Kamis, 13 Desember 2012

KOMUNITAS-KOMUNITAS ORANG JEPANG DI LUMAJANG BENTUK EKSISTENSI, PERISTIWA AWAL PENDUDUKAN JEPANG (1925-1942)


KOMUNITAS-KOMUNITAS ORANG JEPANG DI LUMAJANG BENTUK EKSISTENSI, PERISTIWA AWAL PENDUDUKAN JEPANG
(1925-1942)
Faris Dwi Ristian[1]
Abstrak: masyarakat miskin dapat  dimaknai secara luas, yakni ketidak mampuan manusia, yang ditandai pendidikan rendah, pengerdilan intelektual, tak berpengetahuan, tak berketerampilan, pendapatan kurang, distribusi kekayaan tidak merata, menyebabkan sebuah keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk kebutuhan sehari-hari. Namun dalam pengukuran kemiskinan hanya menggunakan indikator tingkat pendapatan perkapita atau  persatuan rumah tangga. Ini kalau dilihat dari makna kemiskinan pandangan ukuran yang dipakai untuk mengukur masyarakat miskin sangat tidak cocok. Dan alat ukur yang tidak tepat, masih dipakai untuk mengukur jumlah masyarakat miskin di Indonesia. Berujung pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, efeknya dalam sistem dunia pendidikan malah menyulitkan masyarakat miskin, dapat dilihat ada BHP,  yaitu bentuk komersialisasi dalam dunia pendidikan.

Kata Kunci : migrasi, kumunitas, adaptasi.
            Kumunitas-komunitas Jepang, bentuk dari orang-orang Jepang yang pada saat itu jalan beberapa masalah baik dari dalam dan dari luar, sehingga meninggalkan daerah asalnya untuk melakukan migrasi kedaerah lainya dengan setiap kepntingan individu yang berbeda. Dalam garis besar pencapaian dan  impian untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
            Hubungan Indonesia Jepang. Dengan ditutupanya Jepang, pada tahun 1636, hubungan perdangan dengan sendirinya menjadi sepi. Walaupun demikian, kontak dengan Kyushu dan Jepang dengan Jawa. Beberapa gambar cetak Jepang memperliahtkan budak-budak melayu yang di bawah oleh pedangang. Perdangan Belanda ke Jepang, sebaliknya di Batavia ada kumunitas kecil Jepang: istri orang Jepang yang diusir  Jepang pada tahun 1639 atau migran Kristen seperti Michiel T’sobe yang meninggal di Batavia pada tahun 1663 dan gambar batu nisan[2] dalam karya De Haan.
tergapai oleh orang miskin. Yang paling memalukan adalah anak yang punya potensi intelektual tinggi dan potensi untuk mengolah sumber daya alam Indonesia yang kaya, mulai pergi keluar negeri dan tidak kembali lagi ke Indonesia. Realitas ini dapat sebagai cerminan kenapa para intelektual di Indonesia pergi keluar negeri. Jawabannya ada beberapa akibat pertama, kesejahteraannya para intelektual kurang di perhatikan atau rasa nasonalisme yang redup atau hilang.
Ini dapat dikata salah satu faktor akibat dari penanaman wawasan nasonalisme dan pendidikan sejarah yang mulai di kucilkan, ini merupakan bentuk pemiskinan intelektual. Orang yang tidak mengerti betapa beratnya memperjuangkan Indonesia mencapai kemerdekaan. Pemuda  sekarang rasa memiliki Indonesia sudah pudar bahkan pemuda Indonesia banga pada negara lain. Kebijakan kurikulum 2006, ini justru pendidikan sejarah dikurangi jam mata pelajarannya, ini tidak lepas dari pandangan politik yang sempit, dikarenakan kebijakan penentuan kurikulum hasil dari kebijakan politik.
Bahkan yang lebih sejahtera dalam kemapanan ekonomi adalah kaum-kaum politisi bukan kaum intelektual yang dalam segi pembangunan bangsa yang berhasil, tidak lepas dari peranan para intelektual. Walaupun kaum politisi juga punya peranan penting dalam keberhasilan bangsa, namun politisi di Indonesia cenderung mementingkan kelompok partainya bukan rakyatnya.
Dapat dilihat kebijakan pemarintah tidak sejalan dengan yang diamanatkan konstitusi pada pasal 31 pasal 1 dan 2. Terutama dalam dunia pendidikan yang paling terbaru, dengan adanya Badan Hukum pendidikan (BHP) yang menuju kearah komersialisasi pendidikan. Masyarakat miskin yang tidak mampu dalam segi ekonomi tidak akan dapat mengenyam dunia pendidikan universitas, ini bentuk sistem pendidikan, yang menindas dan berdasarkan kebenaran pemerintah dan berlandaskan hukum.
Kajian Tingkat Struktur Sosial: Teori Kelas.
            Kesatuan sosial terbentuk muncul jaringan hubungan (struktur sosial) yang menghubungkan antara individu dengan individu lainya. Dari pandangan Marx tentang kesatuan sosial tidak dalam arti konkrit tetapi dalam arti modern.
Ini dipertegas dengan ulasan yang dikemukakan dalam bukunya, Grundrisse, ditemukan pernyataan tegas yaitu : Masyarakat bukanlah penjumlahan individu tetapi terwujud melalui totalitas hubungan dan situasi dimana individu saling berhadapan. Dan ulasan serupa dikemukakan Swingewood yaitu: Marx memusatkan perhatian pada masyarakat sebagai struktur hubungan tertentu yang didalamnya terdapat pamerih dan tindakan individu. Membanyangkan totalitas sebagai struktur hubungan sama saja dengan membayangkan individu yang berhubungan secara struktural. Konsistensi Marx terhadap strukturalisme terlihat dari perhatiannya yang terus-menerus tertuju baik pada tingkat realitas sosaial, totalitas, maupaun pada tingkatan individu (Sztompka, 2008:198-199).
Individu dapat dikatakan bisa membentuk kehidupan kolektif, kelompok, asosiasi dan lainya, bila sudah ada kebersamaan di antara mereka. Berarti ada perbedaan yang memisahkan mereka dengan individu lainnya yang termasuk dalam kesatuan mereka. Menurut Marx, basis kesatuan sosial terpenting adalah kepemilikan dalam arti kesamaan atas kepemilikan alat produksi: tanah, bahan mentah, peralatan, mesin dan kapital. Oleh karena itu kepemilikan atau keterbatasan pemilikan alat produksi adalah aspek yang sangat penting dalam situasi kehidupan manusia, menentukan posisi individu dalam masyarakat. Dan ini menurut Mrax, akan memunculkan kelas-kelas sosial.
Menurut Giddes dalam merangkumkan definisi kelas sosial yang hampir disepakati semua pemikiran Marxian sekarang ini. Rangkumannya adalah: kelas sosial oleh pengelompokan individu berdasarkan pemilikan pribadi atas alat produksi (Sztompka, 2008: 200).
Weber membedakan antara kelas dan status. Keduanya merupakan distribusi kekuasaan dalam masyarakat. Dengan kelas yang dimaksud oleh Weber hubungan seseorang dengan perekonomian dan pasar kerja, dan status di maksudkannya, setiap komponen nasib manusia yang tipikal ditentukan oleh penghargaan sosial yang spesifik, positif atau negatif. Kelas bagi Weber bukan komunitas” ia merupakan landasan yang mungkin dan sering digunakan bagi tindakan komunal”. Dengan demikian, Weber membedakan antara kelas sosial yang mempunyai peluang hidup ( life-chances) yang sama, dengan kelompok status yang merupakan komunitas bagi orang yang mempunyai gaya hidup (life-style) yang sama. Namun ini berbeda padangan dengan Marx tentang analisa mengenai masyarakat, kelas merupakan suatu konsep sentral. Pada permulaan Manifesto Partai Komunis, Marx dan Engels menulis, “sejarah dari semua masyarakat yang telah ada hingga sekarang merupakan sejarah perjuangan kelas”. Pada pokoknya ada dua kelas yang besar, kaum borjuis dan kaum proletar, yang pertama memiliki alat-alat produksi dan yang kedua tidak mempunyai apa-apa selain tenaga mereka saja (Robinson, 1986: 279).
Disini Lenski menaruh perhatian atas sistem yang terdiri dari tiga unit: individu, kelas, dan sistem kelas. Individu-individu membentuk kelas-kelas dan ini merupakan tingkatan analisa yang dasar. Pada gilirannya kemudian bersatu membentuk sistem kelas. Berbagai individu, kelas, dan sistem kelas yang benar-benar ada berhubungan satu sama lain serta terlibat dalam persaingan memperoleh sumber-sumber yang langka.
Lenski membatasi kelas sebagai pegelompokan orang dalam masyarakat yang berbeda dalam posisi yang sama dalam hal kekuatan atau berapa bentuk spesifik dari kekuasaan, privilise dan prestise. Tetapi dalam karyanya fokus dalam pembahasan Lenski adalah kelas kekuasaan, yang dianggapnya menentukan distribusi privilise dan prestise dalam surplus barang-barang yang berarti. Bagi Lenski, kelas adalah kelas kekuasaan (power class). Walaupun kelas kekusaan ini bisa bervariasi, mulai dari pemimpin industri sampai pada anggota Yunta-militer dan buruh-buruh pabrik yang terorganisir, masing-masing kelompok menduduki posisi yang sama seperti dalam definisi Weberian klasik tentang kemungkinan orang atau kelompok melaksanakan kehendak mereka walaupun oleh pihak lain. Kelas didefinisikan didalam hubungannya dengan tingkat kekuasaan yang dimiliki dalam mengendalikan sumber-sumber yang langka.
Jadi anggota kelas menengah bila dihubungkan dengan kepemilikan kekayaan, anggota kelas pekerja bila dikaitkan sebagai buruh. Masing-masing peranan utama maupun status dalam hierarki kekayaan akan mempengaruhi kesempatan untuk memperoleh sesuatu yang dicarinya dalam hidup, dan karena itu masing-masing akan menempatkannya dalam suatu kelas yang khusus (Polama, 2007: 153-154).
Sumber utama yang merangsang dinamika polarisasi dan kristalisasi terus-menerus ini terdapat dalam kontradiksi struktur kelas yang saling berlawanan ini. Marx melukiskan ciri khas hubungan antara kelas-kelas yang saling berlawanan ini. Ada tiga jenis perlawanan yang ditonjolkan. Pertama, adanya kontradiksi kepentingan obyektif antara golongan yang berupaya dan golongan yang tak berupaya. Kepentingan golongan yang berpunya umumnya akan terwujud atau kebutuhan mereka akan terpenuhi; sedangkan golongan yang tak berpunya jauh lebih sukar untuk mewujudkan kepentingan atau untuk memenuhi kebutuhan mereka. Inilah yang disebut “kontradiksi kelas”. Kedua kontradiksi kepentingan obyektif itu mungkin dibayangkan sebagai kontradiksi subjektif oleh anggota kelas yang bersangkutan. Ini kemudian akan menimbulkan perasaan bermusuhan, kecurigaan, dan kebencian di kedua  belah pihak. Tipe hubungan ini disebut “antagonis kelas”. Ketiga, antagonis mugkin itu terwujud di bidang ekonomi, politik, dan ideologi. Antagonis yang telah mengkristal dalam ketiga bidang kehidupan di atas mungkin diubah menjadi tindakan kolektif anggota kelas yang berlawanan. Pertentangan tanpa henti. Kadang reda, kadang pecah pertempuran. “Perjuagan kelas” adalah istilah yang paling tepat. Melalui kontradiksi, antagonisme dan perjuangan kelas, disertai desakan terus-menerus kearah penyelesaiannya, masyarakat cenderung berubah lebih maju (Sztompka, 2008: 2001).
Kondisi Masyarakat Miskin Indonesia Saat Ini
            Kemiskinan dapat dianalisis dari berbagai sudut pandang dan pendekatan, supaya mendapatkan pemahaman yang utuh. Kemiskinan bukan gejala yang sederhana, melainkan tidak terikat dengan ekonomi saja, tetapi saling terkait dengan masalah lain yang amat kompleks.
Pengertian Kemiskinan.
            Pengertian konvensional kemiskinan hanya berdimensi tunggal: pendapatan kurang, distribusi kekayaan yang tidak merata, menyebabkan seseorang atau keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan sehari-hari. Paramater pokok untuk mengetahui kekuragan pendapatan adalah pengeluaran rumah tangga yang amat rendah, bahkan untuk mencukupi kebutuhan manusia.
Disini ada dua pokok bahasaan, yang pertama, adanya ketersediaan lapangan pekerjaan. Kedua, upah minimum yang menjadi instrumen penting sehingga dapat melihat tingkat pemerataan distribusi pendapatan. Jadi untuk memahami fenomena kemiskinan pun sangat bervariasi.
            Pertama, menggunakan model perbandingan antara lapisan sosial yang bertujuan menjelaskan bentuk fakta-fakta empiris perbedaan distribusi pendapatan yang berdasarkan kelompok masyarakat. Kedua, memakai model regresi guna untuk mengukur upah kerja berdasarkan teori modal manusia.
            Ekonom Amartya Sen juga mengenalkan makna kemiskinan secara lebih luas, yakni ketidakmampuan manusia, yang ditandai pendidikan yang rendah, tak berpengetahuan, tidak berketerampilan. Bahkan, Sen menyentuh dimensi politik: ketiadaan kebebasan dan keterbatasan ruang partisipasi, yang menghalangi warga untuk terlibat proses pengambilan kebijakan politik.  Dalam situasi demikian, masyarakat ada dalam posisi tidak setara untuk mendapatkan akses ke sumber-sumber ekonomi produktif sehingga terhalang untuk memperoleh sesuatu yang menjadi hak mereka.(Kompas, 15 Oktober 2009)
            Maka, pengukuran kemiskinan yang berdasarkan indikator tingkat pendapataan perkapita dan atau per-satuan rumah tangga. Karena itu, berbagai kebijakan untuk meningkatkan pendapatan dengan maksud menambah kemampuan daya beli masyarakat, misal program bantuan langsung tunai (BLT), ini pun tidak efektif  meski dinilai sedikit membantu dalam jangka pendek, tetapi tidak menyelesaikan akar kemiskinan.
            Bahkan program pemerintah pada periode 2009-2014 mencanangkan dalam  program 5 tahun dalam pemerintahannya yaitu: 1. Peningkatan kesejahteraan rakyat( prosperty), pembangunan ekonomi berlandaskan keunggulan daya saing, pengelolaan sumber daya alam, dan peningkatan sumber daya manusia. Menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkeadilan, dan merata (Kompas, 21 Oktober 2009).
            Namun dalam berjalannya waktu program pemerintah yang berisi tentang peningkatan kesejahteran itu hanya dapat dikatakan sebagai wacana saja. Dapat kita lihat kasus tentang warga miskin yang terekspose oleh media pertanggal 2 Desember 2009 Kompas, tentang warga kampung Beting, Jakarta Utara, setahun lebih terbaring tanpa bisa mendapatkan layanan kesehatan bagi orang miskin. Walaupun pemerintah memberlakukan asuransi kesehatan untuk  masyarakat miskin (Askeskin) dan sekarang diganti menjadi jaminan kesehatan masyarakat miskin (Jamkesmas) ini merupakan bentuk langkah pemerintah dalam merealisasikan wacananya. Namun dalam realisasinya banyak kendala justru orang yang punya Jamkesmas ini, ketika dalam rumah sakit, mendapatkan perilaku yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Ini merupakan sebuah peristiwa yang terukap oleh media dan mungkin masih banyak peristiwa-peristiwa yang lain yang menyangkut masyarakat miskin belum terungkap oleh media.
            Dalam dunia pendidikan masyarakat miskin juga banyak kendala, dapat kita lihat perkembangan dunia pendidikan yang mulai maju dan ini diiringi kemajuan teknologi  dan arus informasi yang menglobal tersebut tidak selamanya memberikan jaminan membawah peningkatan sumberdaya manusia (SDM). Namun justru dalam dunia pendidikan, sekolah ada beberapa tingkatan separti sekolah yang bertaraf Internasional, bertaraf Nasional, bertaraf lokal dan juga dikatakan sekolah pinggiran yang tidak mempunyai standar. Masyarakat miskin dapat diposisikan dalam tiga kriteria tersebut, kalaupun dapat sekolah hanya bisa sekolah dalam tingkatan lokal.
Bahkan dalam realitas politik menujukan kehadiran peran kepala negara, kepala pemerintahan, pemimipin partai atau penasehat/pembina partai, dan individu menjadi campur aduk. Kontruksi kekuasaan itu akan dipertahankan karena dapat memenuhi syahwat kekuasaan yang serasa nikmat dan ajaib sehingga akan berlanjut terus,” kalau lupa duduk, lupa berdiri”(Bustami, 2009:1). Ini bukti bahwa pendidikan di tentukan oleh kebijakan politik.
            Konstruksi diatas menjadikan bukti bahwa pendidikan kita menjadi elitis, reduksionis, dan ad hoc tergantung kondisi politik yang dinamis (fluktuatif). Sementara itu persekolahan cenderung melahirkan priyayi-priyayi baru yang berjarak dengan kehidupan sekitar. Orang miskin, orang cacat, orang yang berada di wilayah perbatasan, pulau-pulau kecil yang jauh dari jangkauan dan perhatian ini akan menjadi anak tiri. Pendidikan cenderung direduksi menjadi persekolahan formal. Di sisi lain, isu pendidikan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dalam urusan mencerdaskan kehidupan bangsa selalu dapat ibaratkan metafora kesuksesan pencapaian pendidikan tidak bermakna apa-apa. Ketika dihadapkan indikator sukses menjadi tidak bermakna ketika dihadapkan isu korupsi, politik anggaran, pengangguran, kebijakan yang tidak pro rakyat. Bahkan ganti menteri ganti kurikulum, bangunan sekolah ambruk, jual beli gelar, komersialisasi pendidikan sehingga biaya pendidikan semakin mahal. Ini dijadikan kumpulan fakta bahwa sebuah sistem pendidikan yang mengalami komersialisasi, sehingga biaya pendidikan mahal dan dapat dijadikan pukulan berat bagi masyarakat miskin.
Ironisnya berbanding terbalik dengan  Pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945 dinyatakan yaitu Pasal 1. Tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Pasal 2. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sisitem pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang-Undang (UUD 1945:12). UU NO.3 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 9 tentang pembiayaan pendidikan yang merupakan tanggung jawab pemerintahan baik pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah bukan orang tua siswa para penyusun itu mengaitkan peran serta perusahaan, lembaga keuangan dan perbankan yang mempunyai dana cukup untuk membantu pemerintah dalam biaya pendidikan. Pemerintah sebagai pemegang amanah konstitusi dan otoritas negara adalah aktor utama penyelenggaraan pendidikan (Bustami, 2009:2).
Sistem Pendidikan Pada Era Sekarang/Global.
Menurut Freidmen bahwa globalisasi merupakan fenomena kekinian yang terjadi dalam tiga gelombang, yaitu Protugis Spanyol, Inggris dan Amerika Serikat. Ini dapat dikatakan pada masa modern tapi pada periodesasi prasejarah dan Hindhu-Budha tidak mendapatkan hitungan. Dan sebuah fenomena globalisasi telah berlangsung sejak masa lalu setiap masyarakat dimuka bumi ini merupakan masyarakat global (Sahlin, 1994). Di lain pihak masa sekarang ini, dapat dikatakan sudah masuk dalam gelombang globalisasi yang ketiga yaitu Amerika Serikat. Dalam segi pendidikan, pelajar-pelajar Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan di Negara Amerika Serikat, dalam konsep pemikirannya tidak jauh dari pendidikan yang di perolehnya. Negara Amerika Serikat adalah negara yang kapitalis dan jabatan-jabatan penting yang ada di Indonesia ditepati oleh orang-orang yang latar belakangya pendidikan dari Amerika. Kenapa ini dapat ikutkan dalam ranah pendidikan karena pendidikan di Indonesia merupakan hasil dari kebijakan politik. Sistem pendidikan meliputi yaitu :
 I.            Guru.
Guru merupakan faktor yang paling penting dalam dunia pendidikan. Bahkan kompetensi pendidik sekarang ini dalam kompetensinya diatur yang sebagaimana dalam PP Nomer 19 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Yang terurai dalam 4 kompenen yaitu:
1)      Kompetensi pedagogis.
2)      Kompentesi profesional (dalam penjelasan yang dimaksud kompetensi profesional adalah penguasaan bidang ilmu yang diajarkan).
3)      Kompetensi sosial.
4)      Kompetensi kepribadian (Suparno dan Kamdi,W, 2008:1)
Maka dari itu guru dituntut untuk profesional yaitu guru mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan secara terus-menerus. Guru memahami perkembangan pandangan (konsepsi), teori, dan paradikma belajar dan pembelajaran. Guru mampu memahami karakteristik peserta didik dan menjadikan pemahamannya sebagai pijakan pengambilan keputusan dalam menetapkan strategi pembelajaran. Guru mampu mengembangkan pembelajaran dengan model pembelajaran inovatif. Guru mampu menganalisa tujuan, isi pembelajaran, dan menetapkan strategi pengorganisasian isi pembelajaran. Guru mampu memilih dan menetapkan sistem evaluasi pembelajaran. Guru mampu mengimplementasikan rancangan pembelajaran. Guru mampu mengembangkan. Dari rangkaian  ini bahwa guru dituntut untuk menjadi guru profesional oleh pemerintah. Ini bentuk sebagai peningkatan mutu guru dan ada profesor berkebangsaan Inggris pada tahun 1954 mengucapkan ; if  you learn from a teacher who still reads, it is like drinking fresh water from a fountain. But if you learn from a teacher who no longer reads, it is like drinking polluted water from a stagnat pool. Belajar dari guru yang terus membaca, rasanya minun air segar. Namun, belajar dari guru yang tak lagi membaca, seperti minum air comberan (Kompas, 22 Februari 2010).
Namun dalam kebijakan guru profesional ada sisi lain, yaitu sebuah kasus  plagiat yang terjadi di Riau. Pertama disebabkan, perilaku ini didorong karena sebuah tunjangan finansial dimana kalau sudah mendapat stratifikasi guru mendapatkan gaji tambahan dan predikat guru profesional. Kedua guru dalam bertahun-tahun hidup dalam kekurangan, dan ketika ada kesepatan untuk perbaikan sosial bagi guru ingin secara cepat mendapatkannya walau menempuh kecurangan. Dalam bentuk membayar orang untuk menyusun karya ilmiah yang sudah jadi, dan di-copy tanpa ada ijin dan terjadi nama plagiat yang berasal dari kata Belanda plagiaat yang dapat diartikan meniru atau mencontoh pekerjaan orang lain tanpa ada izin. Dan ini merupakan bentuk kasus yang menjadi pelajaran bagi kaum akademisi untuk bersama-sama berusaha untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia.
Kalau kembali dalam pegertian guru menurut Floud bahwa guru adalah bukan saja sebagai misionaris di pemukiman-pemukiman orang miskin akan tetapi seorang pejuang didaerah pinggiran kota. Pandangan ini serupa dengan Goble dan Porter (1977); guru-guru merupakan faktor penting dalam pembangunan: mereka berada dalam suatu kedudukan yang istimewa untuk mematahkan lingkaran kemiskinan, kebodohan dan prasangka dengan cara mungkin bisa di terima oleh penduduk yang bersangkutan: sementara efek berganda dari pekerjaan mereka menonjolkan mereka sebagai investasi berharga disaat kita menghadapi tuntutan-tuntutan berat dengan sumber-sumber daya yang terbatas (Robinson, 1986:190). Bahwa guru dalam tugasnya mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara dan juga pemutus lingkaran kemiskinan namun masyarakat miskin sekarang sulit untuk sekolah. Jika dirujuk dari pandangan Goble dan Porter, masyarakat miskin tidak bisa sekolah, apa bisa memutuskan lingkaran kemiskinan jadi demikian dalam pengertian yang ekstrim justru guru yang kehilangan rohnya. Diakibatkan beberapa faktor salah satunya pendidikan di Indonesia semakin komersil, ujungnya biaya pendidikan semakin mahal. Sebagai guru harus peka terhadap masalah sosial, pendidikan yang semakin memakan biaya mahal. Amalkan ilmunya bagi masyarakat miskin yang masih buta huruf dan guru bekerja sebagi pendidik jangan sampai dibatasi dalam jam sekolah, ini mungkin dapat mendekati arti dari makna guru yang sebenarnya.
II.            Fasilitas pendidikan disekolah.
Fasilitas merupakan bentuk prasana untuk mendukung terlaksananya dalam proses dalam belajar dan pembelajaran. Dapat berupa gedung sekolah, meja kursi, dan alat-alat media yang mendukung prasarana dalam belajar dan pembelajaran.
Masalah yang didapat ada bentuk-bentuk sekolah berbagai jenis, seperti sekolah bertaraf  internasional, nasional, lokal, dan ada yang tidak ada predikatnya yaitu sekolah-sekolah derah pinggiran. Dalam fasilitas pendidikan itu berbeda-beda dari tingkatan yang paling atas fasilitas pendidikan yang lengkap yaitu bertaraf internasional, kedua bertaraf nasional fasilitasnya dalam segi kelengkapan untuk saran belajar dan pembelajaran di bawah sedikit dari yang bertaraf internasional, ketiga bertaraf lokal ada di bahwa sedikit bertaraf nasional, keempat yang tidak punya predikat atau sekolah pinggiran jangankan media pembelajaran yang seharus sebagai pendukung belajar dan pembelajaran, sarana gedung yang atapnya bocor waktu terjadi hujan dan kemarin ada peristiwa pengamabilan kursi waktu dalam pembelajaran berlangsung ini sungguh ironis.
Dalam kenyataannya masyarakat miskin justru berada dalam pendidikan yang tingkatan yang keempat. Di akibatkan adanya tingkatan-tingkatan dalam dunia pendidikan ini, masyarakat miskin semakin tertindas dalam sistem pendidikan yang ada. 
Sekolah yang lengkap dalam fasilitas pendidikannya lengkap seperti internasional, nasional dan lokal dapat dikatakan menelan biaya yang banyak dan ini apakah dapat bisa dijangkau masyarakat miskin. Padahal kedudukan media dalam proses pembelajaran adalah sebagai bagian integral dalam pembelajaran. Komponen media ini perlu mendapatkan perhatian siswa, penyajiannya disesuaikan dengan tujuan pembelajarn yang ditetapkan. Hadirnya media dalam proses pembelajaran sangat membantu siswa atau pelajar lebih memahami hal yang dipelajari. Oleh sebab itu, pemilihan dan penggunaan media harus benar-benar tepat agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan mudah. Pada akhirnya, pemanfaatan dan penggunaan media menunjang efektivitas, efisiensi, dan daya tarik dalam pembelajaran ( Punaji, 208:7).
Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan bantuan operasional sekolah (BOS), yang berujung pada penggratisan pendidikan SD dan SMP, yang dikenal pendidikan gratis, ini mendapatkan respon oleh masyarakat sangat bagus, terutama masyarakat miskin. Berlaku pada sekolah negeri dan tidak dengan sekolah swasta.
Namun ini berbanding terbalik pada kenyataan, misal para siswa yang dari keluarga kaya tidak dipungut biaya apa pun karena pendidikan gratis dimaknai secara politis sebagai hasil perjuangan politis yang harus dinikmati oleh siapa pun tanpa membedakan kaya miskin (Kompas, 27 April 2009). Kata gratis sebenarnya, pengertiannya sangat sempit, yaitu iuran sekolah yang dibebaskan. Biaya tentang perbaikan gedung dan kursi, meja yang rusak. Kepala sekolah harus mengajukan beberapa prasyarat administrasi untuk mendapatkan pembiayaan tentang fasilitas pada sekolah tersebut.
Ini menimbulkan sebuah polemik ibarat masyarakat hanya cukup sekolah SD sampai SMP. Seolah generasi yang baru disiapkan untuk menjadi seorang buruh bukan generasi intelektual. Dapat dilihat dalam jenjang perguruan tinggi biaya sangat mahal dan ini didukung adanya BHP yang menuju ke komersialisasi pendidikan, ini berbanding terbalik dengan sekolah SD dan SMP yang iuran gratis. Lagi-lagi masyarakat miskin terpojokkan, namun masyarakat miskin pada masa pemilu menjadi sorotan utama dari program para politisi, namun masa pemilu sudah selesai, masyarakat miskin akan terlupakan dan posisinya terpojokan kembali.
III.            Kurikulum.
Kurikulum yang di pakai dalam dunia pendidikan di masa sekarang adalah kurikulum tahun 2006 yaitu kurikulum satuan  pendidikan (KTSP). Secara umun tujuan diterapkan KTSP adalah untuk memandirikan dan memperdayakan suatu pendidikan melalui pemberi kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengembalian keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum.
Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk:
1.      Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan insiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan menggunakan sumberdaya yang tersedia.
2.      Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.
3.      Meningkatkan kompetensi yang sehat antar suatu pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.
Memahami tujuan ini, KTSP dapat dipandang sebagai suatu pola pendekatan baru dalam pengembangan kurikulum dalam konteks otonomi daerah yang sedang digulirkan dewasa ini. Oleh karena itu, KTSP perlu diterapkan oleh setiap satuan pendidikan, terutama berkaitan dengan tujuh hal sebagai berikut.
1.      Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sehigga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan lembaga.
2.      Sekolah lebih mengetahui keburuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkatan perkembangan dan kebutuhan dan kebutuhan peserta didik.
3.      Pengembalian keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik untuk sekolahnya.
4.      Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam  pengembangan kurikulum menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat, serta lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat.
5.      Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga dia akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran KTSP.
6.      Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tu` peserta didik, masyarakat, dan pemerintah setempat.
7.      Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat, serta mengakomodasinya dalam KTSP (Mulyasa.E, 2007: 22-23)
Dilihat dari tujuan KTSP secara garis besar lembaga pendidikan untuk kreatif dan inovatif dalam mendidik peserta didik. Namun KTSP tidak akan dipakai karena ujung-ujungnya dipaksa fokus pada UN. Dan sekolah yang berkualitas ditentukan oleh sebuah hasil kelulusan para peserta didiknya, ini tidak menarik lagi untuk diamati.
Kalau dalam bentuk pemiskinan intelektual dapat dilihat dalam mata pelajaran sejarah yang banyak pengebiran dalam lembaga pendidikan tingkat SMP dan SMA. Padahal sudah masa reformasi, adanya perubahan dalam kurikulum sejarah, yaitu kurikulum 2006, ternyata secara subtansial dan teknis tidak banyak membawa kemajuan. Topik-topik yang menjadi sasaran standar kompetensi dan kompetensi dasar masih banyak kekurangan. Alokasi waktu untuk pembelajaran sejarah mengalami pemangkasan. Guru-guru sejarah masih dengan masalah teknis pembelajaran dan tidak diberi kesempatan ikut mempengaruhi kebijakan politik pendidikan sejarah. MGMP sejarah belum mampu membawa masalah politik pendidikan ke ranah ruang publik. Demokrasi di era reformasi belum mampu memberikan ruang dan kebijakan politik sejarah secara demokratis (Hariyono, 2009:1).
Para pemimpin di masa sekarang ini kurang memperhatikan kecerdasan bangsanya, dapat dilihat dari kebijakan nasional yang kurang berorientasi pada kepentingan rakyat. Usaha untuk membangun watak bangsa yang cerdas dan bermartabat kurang mendapatkan prioritas. Perdebatan panjang materi sejarah dan kurikulum tidak tuntas akibat adanya campur tangan dan kepentingan politisi yang berpandangan sempit.
PENUTUP
Dalam fenomena sekarang ini didalam dunia pendidikan yang semakin mahal dan tidak terjakau oleh masyarakat misikin. Masyarakat miskin dapat  dimaknai secara luas, yakni ketidak mampuan manusia, yang ditandai pendidikan rendah, pengerdilan intelektual, tak berpengetahuan, tak berketerampilan, pendapatan kurang, distribusi kekayaan tidak merata, menyebabkan sebuah keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk kebutuhan sehari-hari. Namun dalam pengukuran kemiskinan hanya menggunakan indikator tingkat pendapatan perkapita atau  per-satuan rumah tangga. Ini kalau dilihat dari makna kemiskinan pandangan ukuran yang dipakai untuk mengukur masyarakat miskin sangat tidak cocok. Dan alat ukur yang tidak tepat, masih dipakai untuk mengukur jumlah masyarakat miskin di indonesia. Berujung pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, efeknya dalam sistem dunia pendidikan malah menyulitkan masyarakat miskin, dapat dilihat ada BHP,  yaitu bentuk komersialisasi dalam dunia pendidikan. Dan ini berbanding terbalik dengan konstitusi yaitu pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945.
Kelas bagi Weber bukan komunitas” ia merupakan landasan yang mungkin dan sering di gunakan bagi tindakan komunal”. Dengan demikian, Weber membedakan antara kelas sosial yang mempunyai peluang hidup( life-chances) yang sama, dengan kelompok status yang merupakan komunitas bagi orang yang mempunyai gaya hidup (life-style) yang sama. Padangan Lenski tentang kelas, memberikan definisi kesamaan dengan Weber.
Marx dan Engles menulis, “sejarah dari semua masyarakat yang telah ada hingga sekarang merupakan sejarah perjuangan kelas”. Pada pokoknya ada dua kelas besar, kaum borjuis dan kaum prolentar, yang pertama memiliki alat-alat produksi dan yang kedua tidak mempunyai apa-apa selain tenaga mereka saja.
Masyarakat dalam segi ekonomi mapan (orang kaya) mempunyai kesempatan yang cukup luas dalam dunia pendidikan sekarang ini, dengan ada kebijakan BHP dan menuju kekomersialisasi dalam dunia pendidikan, akhirnya biaya pendidikan mahal. Namun dalam segi ekonomi kurang (orang miskin) semakin hilang untuk mendapatkan pendidikan yang di cita-citakan pada pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD. Sistem yang dibuat oleh pemerintah khusus dalam dunia pendidikan sekarang ini menyusahkan masyarakat miskin, seolah-olah masyarakat miskin napas tersendat-sendat dan tidak bernapas selamanya. Dan berbanding terbalik dengan pendapat Durkheim yaitu, pendidikan sebagai hak semua orang dan juga sebagai sarana orang miskin untuk meningkatkan menjadi pemimpin-pemimpin masyarakat.




DAFTAR RUJUKAN
________. 2004. UUD 1945: Amandemen I-IV. Surabaya: Pustaka Agung Harapan
Bustami, Abd. Latif. 2009. Pendidikan Tak Tul Jen Bet: Atapnya bocor, hujannya lewat (disampaikan dalam Seminar Nasional Refleksi dan revitalisasi perekonomian, sosial politik, dan pendidikan Menyongsong Kepemimpinan 2009-2014 tanggal 26 April 2009). Malang : Universitas Negeri Malang
Hariyono. 2010. Pendidikan Sejarah dan Pengembangan Otonomi Diri Siswa (disampaikan dalam Seminar Nasional HMJ Sejarah Fakultas Ilmu Sosial). Malang: Universitas Negeri Malang
Kompas, 15 dan 21 Oktober 2009, 27 April 2009, 22 Februari 2010
Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Poloma, Margaret M. 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo
Punaji. 2008. Pemilihan dan Penggunaan Media Pembelajaran. Malang: Universitas Negeri Malang PSG
Robinson, Philip. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta: CV Rajawali
Suparno, H dan Kamdi, Waras. 2008. Pengembangan Profesiaonalitas Guru. Malang: Universitas Negeri Malang PSG
Sztompka, Piotr. 1993. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Group


                                   
                                   
                                   


           



[1] Mahasiswa Jurusan Sejarah Prodi Pedidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang. NIM 107831407223. Naskah dalam  jurnal ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah sosiologi pendidikan, Maret 2010.
[2]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar