5). Walau Minangkabau merestorasi budayanya tetapi
nilai-nilai lama yang masih bisa dipakai dan perubahan dari luar yang sesuai
dan bisa menjawab kebutuhan perubahan sosial yang dihadapi masyarakat
Minangkabau.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bahwa
masyarakat etnik Minangkabau dengan pepatahnya yang menyatakan “sekali banjir
datang sekali pula lubuk mandi berpindah(sekali air bah datang, sekali tepian
berubah)”. Dilihat dari makna pepatah ini masyarakat Minangkabau mempunyai
sifat terbuka atas perubahan yang terjadi. Sejak Islam masuk daerah Sumatra
Barat, dimana ada pertentangan adat dan ajaran Islam. Dengan banyaknya waktu
masyarakat etnik Minangkabau mulai banyak memeluk Islam. Ajaran adat pun yang
menjunjung tinggi matrilineal namundengan masuk silam mulai tergoyahkan garis
patrilineal denga sifat keterbukaan orang Minangkabau untuk menjawab kebutuhan
dari perubahan social, orang Linangkabau mulai memperbaiki nilai-nilai adat.
Dalam masyarakat etnik Minangkabau
sanagt kental dengan migrasi kea lam rantau dimaan diakibatkan beberapa factor
garis matrilineal dan adanya misi budaya masyarakat etnik Minangkabau. Tidak
kalah penting ketika masyarakat Minangkabau mereformis budaya untuk menjamin
perkembangan lebih lanjut. Namun dalam reformis ini juga member efek pada
masyarakat etnik Minangkabau yaitu terjadinya disintegrasi identitas lama, itu
terbukti saat nmasyarakat etnik Minangkabau identitas baru yang diberikan oleh
pemuka agama sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain yang tidak diragukan lagi
tokoh besar ini.
Dengan munculnya identitas baru ini
juga akhirnya memberikan rasa yang aman dan semangat untuk menaklukkan daerah
rantau. Masyarakat etnik Minangkabau sebenarnya mempunyai pemikiran yang modern
untuk menafsirkan kembali budaya, terutama ketika di alam rantau yang terikat
oleh kampung halaman, namun dengan kemajuan zaman adanya telepon dan pekerjaan
yang tidak dapat ditinggalkan menafsirkan kembali nilai-nilai budaya untuk
memenuhi kebutuhan nilai budaya yang lebih bisa menjawab perubahan sosial yang
terjadi.
Daftar Rujukan
Abdullah, T. 1990. Sejarah Lokal di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Yogyakarta; Gadjah
Mada Unversity Press
Berger, L.P. 1992. Kabar Angin Dari Langit: Makna Teologi dalam Masyarakat Modern. Jakarta: LP3ES.
Hasan, M. Z. 1987. Pendidikan dan Modernitas Individu dalam Proses Pembentukan Manusia
Pembangunan di Indonesia (Ceramah Ilmiah, disampaikan dalam rangka Dies Natalis
IKIP Malang XXXIII, Tanggal 18 Oktober 1987). Malang: IKIP Malang
Kleden, I. 1987.
Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta:
LP3ES
Koentjaraningrat.
1984. Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia
Koentjaraningrat,
dkk. 2002. Manusia dan Kebudayaan
Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Pelly, U. 1998. Urbanisasi
dan Adaptasi: Peran Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES.
Soekanto, S.
1992. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta:
Rajawali Press.
Sulaeman, M.
1998. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung:
PT Refika Aditama.