KOMUNITAS-KOMUNITAS
ORANG JEPANG DI LUMAJANG BENTUK EKSISTENSI, PERISTIWA AWAL PENDUDUKAN JEPANG
(1925-1942)
Faris Dwi Ristian[1]
Abstrak:
masyarakat miskin dapat dimaknai secara
luas, yakni ketidak mampuan manusia, yang ditandai pendidikan rendah, pengerdilan
intelektual, tak berpengetahuan, tak berketerampilan, pendapatan kurang,
distribusi kekayaan tidak merata, menyebabkan sebuah keluarga tidak mampu
memenuhi kebutuhan dasar untuk kebutuhan sehari-hari. Namun dalam pengukuran
kemiskinan hanya menggunakan indikator tingkat pendapatan perkapita atau persatuan rumah tangga. Ini kalau dilihat
dari makna kemiskinan pandangan ukuran yang dipakai untuk mengukur masyarakat
miskin sangat tidak cocok. Dan alat ukur yang tidak tepat, masih dipakai untuk
mengukur jumlah masyarakat miskin di Indonesia. Berujung pada
kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, efeknya dalam sistem
dunia pendidikan malah menyulitkan masyarakat miskin, dapat dilihat ada BHP, yaitu bentuk komersialisasi dalam dunia
pendidikan.
Kata Kunci : migrasi, kumunitas, adaptasi.
Kumunitas-komunitas
Jepang, bentuk dari orang-orang Jepang yang pada saat itu jalan beberapa
masalah baik dari dalam dan dari luar, sehingga meninggalkan daerah asalnya
untuk melakukan migrasi kedaerah lainya dengan setiap kepntingan individu yang
berbeda. Dalam garis besar pencapaian dan
impian untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Hubungan Indonesia Jepang. Dengan
ditutupanya Jepang, pada tahun 1636, hubungan perdangan dengan sendirinya
menjadi sepi. Walaupun demikian, kontak dengan Kyushu dan Jepang dengan Jawa.
Beberapa gambar cetak Jepang memperliahtkan budak-budak melayu yang di bawah
oleh pedangang. Perdangan Belanda ke Jepang, sebaliknya di Batavia ada
kumunitas kecil Jepang: istri orang Jepang yang diusir Jepang pada tahun 1639 atau migran Kristen
seperti Michiel T’sobe yang meninggal di Batavia pada tahun 1663 dan gambar
batu nisan[2]
dalam karya De Haan.
tergapai oleh orang miskin. Yang paling memalukan
adalah anak yang punya potensi intelektual tinggi dan potensi untuk mengolah
sumber daya alam Indonesia yang kaya, mulai pergi keluar negeri dan tidak kembali
lagi ke Indonesia. Realitas ini dapat sebagai cerminan kenapa para intelektual
di Indonesia pergi keluar negeri. Jawabannya ada beberapa akibat pertama,
kesejahteraannya para intelektual kurang di perhatikan atau rasa nasonalisme
yang redup atau hilang.
Ini dapat dikata salah satu faktor akibat dari
penanaman wawasan nasonalisme dan pendidikan sejarah yang mulai di kucilkan,
ini merupakan bentuk pemiskinan intelektual. Orang yang tidak mengerti betapa
beratnya memperjuangkan Indonesia mencapai kemerdekaan. Pemuda sekarang rasa memiliki Indonesia sudah pudar
bahkan pemuda Indonesia banga pada negara lain. Kebijakan kurikulum 2006, ini
justru pendidikan sejarah dikurangi jam mata pelajarannya, ini tidak lepas dari
pandangan politik yang sempit, dikarenakan kebijakan penentuan kurikulum hasil
dari kebijakan politik.
Bahkan yang lebih sejahtera dalam kemapanan ekonomi
adalah kaum-kaum politisi bukan kaum intelektual yang dalam segi pembangunan
bangsa yang berhasil, tidak lepas dari peranan para intelektual. Walaupun kaum
politisi juga punya peranan penting dalam keberhasilan bangsa, namun politisi
di Indonesia cenderung mementingkan kelompok partainya bukan rakyatnya.
Dapat dilihat kebijakan pemarintah tidak sejalan
dengan yang diamanatkan konstitusi pada pasal 31 pasal 1 dan 2. Terutama dalam
dunia pendidikan yang paling terbaru, dengan adanya Badan Hukum pendidikan (BHP)
yang menuju kearah komersialisasi pendidikan. Masyarakat miskin yang tidak
mampu dalam segi ekonomi tidak akan dapat mengenyam dunia pendidikan
universitas, ini bentuk sistem pendidikan, yang menindas dan berdasarkan kebenaran
pemerintah dan berlandaskan hukum.
Kajian Tingkat Struktur Sosial: Teori Kelas.
Kesatuan
sosial terbentuk muncul jaringan hubungan (struktur sosial) yang menghubungkan
antara individu dengan individu lainya. Dari pandangan Marx tentang kesatuan
sosial tidak dalam arti konkrit tetapi dalam arti modern.
Ini
dipertegas dengan ulasan yang dikemukakan dalam bukunya, Grundrisse, ditemukan
pernyataan tegas yaitu : Masyarakat bukanlah penjumlahan individu tetapi
terwujud melalui totalitas hubungan dan situasi dimana individu saling
berhadapan. Dan ulasan serupa dikemukakan Swingewood yaitu: Marx memusatkan
perhatian pada masyarakat sebagai struktur hubungan tertentu yang didalamnya
terdapat pamerih dan tindakan individu. Membanyangkan totalitas sebagai
struktur hubungan sama saja dengan membayangkan individu yang berhubungan
secara struktural. Konsistensi Marx terhadap strukturalisme terlihat dari
perhatiannya yang terus-menerus tertuju baik pada tingkat realitas sosaial,
totalitas, maupaun pada tingkatan individu (Sztompka, 2008:198-199).
Individu
dapat dikatakan bisa membentuk kehidupan kolektif, kelompok, asosiasi dan
lainya, bila sudah ada kebersamaan di antara mereka. Berarti ada perbedaan yang
memisahkan mereka dengan individu lainnya yang termasuk dalam kesatuan mereka.
Menurut Marx, basis kesatuan sosial terpenting adalah kepemilikan dalam arti
kesamaan atas kepemilikan alat produksi: tanah, bahan mentah, peralatan, mesin
dan kapital. Oleh karena itu kepemilikan atau keterbatasan pemilikan alat
produksi adalah aspek yang sangat penting dalam situasi kehidupan manusia,
menentukan posisi individu dalam masyarakat. Dan ini menurut Mrax, akan
memunculkan kelas-kelas sosial.
Menurut
Giddes dalam merangkumkan definisi kelas sosial yang hampir disepakati semua
pemikiran Marxian sekarang ini. Rangkumannya adalah: kelas sosial oleh pengelompokan
individu berdasarkan pemilikan pribadi atas alat produksi (Sztompka, 2008:
200).
Weber
membedakan antara kelas dan status. Keduanya merupakan distribusi kekuasaan dalam
masyarakat. Dengan kelas yang dimaksud oleh Weber hubungan seseorang dengan
perekonomian dan pasar kerja, dan status di maksudkannya, setiap komponen nasib
manusia yang tipikal ditentukan oleh penghargaan sosial yang spesifik, positif
atau negatif. Kelas bagi Weber bukan komunitas” ia merupakan landasan yang
mungkin dan sering digunakan bagi tindakan komunal”. Dengan demikian, Weber
membedakan antara kelas sosial yang mempunyai peluang hidup ( life-chances)
yang sama, dengan kelompok status yang merupakan komunitas bagi orang yang
mempunyai gaya hidup (life-style) yang sama. Namun ini berbeda padangan dengan
Marx tentang analisa mengenai masyarakat, kelas merupakan suatu konsep sentral.
Pada permulaan Manifesto Partai Komunis,
Marx dan Engels menulis, “sejarah dari semua masyarakat yang telah ada hingga
sekarang merupakan sejarah perjuangan kelas”. Pada pokoknya ada dua kelas yang
besar, kaum borjuis dan kaum proletar, yang pertama memiliki alat-alat produksi
dan yang kedua tidak mempunyai apa-apa selain tenaga mereka saja (Robinson,
1986: 279).
Disini
Lenski menaruh perhatian atas sistem yang terdiri dari tiga unit: individu,
kelas, dan sistem kelas. Individu-individu membentuk kelas-kelas dan ini
merupakan tingkatan analisa yang dasar. Pada gilirannya kemudian bersatu
membentuk sistem kelas. Berbagai individu, kelas, dan sistem kelas yang
benar-benar ada berhubungan satu sama lain serta terlibat dalam persaingan memperoleh
sumber-sumber yang langka.
Lenski
membatasi kelas sebagai pegelompokan orang dalam masyarakat yang berbeda dalam
posisi yang sama dalam hal kekuatan atau berapa bentuk spesifik dari kekuasaan,
privilise dan prestise. Tetapi dalam karyanya fokus dalam pembahasan Lenski
adalah kelas kekuasaan, yang dianggapnya menentukan distribusi privilise dan
prestise dalam surplus barang-barang yang berarti. Bagi Lenski, kelas adalah
kelas kekuasaan (power class). Walaupun kelas kekusaan ini bisa bervariasi,
mulai dari pemimpin industri sampai pada anggota Yunta-militer dan buruh-buruh
pabrik yang terorganisir, masing-masing kelompok menduduki posisi yang sama
seperti dalam definisi Weberian klasik tentang kemungkinan orang atau kelompok
melaksanakan kehendak mereka walaupun oleh pihak lain. Kelas didefinisikan
didalam hubungannya dengan tingkat kekuasaan yang dimiliki dalam mengendalikan
sumber-sumber yang langka.
Jadi
anggota kelas menengah bila dihubungkan dengan kepemilikan kekayaan, anggota
kelas pekerja bila dikaitkan sebagai buruh. Masing-masing peranan utama maupun
status dalam hierarki kekayaan akan mempengaruhi kesempatan untuk memperoleh
sesuatu yang dicarinya dalam hidup, dan karena itu masing-masing akan
menempatkannya dalam suatu kelas yang khusus (Polama, 2007: 153-154).
Sumber
utama yang merangsang dinamika polarisasi dan kristalisasi terus-menerus ini
terdapat dalam kontradiksi struktur kelas yang saling berlawanan ini. Marx
melukiskan ciri khas hubungan antara kelas-kelas yang saling berlawanan ini.
Ada tiga jenis perlawanan yang ditonjolkan. Pertama, adanya kontradiksi
kepentingan obyektif antara golongan yang berupaya dan golongan yang tak
berupaya. Kepentingan golongan yang berpunya umumnya akan terwujud atau
kebutuhan mereka akan terpenuhi; sedangkan golongan yang tak berpunya jauh
lebih sukar untuk mewujudkan kepentingan atau untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Inilah yang disebut “kontradiksi kelas”. Kedua kontradiksi kepentingan obyektif
itu mungkin dibayangkan sebagai kontradiksi subjektif oleh anggota kelas yang
bersangkutan. Ini kemudian akan menimbulkan perasaan bermusuhan, kecurigaan,
dan kebencian di kedua belah pihak. Tipe
hubungan ini disebut “antagonis kelas”. Ketiga, antagonis mugkin itu terwujud
di bidang ekonomi, politik, dan ideologi. Antagonis yang telah mengkristal dalam
ketiga bidang kehidupan di atas mungkin diubah menjadi tindakan kolektif
anggota kelas yang berlawanan. Pertentangan tanpa henti. Kadang reda, kadang
pecah pertempuran. “Perjuagan kelas” adalah istilah yang paling tepat. Melalui
kontradiksi, antagonisme dan perjuangan kelas, disertai desakan terus-menerus
kearah penyelesaiannya, masyarakat cenderung berubah lebih maju (Sztompka,
2008: 2001).
Kondisi Masyarakat Miskin Indonesia Saat Ini
Kemiskinan dapat
dianalisis dari berbagai sudut pandang dan pendekatan, supaya mendapatkan
pemahaman yang utuh. Kemiskinan bukan gejala yang sederhana, melainkan tidak
terikat dengan ekonomi saja, tetapi saling terkait dengan masalah lain yang
amat kompleks.
Pengertian
Kemiskinan.
Pengertian
konvensional kemiskinan hanya berdimensi tunggal: pendapatan kurang, distribusi
kekayaan yang tidak merata, menyebabkan seseorang atau keluarga tidak mampu
memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan sehari-hari. Paramater pokok untuk
mengetahui kekuragan pendapatan adalah pengeluaran rumah tangga yang amat
rendah, bahkan untuk mencukupi kebutuhan manusia.
Disini ada dua pokok bahasaan, yang
pertama, adanya ketersediaan lapangan pekerjaan. Kedua, upah minimum yang
menjadi instrumen penting sehingga dapat melihat tingkat pemerataan distribusi
pendapatan. Jadi untuk memahami fenomena kemiskinan pun sangat bervariasi.
Pertama,
menggunakan model perbandingan antara lapisan sosial yang bertujuan menjelaskan
bentuk fakta-fakta empiris perbedaan distribusi pendapatan yang berdasarkan
kelompok masyarakat. Kedua, memakai model regresi guna untuk mengukur upah
kerja berdasarkan teori modal manusia.
Ekonom
Amartya Sen juga mengenalkan makna kemiskinan secara lebih luas, yakni ketidakmampuan
manusia, yang ditandai pendidikan yang rendah, tak berpengetahuan, tidak berketerampilan.
Bahkan, Sen menyentuh dimensi politik: ketiadaan kebebasan dan keterbatasan
ruang partisipasi, yang menghalangi warga untuk terlibat proses pengambilan
kebijakan politik. Dalam situasi
demikian, masyarakat ada dalam posisi tidak setara untuk mendapatkan akses ke
sumber-sumber ekonomi produktif sehingga terhalang untuk memperoleh sesuatu
yang menjadi hak mereka.(Kompas, 15 Oktober 2009)
Maka,
pengukuran kemiskinan yang berdasarkan indikator tingkat pendapataan perkapita
dan atau per-satuan rumah tangga. Karena itu, berbagai kebijakan untuk
meningkatkan pendapatan dengan maksud menambah kemampuan daya beli masyarakat,
misal program bantuan langsung tunai (BLT), ini pun tidak efektif meski dinilai sedikit membantu dalam jangka
pendek, tetapi tidak menyelesaikan akar kemiskinan.
Bahkan
program pemerintah pada periode 2009-2014 mencanangkan dalam program 5 tahun dalam pemerintahannya yaitu:
1. Peningkatan kesejahteraan rakyat( prosperty), pembangunan ekonomi berlandaskan
keunggulan daya saing, pengelolaan sumber daya alam, dan peningkatan sumber
daya manusia. Menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkeadilan, dan
merata (Kompas, 21 Oktober 2009).
Namun
dalam berjalannya waktu program pemerintah yang berisi tentang peningkatan
kesejahteran itu hanya dapat dikatakan sebagai wacana saja. Dapat kita lihat
kasus tentang warga miskin yang terekspose oleh media pertanggal 2 Desember
2009 Kompas, tentang warga kampung Beting, Jakarta Utara, setahun lebih
terbaring tanpa bisa mendapatkan layanan kesehatan bagi orang miskin. Walaupun
pemerintah memberlakukan asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin (Askeskin) dan sekarang
diganti menjadi jaminan kesehatan masyarakat miskin (Jamkesmas) ini merupakan
bentuk langkah pemerintah dalam merealisasikan wacananya. Namun dalam
realisasinya banyak kendala justru orang yang punya Jamkesmas ini, ketika dalam
rumah sakit, mendapatkan perilaku yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Ini merupakan sebuah peristiwa yang terukap oleh media dan mungkin masih banyak
peristiwa-peristiwa yang lain yang menyangkut masyarakat miskin belum terungkap
oleh media.
Dalam
dunia pendidikan masyarakat miskin juga banyak kendala, dapat kita lihat
perkembangan dunia pendidikan yang mulai maju dan ini diiringi kemajuan
teknologi dan arus informasi yang menglobal
tersebut tidak selamanya memberikan jaminan membawah peningkatan sumberdaya
manusia (SDM). Namun justru dalam dunia pendidikan, sekolah ada beberapa tingkatan
separti sekolah yang bertaraf Internasional, bertaraf Nasional, bertaraf lokal
dan juga dikatakan sekolah pinggiran yang tidak mempunyai standar. Masyarakat
miskin dapat diposisikan dalam tiga kriteria tersebut, kalaupun dapat sekolah
hanya bisa sekolah dalam tingkatan lokal.
Bahkan dalam realitas politik
menujukan kehadiran peran kepala negara, kepala pemerintahan, pemimipin partai
atau penasehat/pembina partai, dan individu menjadi campur aduk. Kontruksi
kekuasaan itu akan dipertahankan karena dapat memenuhi syahwat kekuasaan yang
serasa nikmat dan ajaib sehingga akan berlanjut terus,” kalau lupa duduk, lupa
berdiri”(Bustami, 2009:1). Ini bukti bahwa pendidikan di tentukan oleh
kebijakan politik.
Konstruksi
diatas menjadikan bukti bahwa pendidikan kita menjadi elitis, reduksionis, dan
ad hoc tergantung kondisi politik yang dinamis (fluktuatif). Sementara itu
persekolahan cenderung melahirkan priyayi-priyayi baru yang berjarak dengan
kehidupan sekitar. Orang miskin, orang cacat, orang yang berada di wilayah
perbatasan, pulau-pulau kecil yang jauh dari jangkauan dan perhatian ini akan
menjadi anak tiri. Pendidikan cenderung direduksi menjadi persekolahan formal.
Di sisi lain, isu pendidikan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dalam
urusan mencerdaskan kehidupan bangsa selalu dapat ibaratkan metafora kesuksesan
pencapaian pendidikan tidak bermakna apa-apa. Ketika dihadapkan indikator
sukses menjadi tidak bermakna ketika dihadapkan isu korupsi, politik anggaran,
pengangguran, kebijakan yang tidak pro rakyat. Bahkan ganti menteri ganti
kurikulum, bangunan sekolah ambruk, jual beli gelar, komersialisasi pendidikan
sehingga biaya pendidikan semakin mahal. Ini dijadikan kumpulan fakta bahwa
sebuah sistem pendidikan yang mengalami komersialisasi, sehingga biaya
pendidikan mahal dan dapat dijadikan pukulan berat bagi masyarakat miskin.
Ironisnya berbanding terbalik
dengan Pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945
dinyatakan yaitu Pasal 1. Tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.
Pasal 2. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sisitem pengajaran
nasional, yang diatur dengan Undang-Undang (UUD 1945:12). UU NO.3 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 9 tentang pembiayaan pendidikan yang merupakan
tanggung jawab pemerintahan baik pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat.
Masyarakat yang dimaksud adalah bukan orang tua siswa para penyusun itu
mengaitkan peran serta perusahaan, lembaga keuangan dan perbankan yang
mempunyai dana cukup untuk membantu pemerintah dalam biaya pendidikan. Pemerintah
sebagai pemegang amanah konstitusi dan otoritas negara adalah aktor utama
penyelenggaraan pendidikan (Bustami, 2009:2).
Sistem Pendidikan Pada Era Sekarang/Global.
Menurut Freidmen bahwa globalisasi merupakan
fenomena kekinian yang terjadi dalam tiga gelombang, yaitu Protugis Spanyol,
Inggris dan Amerika Serikat. Ini dapat dikatakan pada masa modern tapi pada
periodesasi prasejarah dan Hindhu-Budha tidak mendapatkan hitungan. Dan sebuah
fenomena globalisasi telah berlangsung sejak masa lalu setiap masyarakat dimuka
bumi ini merupakan masyarakat global (Sahlin, 1994). Di lain pihak masa sekarang
ini, dapat dikatakan sudah masuk dalam gelombang globalisasi yang ketiga yaitu
Amerika Serikat. Dalam segi pendidikan, pelajar-pelajar Indonesia yang pernah
mengenyam pendidikan di Negara Amerika Serikat, dalam konsep pemikirannya tidak
jauh dari pendidikan yang di perolehnya. Negara Amerika Serikat adalah negara
yang kapitalis dan jabatan-jabatan penting yang ada di Indonesia ditepati oleh
orang-orang yang latar belakangya pendidikan dari Amerika. Kenapa ini dapat
ikutkan dalam ranah pendidikan karena pendidikan di Indonesia merupakan hasil
dari kebijakan politik. Sistem pendidikan meliputi yaitu :
I.
Guru.
Guru merupakan faktor yang paling
penting dalam dunia pendidikan. Bahkan kompetensi pendidik sekarang ini dalam
kompetensinya diatur yang sebagaimana dalam PP Nomer 19 tahun 2005 tentang guru
dan dosen. Yang terurai dalam 4 kompenen yaitu:
1) Kompetensi
pedagogis.
2) Kompentesi
profesional (dalam penjelasan yang dimaksud kompetensi profesional adalah
penguasaan bidang ilmu yang diajarkan).
3) Kompetensi
sosial.
4) Kompetensi
kepribadian (Suparno dan Kamdi,W, 2008:1)
Maka dari itu guru dituntut untuk
profesional yaitu guru mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan
secara terus-menerus. Guru memahami perkembangan pandangan (konsepsi), teori,
dan paradikma belajar dan pembelajaran. Guru mampu memahami karakteristik
peserta didik dan menjadikan pemahamannya sebagai pijakan pengambilan keputusan
dalam menetapkan strategi pembelajaran. Guru mampu mengembangkan pembelajaran
dengan model pembelajaran inovatif. Guru mampu menganalisa tujuan, isi
pembelajaran, dan menetapkan strategi pengorganisasian isi pembelajaran. Guru
mampu memilih dan menetapkan sistem evaluasi pembelajaran. Guru mampu
mengimplementasikan rancangan pembelajaran. Guru mampu mengembangkan. Dari
rangkaian ini bahwa guru dituntut untuk
menjadi guru profesional oleh pemerintah. Ini bentuk sebagai peningkatan mutu
guru dan ada profesor berkebangsaan Inggris pada tahun 1954 mengucapkan ; if
you learn from a teacher who still reads, it is like drinking fresh
water from a fountain. But if you learn from a teacher who no longer reads, it
is like drinking polluted water from a stagnat pool. Belajar dari guru yang
terus membaca, rasanya minun air segar. Namun, belajar dari guru yang tak lagi
membaca, seperti minum air comberan (Kompas, 22 Februari 2010).
Namun dalam kebijakan guru profesional
ada sisi lain, yaitu sebuah kasus
plagiat yang terjadi di Riau. Pertama disebabkan, perilaku
ini didorong karena sebuah tunjangan finansial dimana kalau sudah mendapat
stratifikasi guru mendapatkan gaji tambahan dan predikat guru profesional.
Kedua guru dalam bertahun-tahun hidup dalam kekurangan, dan ketika ada
kesepatan untuk perbaikan sosial bagi guru ingin secara cepat mendapatkannya
walau menempuh kecurangan. Dalam bentuk membayar orang untuk menyusun karya
ilmiah yang sudah jadi, dan di-copy tanpa ada ijin dan terjadi nama plagiat
yang berasal dari kata Belanda plagiaat
yang dapat diartikan meniru atau mencontoh pekerjaan orang lain tanpa ada izin.
Dan ini merupakan bentuk kasus yang menjadi pelajaran bagi kaum akademisi untuk
bersama-sama berusaha untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia.
Kalau kembali dalam pegertian guru
menurut Floud bahwa guru adalah bukan saja sebagai misionaris di
pemukiman-pemukiman orang miskin akan tetapi seorang pejuang didaerah pinggiran
kota. Pandangan ini serupa dengan Goble dan Porter (1977); guru-guru merupakan
faktor penting dalam pembangunan: mereka berada dalam suatu kedudukan yang
istimewa untuk mematahkan lingkaran kemiskinan, kebodohan dan prasangka dengan
cara mungkin bisa di terima oleh penduduk yang bersangkutan: sementara efek
berganda dari pekerjaan mereka menonjolkan mereka sebagai investasi berharga
disaat kita menghadapi tuntutan-tuntutan berat dengan sumber-sumber daya yang
terbatas (Robinson, 1986:190). Bahwa guru dalam tugasnya mencerdaskan kehidupan
berbangsa dan bernegara dan juga pemutus lingkaran kemiskinan namun masyarakat
miskin sekarang sulit untuk sekolah. Jika dirujuk dari pandangan Goble dan
Porter, masyarakat miskin tidak bisa sekolah, apa bisa memutuskan lingkaran
kemiskinan jadi demikian dalam pengertian yang ekstrim justru guru yang
kehilangan rohnya. Diakibatkan beberapa faktor salah satunya pendidikan di
Indonesia semakin komersil, ujungnya biaya pendidikan semakin mahal. Sebagai
guru harus peka terhadap masalah sosial, pendidikan yang semakin memakan biaya
mahal. Amalkan ilmunya bagi masyarakat miskin yang masih buta huruf dan guru
bekerja sebagi pendidik jangan sampai dibatasi dalam jam sekolah, ini mungkin
dapat mendekati arti dari makna guru yang sebenarnya.
II.
Fasilitas pendidikan
disekolah.
Fasilitas merupakan bentuk prasana
untuk mendukung terlaksananya dalam proses dalam belajar dan pembelajaran.
Dapat berupa gedung sekolah, meja kursi, dan alat-alat media yang mendukung
prasarana dalam belajar dan pembelajaran.
Masalah yang didapat ada bentuk-bentuk
sekolah berbagai jenis, seperti sekolah bertaraf internasional, nasional, lokal, dan ada yang
tidak ada predikatnya yaitu sekolah-sekolah derah pinggiran. Dalam fasilitas
pendidikan itu berbeda-beda dari tingkatan yang paling atas fasilitas
pendidikan yang lengkap yaitu bertaraf internasional, kedua bertaraf nasional
fasilitasnya dalam segi kelengkapan untuk saran belajar dan pembelajaran di
bawah sedikit dari yang bertaraf internasional, ketiga bertaraf lokal ada di
bahwa sedikit bertaraf nasional, keempat yang tidak punya predikat atau sekolah
pinggiran jangankan media pembelajaran yang seharus sebagai pendukung belajar
dan pembelajaran, sarana gedung yang atapnya bocor waktu terjadi hujan dan
kemarin ada peristiwa pengamabilan kursi waktu dalam pembelajaran berlangsung
ini sungguh ironis.
Dalam kenyataannya masyarakat
miskin justru berada dalam pendidikan yang tingkatan yang keempat. Di akibatkan
adanya tingkatan-tingkatan dalam dunia pendidikan ini, masyarakat miskin
semakin tertindas dalam sistem pendidikan yang ada.
Sekolah yang lengkap dalam fasilitas
pendidikannya lengkap seperti internasional, nasional dan lokal dapat dikatakan
menelan biaya yang banyak dan ini apakah dapat bisa dijangkau masyarakat
miskin. Padahal kedudukan media dalam proses pembelajaran adalah sebagai bagian
integral dalam pembelajaran. Komponen media ini perlu mendapatkan perhatian siswa,
penyajiannya disesuaikan dengan tujuan pembelajarn yang ditetapkan. Hadirnya
media dalam proses pembelajaran sangat membantu siswa atau pelajar lebih
memahami hal yang dipelajari. Oleh sebab itu, pemilihan dan penggunaan media
harus benar-benar tepat agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan
mudah. Pada akhirnya, pemanfaatan dan penggunaan media menunjang efektivitas, efisiensi,
dan daya tarik dalam pembelajaran ( Punaji, 208:7).
Kebijakan pemerintah yang
berhubungan dengan bantuan operasional sekolah (BOS), yang berujung pada
penggratisan pendidikan SD dan SMP, yang dikenal pendidikan gratis, ini
mendapatkan respon oleh masyarakat sangat bagus, terutama masyarakat miskin.
Berlaku pada sekolah negeri dan tidak dengan sekolah swasta.
Namun ini berbanding terbalik pada
kenyataan, misal para siswa yang dari keluarga kaya tidak dipungut biaya apa
pun karena pendidikan gratis dimaknai secara politis sebagai hasil perjuangan
politis yang harus dinikmati oleh siapa pun tanpa membedakan kaya miskin
(Kompas, 27 April 2009). Kata gratis sebenarnya, pengertiannya sangat sempit,
yaitu iuran sekolah yang dibebaskan. Biaya tentang perbaikan gedung dan kursi,
meja yang rusak. Kepala sekolah harus mengajukan beberapa prasyarat
administrasi untuk mendapatkan pembiayaan tentang fasilitas pada sekolah
tersebut.
Ini menimbulkan sebuah polemik ibarat
masyarakat hanya cukup sekolah SD sampai SMP. Seolah generasi yang baru
disiapkan untuk menjadi seorang buruh bukan generasi intelektual. Dapat dilihat
dalam jenjang perguruan tinggi biaya sangat mahal dan ini didukung adanya BHP
yang menuju ke komersialisasi pendidikan, ini berbanding terbalik dengan
sekolah SD dan SMP yang iuran gratis. Lagi-lagi masyarakat miskin terpojokkan,
namun masyarakat miskin pada masa pemilu menjadi sorotan utama dari program para
politisi, namun masa pemilu sudah selesai, masyarakat miskin akan terlupakan
dan posisinya terpojokan kembali.
III.
Kurikulum.
Kurikulum yang di pakai dalam dunia
pendidikan di masa sekarang adalah kurikulum tahun 2006 yaitu kurikulum
satuan pendidikan (KTSP). Secara umun
tujuan diterapkan KTSP adalah untuk memandirikan dan memperdayakan suatu pendidikan
melalui pemberi kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong
sekolah untuk melakukan pengembalian keputusan secara partisipatif dalam
pengembangan kurikulum.
Secara khusus tujuan diterapkannya
KTSP adalah untuk:
1. Meningkatkan
mutu pendidikan melalui kemandirian dan insiatif sekolah dalam mengembangkan
kurikulum, mengelola dan menggunakan sumberdaya yang tersedia.
2. Meningkatkan
kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui
pengambilan keputusan bersama.
3. Meningkatkan
kompetensi yang sehat antar suatu pendidikan tentang kualitas pendidikan yang
akan dicapai.
Memahami tujuan ini, KTSP dapat dipandang
sebagai suatu pola pendekatan baru dalam pengembangan kurikulum dalam konteks
otonomi daerah yang sedang digulirkan dewasa ini. Oleh karena itu, KTSP perlu
diterapkan oleh setiap satuan pendidikan, terutama berkaitan dengan tujuh hal
sebagai berikut.
1. Sekolah
lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sehigga
dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan
lembaga.
2. Sekolah
lebih mengetahui keburuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan
dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkatan
perkembangan dan kebutuhan dan kebutuhan peserta didik.
3. Pengembalian
keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan
sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik untuk
sekolahnya.
4. Keterlibatan
semua warga sekolah dan masyarakat dalam
pengembangan kurikulum menciptakan transparansi dan demokrasi yang
sehat, serta lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat
setempat.
5. Sekolah
dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah,
orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga dia akan
berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran KTSP.
6. Sekolah
dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk
meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang
tu` peserta didik, masyarakat, dan pemerintah setempat.
7. Sekolah
dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah
dengan cepat, serta mengakomodasinya dalam KTSP (Mulyasa.E, 2007: 22-23)
Dilihat dari tujuan KTSP secara
garis besar lembaga pendidikan untuk kreatif dan inovatif dalam mendidik
peserta didik. Namun KTSP tidak akan dipakai karena ujung-ujungnya dipaksa
fokus pada UN. Dan sekolah yang berkualitas ditentukan oleh sebuah hasil
kelulusan para peserta didiknya, ini tidak menarik lagi untuk diamati.
Kalau dalam bentuk pemiskinan
intelektual dapat dilihat dalam mata pelajaran sejarah yang banyak pengebiran
dalam lembaga pendidikan tingkat SMP dan SMA. Padahal sudah masa reformasi,
adanya perubahan dalam kurikulum sejarah, yaitu kurikulum 2006, ternyata secara
subtansial dan teknis tidak banyak membawa kemajuan. Topik-topik yang menjadi
sasaran standar kompetensi dan kompetensi dasar masih banyak kekurangan.
Alokasi waktu untuk pembelajaran sejarah mengalami pemangkasan. Guru-guru
sejarah masih dengan masalah teknis pembelajaran dan tidak diberi kesempatan
ikut mempengaruhi kebijakan politik pendidikan sejarah. MGMP sejarah belum mampu
membawa masalah politik pendidikan ke ranah ruang publik. Demokrasi di era
reformasi belum mampu memberikan ruang dan kebijakan politik sejarah secara demokratis
(Hariyono, 2009:1).
Para pemimpin di masa sekarang ini
kurang memperhatikan kecerdasan bangsanya, dapat dilihat dari kebijakan
nasional yang kurang berorientasi pada kepentingan rakyat. Usaha untuk membangun
watak bangsa yang cerdas dan bermartabat kurang mendapatkan prioritas.
Perdebatan panjang materi sejarah dan kurikulum tidak tuntas akibat adanya
campur tangan dan kepentingan politisi yang berpandangan sempit.
PENUTUP
Dalam fenomena sekarang ini didalam dunia pendidikan
yang semakin mahal dan tidak terjakau oleh masyarakat misikin. Masyarakat
miskin dapat dimaknai secara luas, yakni
ketidak mampuan manusia, yang ditandai pendidikan rendah, pengerdilan
intelektual, tak berpengetahuan, tak berketerampilan, pendapatan kurang,
distribusi kekayaan tidak merata, menyebabkan sebuah keluarga tidak mampu
memenuhi kebutuhan dasar untuk kebutuhan sehari-hari. Namun dalam pengukuran
kemiskinan hanya menggunakan indikator tingkat pendapatan perkapita atau per-satuan rumah tangga. Ini kalau dilihat
dari makna kemiskinan pandangan ukuran yang dipakai untuk mengukur masyarakat
miskin sangat tidak cocok. Dan alat ukur yang tidak tepat, masih dipakai untuk
mengukur jumlah masyarakat miskin di indonesia. Berujung pada
kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, efeknya dalam sistem
dunia pendidikan malah menyulitkan masyarakat miskin, dapat dilihat ada
BHP, yaitu bentuk komersialisasi dalam
dunia pendidikan. Dan ini berbanding terbalik dengan konstitusi yaitu pasal 31
ayat 1 dan 2 UUD 1945.
Kelas bagi Weber bukan komunitas” ia merupakan
landasan yang mungkin dan sering di gunakan bagi tindakan komunal”. Dengan
demikian, Weber membedakan antara kelas sosial yang mempunyai peluang hidup(
life-chances) yang sama, dengan kelompok status yang merupakan komunitas bagi
orang yang mempunyai gaya hidup (life-style) yang sama. Padangan Lenski tentang
kelas, memberikan definisi kesamaan dengan Weber.
Marx dan Engles menulis, “sejarah dari semua
masyarakat yang telah ada hingga sekarang merupakan sejarah perjuangan kelas”.
Pada pokoknya ada dua kelas besar, kaum borjuis dan kaum prolentar, yang
pertama memiliki alat-alat produksi dan yang kedua tidak mempunyai apa-apa
selain tenaga mereka saja.
Masyarakat dalam segi ekonomi mapan (orang kaya)
mempunyai kesempatan yang cukup luas dalam dunia pendidikan sekarang ini,
dengan ada kebijakan BHP dan menuju kekomersialisasi dalam dunia pendidikan,
akhirnya biaya pendidikan mahal. Namun dalam segi ekonomi kurang (orang miskin)
semakin hilang untuk mendapatkan pendidikan yang di cita-citakan pada pasal 31
ayat 1 dan 2 UUD. Sistem yang dibuat oleh pemerintah khusus dalam dunia
pendidikan sekarang ini menyusahkan masyarakat miskin, seolah-olah masyarakat
miskin napas tersendat-sendat dan tidak bernapas selamanya. Dan berbanding
terbalik dengan pendapat Durkheim yaitu, pendidikan sebagai hak semua orang dan
juga sebagai sarana orang miskin untuk meningkatkan menjadi pemimpin-pemimpin
masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
________.
2004. UUD 1945: Amandemen I-IV. Surabaya:
Pustaka Agung Harapan
Bustami, Abd. Latif. 2009. Pendidikan Tak Tul Jen Bet: Atapnya bocor, hujannya lewat (disampaikan
dalam Seminar Nasional Refleksi dan revitalisasi perekonomian, sosial politik,
dan pendidikan Menyongsong Kepemimpinan 2009-2014 tanggal 26 April 2009). Malang
: Universitas Negeri Malang
Hariyono. 2010. Pendidikan
Sejarah dan Pengembangan Otonomi Diri Siswa (disampaikan dalam Seminar Nasional
HMJ Sejarah Fakultas Ilmu Sosial). Malang: Universitas Negeri Malang
Kompas,
15 dan 21 Oktober 2009, 27 April 2009, 22 Februari 2010
Mulyasa,
E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Poloma,
Margaret M. 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta:
PT Raja Grafindo
Punaji. 2008. Pemilihan
dan Penggunaan Media Pembelajaran. Malang: Universitas Negeri Malang PSG
Robinson,
Philip. 1986. Beberapa Perspektif
Sosiologi Pendidikan. Jakarta: CV Rajawali
Suparno, H dan Kamdi, Waras. 2008. Pengembangan Profesiaonalitas Guru. Malang:
Universitas Negeri Malang PSG
Sztompka,
Piotr. 1993. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta:
Prenada Media Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar