MODERNISASI, DALAM
KONTEKS DINAMIKA SOSIAL PETANI DI DESA JARIT, KECAMATAN CANDIPURO, kabupaten lumajang
(STUDI KASUS DARI SUDUT
PANDANG PETANI TERHADAP UPACARA WIWIT)
Makalah
Untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Teori Sosiologi
Yang
Dibimbing oleh Bapak Nurhadi
Oleh :
Faris Dwi Ristian
107261407223
Universitas
Negeri Malang
Fakultas
Sastra
Jurusan
Sejarah
Prodi
Pendidikan Sejarah
November, 2009
MODERNISASI, DALAM KONTEKS DINAMIKA SOSIAL PETANI DI
DESA JARIT, KECAMATAN CANDIPURO, KABUPATEN LUMAJANG (STUDI KASUS DARI SUDUT
PANDANG PETANI TERHADAP UPACARA WIWIT)
Abstrak: Upacara
wiwit merupaka makna ucapan syukur kepada Dewi Sri dimasa Hindu-Budha. Dimasa
Islam, desa Jarit sering memadukannya dengan agama dan era modernisasi hanya
tinggal menjadi sebuah ritual yang tak mempunyai makna yang mendalam. Pandangan
ini sebagai bergesernya sudut pandang makna upacara wiwit di desa Jarit, bahkan
mengalami akulturasi untuk memenuhi perubahan social yang terjadi di masyarakat
Jarit.
Kata kunci:
Modernisasi, wiwit, dinamika.
Latar Belakang
Studi kasus ini meninjau dari adanya
perubahan kebudayaan tidak dapat lepas. Adanya perubahan social, karena
perubahan social mencakup unsure kebudayaan materiil dan juga mencakup unsure
kebudayaan immaterial. Desa Jarit sendiri wilayah yang masuk kecamatan
Candipuro. Tradisi upacara wiwit yang dilaksanakan para petani, mengalami
berbagai perubahan dari segi makna dan sudut pandang makna. Pada saat Islam
mulai masuk dan mendominasi. Upacar wiwit sendiri mulai mendapat pengaruh,
dimana upacara wiwit sendiri sebagai makna ucapan rasa syukur kepada Dewi Kesuburan
atas hasil panen dari petani yang diperoleh. Akulturasinya antara tradisi
dengan ajaran Islam yang menjawab perubahan social di masyarakat desa Jarit.
Dengan era modernisasi upacara wiwit
masih eksis didesa Jarit namun makna dari upacara tersebut makna yang sudah
bergeser hanya sebagai ritual. Dimana nilai-nilai didalam makna wiwit sendiri
mulai dari masa Hindu-Budha merelevansikan dengan ekosistem alam yaitu menjaga
keharmonisan alam. Dimana waktu Islam dengan akulturasi tradisi dengan ajaran
Islam menimbulkan keharmonisandari alam dan ditanamkan sesama manusia yang
terutama terhadap Allah. Masa modernisasi petani banyak mengalami sesuatu yang
komplek, seperti fakta ekologi, pemasaran, ketergantungan pada pupuk. Dengan
masalah ini petani sebenarnya bisa memaknai sebuah tradisi bukan hanya selalu
mengulang tanda ada makna dari dunia pertanian.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana upacara wiwit
dalam kajian teori modernisasi?
2.
Bagaimana asal-usul
kepercayaan terhadap Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan?
3.
Bagaimana dinamika
upacara wiwit di desa Jarit dalam makna social?
Tujuan
1.
Mendeskripsikan upacara
wiwit dalam kajian teori modernisasi.
2.
Mendeskripsikan
asal-usul kepercayaan terhadap Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan.
3.
Mendeskripsikan
dinamika upacara wiwit di desa Jarit dalam makna sosial.
PEMBAHASAN
Upacara Wiwit dalam
Kajian Teori Modernisasi
Desa Jarit sendiri yang cakupan
wilayahnya masuk kecamatan Candipuro, kabupaten Lumajang. Dalam era modernisasi
akan banyak mengalami perubahan, pembaruan adakalanya pergeseran,
perubahan-perubahan tersebut ada yang menyangkut struktur dan organisasi
masyarakat, berikut lembaga-lembaganya yang disebut pula dengan transformasi structural dan adakala
perubahan-perubahan itu menyangkut norma, nilai, dan pandangan serta perilaku
yang disebut dengan tranformasi
structural (Tutik dan Trianto, 2008:10).
Kemajuan IPTEK yang terjadi pada
masa kini seringkali dikaitkan dengan istilah modernisasi yang memiliki arti
sebagai suatu usaha hidup sesuai dengan zaman dan kontelasi dunia sekarang
(Konetjaraningrat, 1984: 140-141). Dalam kemajuan IPTEK yang berlangsung dengan
cepat, semisal dibidang informatika, telekomunikasi dan transportasi. Dimana
ini telah berkembang dengan cepat ke daerah-daerah dan terutama di daerah yang
sangat terbuka terhadap suatu perubahan zaman. Ini akan memberikan pengaruh
yang sangat besar terhadap khasanah budaya pada bidang-bidang fisik dan sosial.
Dari pendapat Koentjaraningrat
(1983) tentang modernisasi perlu dirangkai dengan pendapat lain tentang hal
yang sama agar dapat memberikan gambaran yang lebih mendalam. Modernisasi pada
hakekatnya merupakan serangkaian perkembangan dan perubahan nilai-nilai dasar,
meliputi nilai teori, nilai social, ekonomi, kekuasaan, atau politik, nilai
estetika dan nilai agama.secara harafiah, kata modern berartisesuatu yang baru
menggantikan sesuatu yang lama berlaku (Mustopo.H, dkk, 2003: 133). Dalam
pengertian sesuatu yang baru ini belum tentu baik dari yang lama dan apabila
perubahan itu tidak menjadi lebih baik, terjadi disharmonis dan sebaliknya
perubahan menjadi lebih akan terjadi nilai harmonis baik dari masyarakat
ataupun individu.
Dalam study modernisasi dapat
dilakukan dengan menggunakan 2 pendekatang: pendekatan kelompok (modenrnisasi
masyarakat) dan pendekatan individual (modernisasi manusia). Pendekatan
kelompok yang sudah dilakukan oleh Kluckhon dan Stroedbeck dengan teori value orientation.
Hasil studi diberbagai masyarakat,
Kluckhon dan Stroedbeck merumuskan 3 tipe ideal masyarakat : (1) masyarkat
tradisional,(2) masyarakat peralihan dan (3) masyarakat modern, masing-masing
dengan beberapa cirri sebagai berikut:
Pertama, masyarakat tradisional
mempunyai kecenderungan untuk memandang bahwa hidup manusia itu buruk, tujuan
karya adalah untuk mempertahankan hidup, berorientasi ke masa lampau cenderung
menyerah pada alam serta memiliki rasa gotong-royong yang tinggi.
Kedua, masyarakat peralihan memiliki
kecenderungan untuk memandang hakekat hidup itu buruk, tetapi wajib berikhtiar
agar menjadi baik. Tujuan karya adalah untuk kedudukan dan kehormatan,
berorientasi ke masa lampau dan masa kini cenderung menyelesaikan diri dengan
alam, serta cenderung bergantung pada tokoh atasan yang berpangkat.
Ketiga, masyarakat modern cenderung
memandang bahwa hidup itu pada hakekatnya baik dan menyenangkan, berkarya demi
meningkatkan karya itu sendiri. Beroreintasi ke masa depan, berusaha menguasai
lingkungan alan hubungan antar anggota masyarakat didasarkan pada
prinsip-prinsip individualisme.
Dalam pendekatan individual dalam
studi modernisasi bertolak asumsi bahwa ada semacam binit atau virus psikologis
yang menjangkit pribadi-pribadi warga masyarakat, sehingga membuat mereka aktif
dan dinamis dalam mengejar berbagai kemajuan (Mustopo.H, dkk, 2003: 135)
Dari konsep modernisasi sendiri
masih mengalami sengketa, akrena fungsinya sebagai nilai positif, tentang ide
besar untuk penerapan konsep dilapangan akan didapati biasa. Istilah modernisasi
diartikan sebagai dari development yang
di Indonesia diartikan dalam 2 istilah, baik untuk-modernisasi maupun
pembangunan. Ciri dari masyarakat modernisasi yaitu proses perubahan masyarakat
dan kebudayaan yang dikehendaki dan direncanakan. Proses modernisasi pada
intinya berarti peningkatan kemampuan dari masyarakat yang bersangkutan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, yang mencakup:
a.
Kebutuhan akan sandang,
pangan dan papan.
b.
Keselamatan terhadap
jiwa dan harta benda.
c.
Kesempatan yang wajar
untuk dihargai sehingga mempunyai harga diri.
d.
Mendapatkan kasih
sayang dari sesama.(Soekanto, 1992: 43-44)
Pendekatan
individu dalam studi meodrnisasi dimana dituntut untuk aktif dan dinamis dalam
menghadapi berbagai kemajuan. Dimana Inkles dan Semit bersama timnya
mengembangkan konsep modernisasi individu. Menurut mereka kurang lebih 24
dimensi nilai, sikap dan tingkah laku tetapi di desa Jarit mencakup 13 dimensi
yaitu:
1.
Keterbukaan terhadap
pengalama baru.
2.
Kesiapan menerima perubahan
social.
3.
Pembuatan pendapat
tentang isu penting.
4.
Aktif mencari fakta dan
informasi.
5.
Kepercayaan atas
kemampuan manusia.
6.
Orientasi ke
perencanaan.
7.
Orientasi ke masa
depan.
8.
Kepercayaan pada
kalkulabilitas segala sesuatu didunia ini.
9.
Menghargai keterampilan
teknik dan keadilan distribusi.
10. Aspirasi
pendidikan dan pekerjaan modern.
11. Menghargai
martabat orang lain.
12. Memahami
rasional produksi dalam industry.
13. Aktif
berperan serta dalam kegiatan politik dan gerakan.
Modernisasi dan pembangunan berasal
dari paradigma yang sama yaitu fungsionalisme dan positivisme, serta
menggunakan kerangka teoritis dan ideologis yang sama sebagaimana digunakan
oleh modernisasi. Asumsi dasar modernisasi dikaitkan dengan proses perubahan
dari struktur yang disebut tradisional menuju modern (Fakih, 2000: 72). Bias
lain dari modernisasi adalah metaphor pertumbuhan, dengan suatu filosofi bahwa
modrnisasi dianggap sebagai tubuh atau organism yang senantiasa berkembang,
yang seakan-akan secara linier bergerak dari masyarakat tradisional itu buruk
dan harus diganti dengan yang modern. Karena orientasi modernisasi banyak
bertuju pada negara-negara Eropa dan Amerika Serikat maka dikhawatirkan proses
tersebut akan menyebabkan terjadi “westernisasi” (Mustopo,H.M, dkk, 2003: 137)
Di desa Jarit, dalam aspek pertanian
banyak mengalami perubahan dimana hubungan antara aspek pertanian erat dengan
adanya budaya local seperti upacara panen padi, khususnya di daerah Jawa
disebut upacara wiwit. Upacara wiwit mempunyai makna suatu ucapan rasa syukur
atas karunia yang diberikan berupa hasil panen tanaman padi oleh Tuhan. Ini
dalam masa Islam. Pada saat masa Hindu-Budha ucapan itu diberikan untuk Dewi
Sri sebagai Dewi Kesuburan. Makna lain dari upacara wiwit yaitu keharmonisan
alam dengan manusia ada hubungan timbale balik. Di era modernisasi ini dunia pertanian
banyak mengalami perubahan baik dari penanaman pengolahan, panen dan terutama
ritual-ritual local yang mulai bergeser.
Asal-usul Kepercayaan terhadap Dewi Sri sebagai Dewi
Kesuburan
Dimulai dari serat Sri Sedana.
Ditulis oleh Mpu Kalangwan di Mamenang pada tahun 853 S atau 879 C. Serat ini
menceritakan kisah mulai Wirodi 459 S ditandai dengan sengakalan kaswareng margining catur, atau 47 C ditandai sengkalan nata marabda karya Baraken
(Purwadi, 2004: 135).
Awal daro perjodohan antara putra
Raden Sadana diberi tawaran untuk dikawinkan dengan Dewi Panitra, adik dari
Arya Partaka punggawa Purwacarita. Dimana ayahnya bernama Prabu Sri Maha
Punggung ingin menjodohkan anaknya. Namun Raden Sandara menolak perintah
ayahnya. Raden Sandara pun diusir oleh ayahnya dari negeri Purwacarita. Dewi
Sri tahu bahwa adiknya diusir dari Purwacarita, Dewi Sri pun lari dari negeri
Purwacarita. Prabu Sri Maha Punggung kemudian memerintah utusannya yang bernama
Wadyabala untuk mencari keberadaan Dewi Sri.
Diceritakan, bahwa Raja Pulasawa,
ketika itu bermimpi bergandengan tangan dengan Dewi Sri, Putri Prabu Sri Maha
Punggung di Purwacarita, Raja Pulasawa lalu kemudian mengutus Ditya kolandaru
ke Purwacarita untuk melamar ke Purwacarita. Dan sesampai di Puwacarita melapor
kepada Prabu Sri Maha Punggung atas kedatangan sebagai utusan dari
Medangkumuwung, jawab dari Prabu Sri Maha Punggung. Dewi Sri telah pergi dari
istana. Ditya Kalandaru disuruh untuk ikut mencarinya dan imbalannya jika
menemukan Dewi Sri maka akan diterima lamarannya.
Perjalanan Dewi Sri ketika keluar
dari istana untuk mencari adiknya yaitu Raden Sadana. Hutan belantara tidak
terhindarkan untk dijelajahi oleh Dewi Sri supaya bisa bertemu adiknya, dalam
perjalanannnya Dewi Sri dan beristirahat didesa Tulyan. Ajaran-ajaran Dewi Sri
filsafah hidup semisal ketika Dewi Sri singgah dirumah Buyut Soma “hai istri
Buyut Soma, jika kamu ingin banyak sandang pangan jangan suka menumpahkan
wadah. Rajin-rajinlah membersihkan rumah dan rajin berdoa. Setiap hari
bangunlah pagi-pagi, jangan sampai terdahului oleh ayam. Setiap mau makan
tunggulah sampai nasi dan sayur agak dingin setelah makan bersihkan baik-baik
jangan menyimpan piring kotor. Jika mau tidur mandilah terlebih dahulu. Bangun
tidur juga harus mandi kemudian keluar rumah. Pintu-pintu rumahmu bukalah
(Purwadi, 2004: 138). Dalam ajaran Dewi Sri dapat dianalisis, jagalah
kebersihan itu akan memberikan kesehatan jiwa dan ragamu, rajinlah bekerja dan
tak lupa untuk berikhtiar.
Perjalanan Dewi Sri dilanjutkan ke
dusun Medangwangi juga memberikan filsafah hidup kepada seorang yang bernama
Kenpetani, kamu jangan membersihkan kain di malam hari, jangan menyapu atau
menyuliki tempat tidur setelah matahari terbenam. Pagi-pagi sekali sapulah
sebelum sinar matahari masuk. Ini merupakan nasehat untuk hidup rajin, bersih
untuk menjaga kesehatan. Seperti jangan bersihkan kain dimalam hari karena pada
saat penerangan kurang mendukung kemungkinan dikhawatirkan tidak bersih dan
tidak kering membuat kain bau setelah waktu pagi datang.
Perjalanan Dewi Sri dikejar raksasa
utusan Pulasawa untuk membawa pulang Dewi Sri. Dewi Sri berada didusun
Karanglengki memberikan pesan yang mempunyai makna, dimulai saat Dewi Sri
bertanya kepada Biyang Samba mengapa pendaringanmu taruh diluar dan diterangi.
Biyang Samba menjawab aduh Dewi, karena sering dimakan tikus, pendaringan
dirumah depan dan diterangi sinar itu akan boros. Jika kamu disusahkan oleh
tikus, lampu dipendaringan itu jangan sampai mati dan disampin pendaringan itu
berilah biji asem dan isi kacang serta jangan suka menakar beras dimalam hari agar
selamat dan bahagia setelah itu, Dewi Sri masuk, jawab simbah itu untuk tanda
agar bila ada tikus masuk terdengar gemerisik. Pendaringan itu larangannya
jangan sampai ada klubat, nasi kering atau bekatul karena akan menimbulkan
kekurangan beras, Biyang Samba mematuhi segala perintah Dewi Sri (Purwadi,
2004: 143-144). Bahwa ucapan Dewi Sri dimana didalam pendaringan harus bersih
dan menjauhkan bau-bau yang memancing tikus untuk masuk pendaringan.
Rangkaian perjalanan Dewi Sri
setelah ini kedusun Boga dan berlanjut ke Medangwatu dalam perjalanan untuk
mencari adiknya. Dari keterangan Buyut Sandang mengatakan Raden Sandara ingin
melanjutkan perjalanan ke Giling Wesi. Tapi tidak lama kemudian kembali lagi ke
Medanggowang katanya mau bertempat tinggal di Medangagung, Dewi Sri bertemu
dengan adiknya yaitu Raden Sandana. Arya Nitiradaya sebagai utusan dari Prabu
Sri Maha Punggung menemukan Dewi Sri dan Raden Sandana di Medanggawong arya
Nitiradya merayu keduanya agar bersedia pulang ke Purwacarita bahwa sang Prabu
Sri Maha Punggung sangat rundu kepada dua anaknya, Dewi Sri dan Raden Sandana
dari kedua anaknya tetap menolak permintaan ayahnya yang sampaikan lewat
perantara yaitu Arya Nitiradya dimana dia akan pamit untuk kembali ke istana.
Sesampai di Puwacarita Arya Nitiradya bercerita ke Prabu Sri Maha Punggung
bahwa Raden Sandana dan Dewi Sri, walaupun dibujuk rayu apapun dia tidak mau
kembali ke Purwacarita. Prabu Sri Maha Punggung geram didalam hatinya bersabda
“aduh putraku Sandana sungguh luar biasa tekatmu menentang orang tua, juga kamu
Sri, apakah ingin membuang sisik seperti ular dan Sandana, apakah ingin membuat
susah seperti burung sriti” (Purwadi, 2004: 168). Perkataan ini pin dikabulkan
oleh dewa, Dewi Sri menjadi ular dan Raden Sandana menjadi burung sriti. Dapat
kita lihat dengan analisis pertama dari rantai makanan dimana tikus dimakan
oleh ular. Tikus sebagai hama dari tanaman padi dan ularlah sebagai pengontrol
populasi tikus. Apabila ular mulai hilang dalam eksistensinya dalam rantai
makanan, meledaklah populasi tikus, tanaman padi para petani akan terancam
gagal panen. Kedua, burung sriti dimana dia pemakan serangga dan serangga itu
tang notabenenya sebagai hama dalam pertanian, otomatis secara tidak langsung
sebagai petani harus menjaga siklus dalam rantai makanan untuk menjaga
eksistensi para petani akan terus bisa eksis, dengan nilai keharmonisan alam.
Dilihat dari data artefaktual
peninggalan situs belahan berbentuk patirtan dimana disini ditemukan Arca Wisnu
dio atas Garuda. Pemandian Belahan dikaki gunung Pananggusama. Di relung tembok
belakang ada 2 patung yaitu Dewi Sri dan Dewi Laksmi. Dalam mitologi India
Laksmi dalam mitologi India Laksmi merupakan istri DewaWisnu (Slamet Muljana,
2009: 39). Tetapi nama Sri sendiri tidak ada di India, ini merupakan hasil dari
cirri khas masyarakat local. Jika dikaitkan dengan Dewi Sri sebagai dewi
kesuburan dimana situs Belahan adalah system air yang telah disucikan yang
nantinya akan mengaliri persawahan dimana air sangat dibutuhkan oleh para
petani untuk kelangsungan menanam padi. Dari beberapa indicator ini baim dari
cerita yang bermakna falsafah hidup dan sebuah situs Dewi Sri sebagai
perwujudan sebuah dewi kesuburan yang erat kaitannya dengan dunia pertanian
yang dimasukkan ketika panen tiba ada sebuah upacara wiwit sebagai tanda ucapan
syukur atas panen yang diperoleh oleh petani.
Dinamika Upacara Wiwit di desa Jarit dalam Makna Sosial
Desa Jrit yang
tidak jauh dengan tempat ditemukannya sebuah yoni dan lingga, otomatis ini
berlatar belakang agama Hindu dan berfungsi sebagai kuil pemujaan. Namun dalam
temuan ini sangat sedikit memberikan informasi. Bahwa bangunan ini melambangkan
kesuburan ini diperkirakan dibuat pada pertengahan abad ke 14, yaitu dimasa
pemerintahan Bhere Wengker dari Majapahit. Bangunan ini ada kemungkinan tempat
persinggahan ke gunung Semeru. Simbol penganut Hindu sekte Siwa. Bagi para
pengikut Siwa, lingga (unsur maskulin) yang menancap pada yoni(unsur feminin).
Dalam dua symbol ini menggambarkan penyatuan antara Siwa dan Parwati yang
melambangkan kesuburan. Bangunan lingga dan yoni sering ditemukan di areal
persawahan desa Candipuro dimana dekat dengan perbatasan desa Jarit, jika
dilihat zaman Majapahit, desa Jarit dan desa Candipuro ada kemungkinan satu
wilayah kekuasaan Majapahit. Bangunan lingga dan yoni ini dikhususkan oleh
petani karena diyakini dapat menyuburkan tanaman sekaligus tanah sekitarnya.
Dilihat dari masa lampau tanah
daerah disekitar bangunan lingga sangat subur. Dalam waktu sekarang tanah
Candipuro dan desa Jarit sangat subur pada tahun 1976 pernah terjadi banjir
lahar yang melanda seluruh daerah kecamatan Candipuro ini memberikan unsur hara
tanah yang subur dan baik untuk pertanian.
Upacara wiwit dalam pengertian
sebagai sebuah upacara yang mempunyai makna rasa syukur kepada Dewi Sri atas
panen yang diberikan dan bagaimana menanam yang akan datang diberi keselamatan
dengan berjalan waktu. Factor dari luar memberikan dampak terjadi akulturasi
dilihat dari masa Hindu Budha dan beralih ke Islam dimana dalam bentuk sebuah
ritual semacam wiwit maknanya tetap tetapi ucapan rasa syukur itu kepada Allah
SWT. Bisa dilihat dari doa (lampiran 1). Ini merupakan perpaduan alam dan Hindu
Jawa.
Desa Jarit era modernisasi dalam dunia
petani baik segi penanaman, pengolahan dan pemanenan serba praktis cepat dan
tidak memerlukan banyak tenaga. Seperti adanya mesin-mesin pertanian untuk
lebih mempermudah seperti traktor yang bertenaga, penggilingan padi mencetak
beras dan bertenaga masih dengan kelebihan mempermudah dan mempercepat
pekerjaan. Tidak banyak memakai orang dalam pekerja ini. Dalam modernisasi
pendidikan sangat dibutuhkan dalam masyarakat dan pendidikan ini petani didesa
Jarit memanfaatkan alat-alat tani yang bertenaga mesin, yang sebelum alat-alat
bertenaga hewan untuk pengolah tanahnya. Dipasang pada bajak biasa, karena bisa
dipakai pada tanah agak lunak dan ringan karena mengandung abu gunung berapi.
Sehingga kurang cocok untuk dikerjakan dengan bajak biasa.
Alat yang dipakai petani waktu derep
(panen padi) mulai dari ani-ani berkembang menjadi sabit didalam panen sendiri
banyak nilai-nilai kebersamaan seperti gotong-royong dimana ini ada karena
masyarakat agraris dengan berkembangnya dan di era modernisasi nilai-nilai
inipun pudar di desa Jarit. Dituntut harus lebih efisien mungkin menghemat
tenaga yang dipakai dan hasil lebih banyak karena tidak memakan tenaga. Bibit
unggul pun dipakai petani dimana petani bisa panen setahun 2 kali dan padi yang
dihasilkan lebih banyak.
Petani di Jawa, namun dalam fakta
bertani dalam era modern di desa JArit justru ketergantungan pada pupuk kimia
dan penggunaan pupuk yang ridak berimbang membahayakan dari ekosistem yang ada
dimana hama-hama padi mulai kebal terhadap obat-obat pembunuh hama. Belum musim
yang mulai tidak dapat diperhitungkan. Petani dituntut lebih inovatif mengatasi
segala hal dalam masalah yang ada. Pembentukan kelompok tani di desa Jarit
untuk mengatasi satu masalah kelangkaan pupuk.
Namun dalam era modernisasi gejolak
para petani semakin banyak dimana musim hujan dan musim kemarau mulai tidak
menentu, bahkan ketika hujan lebat terlalu banyak air melimpah dan adanya angin
merusak tanam padi. Belum factor pupuk, hama dan factor paling krusial adalah
harga pasar yang mendukung. Petani semakin terhimpit dimana tanah yang subur
belum tentu menjadi jaminan petani desa bertahan, makin lama lahan pertanian
desa Jarit dengan bertambah penduduk yang pesat pembangunan rumah-rumah tinggal
semakin banyak. Tekanan petani semakin komplek. Banyak peralihan profesi dimana
dia akan kerja diluar kota dimana ketika bekerja menjadi petani sebagai mata
pencaharian pokok hanya bisa memenuhi kebutuhan pokok saja. Terjadi urbanisasi
desa Jarit, salah satu dampak dunia pertanian mengalami tekanan.
Dimulai
dari banyak tekanan ini dilihat dari makna upacara wiwit dalam dunia pertanian
dimana di era modernisasi ini upacara wiwit. Di desa Jarit dari segi pola
bahasa masih tetap menggunakan bahasa Jawa dalam segi makna mulai bergeser dimana
dalam kemajuan teknologi ini petani menggunakan mesin yang mulanya dari tenaga
hewan dimana masyarakat Jarit mengadakan ritual hanya sebagai bentuk upacara
yang makna, agar nanti musim tanam sampai panen tidak ada halangan. Hanya
sebagai ritual yang terus berulang tapi makna didalam masyarakat, jika tidak
melakukan upacara dirasa tabu, tidak memberikan keterangan pada sang petani.
Sementara jika dilihat dari sebuah mitos Dewi Sri sebagai ular dan Raden
Sendana sebagai burung. Ini merupakan bentuk dari sebuah ekosistem pengontrol
alam seperti ular sebagai pemakan tikus, tikus merupakan hama dari tanaman padi
dan ulat. Belalang sebagai makanan burung. Dari mitos ini bahwa makna wiwit
sebagai penghormatan Dewi Sri dan dimaknai lebih dalam kita sebentar harus
menjaga ekosistem yang ada dimana ular sawah pemakan tikus mulai jarang
ditemukan dan burung mulai dipelihara dirumah sebagai ocehan. Pergeseran nilai
makna terhadap upacara wiwit dikarenakan beberapa factor dari kemajuan
teknologi, masalah yang komplek dalam masyarakat petani.
Kesimpulan
Berdasarkan paparan data tersebut
dapat disimpulkan bahwa petani desa Jarit mempunyai tradisi upacara wiwit dalam
berjalan waktu menghadapi berbagai arus atau pengaruh dari luar. Dalam budaya
wiwit sendiri dalam masa Hindu-Budha sebagai upacara penghormatan kepada Dewi
Sri. Dengan mulai masuknya Islam mulai mengalami perubahan dimana untuk memenuhi
kebutuhan dari segi magis untuk mencapai ketenangan ada akulturasi.
Dilihat dari doanya ada campur Jawa
dan Islam dan dalam segi fisik ada 2 sesajen yang satu dimakan bersama dan satu
lagi dibiarkan di area persawahan. Ini merupakan kemampuan masyarakat berjuang
menyesuaikan diri dan menyerasikan tardisi budaya yang mereka miliki dengan
perubahan social dimana agama Islam mulai dominan di daerah desa Jarit. Bukti
sampai sekarang banyknya aliran NU dimana lebih konservatif dalam bidang
ajaran-ajaran agamanya.
Model proses budaya yang mereka
lakukan adalah bentuk dari sebuah akulturasi budaya. Dimana dari segi mana dari
pandangan masyarakat mulai berubah. Dalam era modernisasi sendiri ritual upacara
wiwit sebagai penggulang-penggulang dimana untuk memenuhi pencapaian kekurangan
petani. Dengan semakin tertema petani dari berbagai aspek ekologi, pemesanan
hasil panen, ketergantungan pupuk. Bukti upacara dari sudut pandang masyarakat
sebagai upacara biasa yang dimana didalam terdapat nilai-nilai kebersamaan dari
masa Hindu-Budah menjaga keharmonisan dengan alam, dengan menjaga ekosistem.
Masa Islam sebagai rasa syukur kepada Allah SWT dan dimana ada acara syukuran
di lahan persawahan adalah kebersamaan yang memberikan berkah bagi manusia dan
manusianya dan Allah SWT. Di era modernisasi nilai-nilai mulai luntur karena
masyarakat mulai meninggalkan dunia pertanian dikerjakan dan terjadi urbanisasi.
Daftar Rujukan
Fakih,
M. 2000. Masyarakat Sipil Untuk
Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi ISM Indonesia. Yogyakarta
Koentjaraningrat.
1984. Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia
Mustopo,
H, dkk. 2003. Sejarah dan Budaya Dari
MAsa Kuno Sampai Kontemporer. Malang: Universitas Negeri Malang (UM Press)
Purwadi. 2004. Sejarah Asal-Usul Nenek Moyang Orang Jawa. Yogyakarta:
Tunas Harapan
Soekanto, S.
1992. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta:
Rajawali Press
Subagya, R.
1979. Agama dan Alam Kerohanian Asli di
Indonesia. Jakarta: Nusa Indah
Tutik dan Trianto. 2008. Dimensi Transendental dan Transformasi Sosial Budaya. Jakarta:
Lintas Pustaka
Lampiran
Bismillahirrahman Irrohim. Nyasaaken
salam taklim kula dumateng ingkang jagi sabinmyaosi (ngopah-opahi) Mbok Sri
ingkang njagi rina hawan wengi. Wiwit Mbok Sri mrekatak nagntos dumugi sepuh
wonten ing tegal kepanasan sepados ingkang lokak tinibihna, ingkang kebak sami
dumugiya. Panggihane Mbok Sri pinuka : sego liwet, tukan pasar, kembang,
lampingan, suri, jungkat, kaca, perlu kangge dahar lan busana Mbok dumateng
Mbok Sri. Perlu bade mboyong Mbok Sri alantaran dipun boyong dateng lumbung
segede tumpuk undung nentrenakan Mbok Sri serta pinetuk ing gedang raja, banyu
ing kendi.
Arti: salam
syukur kami kepada ibu Sri yang menjaga siang malam sawah ini. Mulai bertunas
samapai mateng semoga dijauhkanlah padi kosong, datanglah padi penuh untuk
perkawinan Ibu Sri kami bawakan hiasan dan makanan. Dapatlah diantarkan sebagai
Ratu Istana (lumbung padi) (Subagya, 1979: 106).
Transkrip wawancara:
Nama : Subra
Umur : 68 tahun
Pertanyaan:
1.
Nopo mawon mbah sing
digawe banana upacara wiwit niku?
Jawab:
yoniku kupat, lepet, jenang abang, suro, kembang, sego empluk, tumpeng cilik
utawa cucup endok, trancam utawo jangan kelor campur terong, bumbu peppek, kopi
panas. Niki sing di salap teng saben mboten oleh di beto wangsul. Enten
tambahan male niku seng digowo di maem bareng-bareng teng saben niku terserah
sing duwe saben.
2.
Yok nopo duwene wiwit
mbah?
Jawab:
bismilahhirrahman Irrohim lek pateh arane menyan. Gendogo gurune menyan, sak
mantune daharan, kulo ngracek ucuk bakal ngopah-ngopahi kaki donyong engkang
mabukerso, wonten tanah saben kulo sampun sepuh bade kulo petek, kulo boyong
dateng terop agung, mugi-mugi berkat mandhel.
3.
Mabak makna wiwit niku
nopo?
Jawab
: ngucap aken roso syukur ing pengeran Gusti Allah, ngetekaken panen pari lan
keselamet dateng pari, menika mulai tandur sampek tuwo.
Foto-foto Pribadi