Rabu, 05 Februari 2014

CONTRIBUTION SITE HISTORY OF EDUCATION IN THE TEMPLE GEDONG PUTRI LOCAL SCALE


KONTRIBUSI SITUS CANDI GEDONGPUTRI DALAM PENDIDIKAN SEJARAH BERSKALA LOKAL
CONTRIBUTION SITE HISTORY OF EDUCATION IN THE TEMPLE GEDONG PUTRI LOCAL SCALE
Faris Dwi Ristian[1]
Abstrak. Situs gedung putri berada di wilayah Dusun Gedung Putri, Desa Kelapa Sawit, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang. Nilai kesejarahan dari situs gedung putri dapat memberikan kontribusi dalam pendidikan berskala lokal. Dengan ini rasa memiliki, menjaga, melestarikan dan belajar dari kesejarahanya akan tumbuh pada peserta didik.
 Situs Gedung Putri is located in the region, Village Kelopo Sawit, District Candipuro, Lumajang. Historical value of the building site can contribute to women's education local scale. With this sense of belonging, maintain, preserve and learn from history  will grow on the learner.
Kata- kata kunci: Situs Candi Gedongputri, Pendidikan Berskala Lokal
Kontribusi Situs Gedong Putri pada pendidikan berskala lokal adalah dapat di masukan dalam pengayaan materi sejarah, khusunya pada mata pelajaran sejarah SMA kelas XI Program IPS.  Pada standar kompetensi: 1. Menganalisis perjalanan bangsa Indonesia pada masa negara-negara tradisional. Kompentensi dasar : 1.2 Menganalisis perkembangan kehidupan negara-negara kerajaan Hindhu- Budha. Situs Gedong Putri dapat dipakai sebagai media pembalajaran sejarah dengan karya wisata dan dapat menumbuhkan rasa memiliki serta melestarikan peninggalan sejarah pada peserta didik khususnya wilayah Kabupaten Lumajang. Dalam melestarikan cagar budaya yang ada di wilayah Lumajang. Tidak dapat mengantungkan tanggung jawab kepada pemerintah setempat saja, namun peran kita semua diperlukan menjaga dan  melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah yang ada di Kabupaten Lumajang.
Situs Candi Gedong Putri
Letak situs candi gedong putri pada wilayah Kecamatan Candipuro Kabupaten Lumajang terletak pada 112˚ 50’ - 113˚ 23 BT dan 7˚ 54’ - 8˚  23’ LS. Luas wilayah secara keseluruhan 1.790, 90 km persegi. Wilayah ini dibatasi oleh Kabupaten Malang di sebelah barat dengan batas Gunung Semeru, Pegunungan Tengger, dan Sungai Glidik. Sisi timur dibatasi oleh wilayah administratif Kabupaten Jember dengan batasan sungai Bondoyudo. Sisi Utara dibatisi Pegunungan Tengger dan Gunung Lamongan yang berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo dan sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia.
Situs Candi Gedong Putri pada posisi 8 ° 10’24,9” Lintang Selatan dan 113° 4’40,2” Bujur Timur. Ketinggian permukaan situs 360 meter dpal. Situs ini terletak di Dusun Gedong Putri, Desa Kelapa Sawit, Kecamatan Candipuro.[2] Di Situs Gedong Putri terdapat tumpukan batu bata kono yang kondisi sudah patahan dan tidak berbentuk sebuah bagunan. Lumpang batu, umpak batu serta batu andesit sudah dipahat dalam bentuk segi empat. Sedangkan pada temuan lingga dan yoni tempatnya terpisah dengan situs candi gedong putri. Letak lingga dan yoni berada pada sisi barat laut berjarak kurang lebih 70 m dari Candi Gedong Putri.
Luas tumpukan batu yang membentuk denah Candi Gedong Putri ini berukuran 11 meter X 7,5 meter. Unsur bangunan terdiri dari sebuah ambang pintu yang terbuat dari batu andesit. Ukuran dari ambang pintu yang terbuat dengan batu andesit adalah 60 X 35 Cm, tebal 20 Cm, berserta lobang engselnya dengan diameter 8 Cm dan dalamnya 9 Cm lubang pasak bentuk persegi panjang yang pasaknya telah patah, (2) sebuah ambang pintu yang masih utuh dengan ukuran 110 X 40 Cm, tebal 20 Cm beserta lobang engselnya dengan diameter 8 Cm dan dalamnya 14 Cm serta berlobang pasak berbentuk persegi dengan ukuran 13 X 8 Cm dalamnya 7 Cm, dengan lebar jalan masuk 80 Cm. Selain itu terdapat lima buah balok batu andesit besar (128 X 49 Cm tebal 23 Cm, 77 X 5 Cm tebal 20 Cm, 96 X 46,5 tebal 22 Cm, 87 X 33 Cm tebal 20, dan 84 X 40 Cm tebal 22 Cm), (3) yoni yang berukuran tinggi 64 Cm dan lebarnya 63 X 63 Cm, sedangkan lebar bagian tengah adalah 42 Cm. Lubang tempat Lingga berukuran 17 Cm, sedangkan ukuran cerat 24 X 17 Cm, tebal 17 Cm dan lobang saluran air 2,5 Cm, (4), Lampung batu berukuran diameter bidang datar 46 Cm, diameter lubang
14 Cm dan kedalaman lubang 13 Cm. Umpak batu berukuran tinggi 30 Cm, Panjang 30 Cm dan lebar 24 Cm.[3]
Dengan temuan lingga dan yoni, yang mempunyai fungsi yaitu yoni merupakan tumpuan untuk suatu arca atau lingga yang berfungsi sebagai penyalur air pembasuh arca atau lingga. Lingga merupakan simbol dewa Siwa yang bentuknya seperti kemaluan laki (Phallus). Dewa Siwa dihubungkan dengan lambang kesuburan dan lambang Siwa sebagai pemberi air[4], Siwa juga terkenal disembah sabagai  Lingga, Simbol kelamin laki laki[5], lingga dan yoni dapat kita jumpai di sejumlah situs Candi di Malang. Tulungagung, Blitar, Mojokerto, dan Jombang, Madiun. Bangunan ini biasa ditemukan  di balik utama candi atau ada juga yang posisinya terbuka dalam arti dikelilingi candi. Bangunan lingga dan yoni merupakan simbol dari penganut agama sekte Siwa yang memang pada masa Majapahit sangat dominan. Bagi para pengikut Siwa Lingga adalah perwujudan dari Dewa Siwa, sedangkan yoni perwujudan dari Dewi Partiwi, istri Dewa Siwa.  Lingga (unsur maskulin) yang menancap pada yoni (unsur feminim) mengambarkan penyatuan antara Siwa dan Pratiwi yang melambangkan kesuburan. Penyatuan keduanya merupakan kekuatan tertinggi[6]. Lingga dan Yoni yang di temukan di gedong putri memiliki pahatan yang halus. Yoni ini memiliki pelipit sisi genta dibagian bawah dan pelipit persegi pada bagian badan. Cerat yoni di sangga oleh pahatan naga halus, indah dan detail dalam pemahatanya dan dilengkapi dengan aksesoris yang berupa kalung (hara) dan Subang (Kundala).
Dengan keseluruhan temuan dari candi Gedongputri dapat dikategorikan situs pemukiman pada tingkat I. Situs tingkat pemukiman I adalah situs pemukiman yang kompleks, memliki struktur bangunan permanen dari bata, dan artefak-artefak yang padat dan beragam yang menunjukkan berbagai perlengkapan kehidupan sehari-hari. Struktur keruangan pemukiman dapat diidentifikasi yang meliputi ruang untuk tempat tinggal, serta ruang-ruang untuk aktivitas lainnya, seperti aktivitas religi, sosial, ekonomi, dan politik. Pemilihan lokasi memenuhi syarat untuk bermukim dan relatif mudah ditempuh oleh sarana transportasi yang ada pada masa itu[7]. Lokasi yang memenuhi syarat adalah kesuburan tanah, tersedianya air bersih, serta keamanan wilayah tersebut menjadi pertimbangan dalam pemilihan tempat tinggal.
Keterangan Tekstual
Sumber dari susastra pararaton yang menyebutkan bahwa’’.................’’beliau Wiraraja pamit kembali ke Lamajang Tigang Juru, Karena janji Raden Wijaya akan membagi pulau Jawa. mendapatkan anugerah daerah Lumajang Utara. Selatan dan Tigang Juru. (......................Sira wiraraja amit anggulihi ing lamajang tigang juru, apan pasamayanira raden Wijaya amalihara Jawa, kaugrahan lurah Lamajang lor kidul lawan Tigang Juru).[8]   
Kidung Hasana Wijaya (115b) menyebutkan bahwa “ maka kemudian beliau adhipati Madhura telah mendapatkan kedudukan, dibagi dualah Pulau Jawa oleh Sri Narendra dan (Wiraraja) telah ditempatkan di Lumajang...............(Ndan sira adhipating Madhura wus sinung linggih pinalih punang Yawadwipa denira Sri Narendra pinrenah woten ing Lamjang..........).[9]
Kidung Ranggalawe (Nyanyian XIV) hanya menyebutkan dengan “ Tigang Juru”-  tanpa didahulu oleh kata “Lamajang”. Susatra ini menceritakan Bahwa....Aryya Adhikara (= wararaja) jongkok bersembah dihadapkan kaki Sri Raja (=Wiraraja) yang telah berhasil sebagai raja, ratu agung negara Wiwatika,memohon membagi dua negara, Tigang Juru, karena demikianlah janji waktu dahulu (.................sirayyadhikara nuli, mendek i jeng sri aji, sangsiddha wekas ing prabhu, sira narendeng Wi’wa-Tikta, minta marwana nagar, Tigang Juru, pan samayeng kreteng kuna)[10]
Prasasti Mula Malurung yang berangka tahun 1177 Saka sama dengan 15 Desember 1255 Masehi) Lempeng VII baris 1-3, yang menyebutkan bahwa “ beliau Nararyya Kirana semata-mata putra beliau Nararyya Smining Rat, ditetapkan menjadi juru di Lamajang dipasang menjadi perlindungan dunia di negara Lamajang..........( ra nararyya kirana saksat atmaja nira nararyya semining rat, pinratista juru lamajang, pinasangka jagad palaka. Ngka neng nagara lamajang..............[11]. Dari prsasti ini yang menyebut tentang kedudukan Lamajang dalam berokrasi pemerintahan Singhasari. Lamajang menjadi kerajaan vasal dari kerajaan Singhasari yang dipimpin oleh pejabat dengang tingakatan juru.
Paparaton menyebutkan wilayah negara Lamajang, yang terdiri dari tiga daerah, yaitu Lamjang Utara, Lamajang Selatan, dan Juru. Tingkat jabatan dari penguasa daerah ini sebagai berikut, pertama Lamajang Utara perintah oleh Nambi, yang menjabat patih, kedua Lamajang Selatan perintah oleh Sora, yang menjabat sebagai demung, ketiga Tigang Juru diperintahan oleh Tipar. Yang menjabat sebagai tumenggung. Pada masa itu, jabatan tumenggung lebih rendah daripada demung. Dari keterangan ini bahwa dalam daerah Tigang Juru terdapat tiga pejabat setingkat juru, serta tumenggung membawai para juru.
Dari sumber Tektual ini Lamajang menjadi daerah penting bagi kerajaan Singasari. Situs Candipuro ada sebuah petunjuk dengan adanya keterangan dalam prasasti Mula malurung adalah penamaan reruntuhan bangunan diatas dengan “Gedong Putri. Kata putri ini mengingatkan kepada putri Simining Rat, yaitu Nararyya Kirana, yang dinobatkan sebagai juru nagara Lamajang. Kata kirana yang artinya bulan, seringkali digunakan sebagai unsur nama wanita. Dalam cerita Panji dikenal nama tokoh Galuh Candra Kirana, yang mana ketiga kata ini bersinonim arti.
Dari pengakatan seorang juru atau raja bawahan dari lamajang yang merupakan anak dari Raja Singasari di Lamajang. Ini membuktikan Lamajang sudah dikenal pada masa sebelumnya karena dalam pembentukan pemerintahan memerlukan proses waktu yang lama. Lamajang pada masa Raja Sri Raja Sang Amurwabumi, dikembankan dalam pertanian khususnya daerah dataran rendah.
Sepeninggal Raja Sri Raja Sang Amurbhumi pada tahun 1246 Masehi terjadi banyak pengertian kekuasaan dengan 3 orang raja dalam kurun waktu 5 tahun dan dipenuhi oleh huru-hara darai para pewaris tahta, yaitu putra Ken Angrok-Ken Dedes maupun Ken Umang. Oleh karena itu, kita hanya memperkirakan bahwa dalam masa ini Kerajaan Singasari lebih memperkuat konsiliasi intern dan belum sempat memikirkan keutuhan wilayah yang secara tradisional meliputi wilayah yang selama ini telah ada. Pembinaan dan pengembangan wilayah yang secara tradisional meliputi Wilayah Singasari dan Kediri berlangsung ketika pemerintahan Raja Wisnuwardhana yang merupakan Raja Singasari yang Ke-5.
Pengembangan kota-kota kuno Lamajang pada masa Singasari diperkirakan ada di Daerah Candipuro, letak daerah ini yang sangat strategis, yaitu berada di lereng Gunung Semeru yang senantiasa mendapatkan aliran air yang berkecukupan sehingga dapat tempat pengumpulan bahan pertanian yang dihasilkan oleh daerah-daerah sekitarnya maupun sebagai pusat pemerintahan yang menghubungkan para pejabat Singasari yang ditempatkan di wilayah Lumajang dengan pusat kerajaan, yaitu di Singasari.[12]
Membangun karakter kebangsaan
 Dengan mempelajari peninggalan purbakala, diharapkan dapat tertanam rasa memiliki, bangga, melestarikan, dan belajar dari sejarah untuk membangun karakter kebangsaan. Membangun merupakan kata yang mempunyai tahapan. Misal, kata ini diletakkan pada kalimat membangun rumah. Membangun rumah, proses awal adalah pembuatan pondasi terdiri dari batu, pasir, semen serta gamping. Pondasi harus kuat, karena merupakan penopang dasar bangunan rumah. Pondasi rumah merupakan tahapan awal dalam membangun rumah, apabila pondasinya tidak kuat, rumah tersebut tidak akan tahan dari berbagai goncangan.
Kata membangun diletakkan pada kalimat “ Membangun Karakter Kebangsaan”. Membangun karakter kebangsaan merupakan hal yang paling pokok untuk menanam rasa nasionalisme pada anak-anak SD, SMP dan SMA. Membangun karakter kebangsaan pada anak SD, SMP, SMA dengan menggunakan pondasi yang berbahan peninggalan purbakala. Dilihat dari pandangan Hertz terdapat 4 elemen yang harus dimiliki setiap orang yang nasionalisme, keempat elemen tersebut adalah :
  1. Persatuan bangsa
  2. Kemerdekaan
  3. Keaslian atau kepribadian
  4. Harga diri
Apabila ini tidak dipahami maka orang Indonesia tidak akan bangga dengan bangsanya, tetapi sebaliknya akan bangga kepada budaya negara lain. Kepribadian bangsa tidak lepas dari sejarah perjalanan terbentuknya negara Indonesia.[13]
Dengan kepribadian bangsa, yang dikembangkan dari SD, SMP, SMA, melalui peninggalan purbakala, khususnya peninggalan Gedong Putri Candipuro, akan mengembangkan karakter kebangsaan, sedangkan kondisi peninggalan purbakala di Lumajang sangat memprihatinkan, ini dimakasudkan tidak ada guru sejarah yang memfaatkan ini media pembelajaran. Dengan pembelajaran menggunakan peninggalan purbakala akan memberikan manfaat bagi pelestarian cagar budaya. Peran ini tidak hanya dipegang oleh pemerintah Lumajang, tetapi kita semua mempunyai peranan untuk melestarikan, menjaga serta mempelajarinya. Terutama pada peserta didik anak SD, SMP, SMA khususnya di wilayah kecamatan Candipuro serta Kabupaten Lumajang.
Kontribusi Dalam Pendidikan Lokal
Situs Candi Gedong Putri kalau kita memanfaatkan dapat memberikan kontribusi dalam menumbuhkan karakter kebangsaan bagi generasi penerus kita, terutama dalam dunia pendidikan seperti anak SD, SMP, dan SMA. Situs Candi Gedung Putri merupakan bagian perjalanan sejarah Lumajang. Dalam dunia pendidikan lokal dapat dimafaatkan dengan sebagai media pembelajaran.
Media sangat penting dalam mendukung kegiatan pembelajaran. Guru perlu memberikan kemudahan atau fasilitas dalam menyampaikan informasi. Sebaliknya siswa memperoleh kemudahan dalam menerima Informasi akan belajar lebih bergairah dan termotivasi. Sedang tugas pokok guru adalah sebagai perancang (designer), pelaksana (executior), penilai (evaluator) dan pemberi motivasi (motivator).
Perancang (designer), guru harus punya banyak rancangan dalam pembelajaran. Dalam perancangan guru harus mempertimbangkan dari segi waktu, kondisi siswa, kondisi sekolah, serta alat yang mendukung pembelajaran. Supaya dapat mendukung berjalannya rancangan pembelajaran yang sudah dibuat dan dapat tujuan yang ingin dicapai. Pelaksana (executior), guru membuat langkah awal dengan perancangan langkah kedua adalah pelaksanan. Dalam pelaksanaan biasa terdapat langkah yang membuat dalam perancangan tidak berjalan misal ketika guru mau menjalaskan materi menggunakan layar proyektor namun tiba-tiba lampu mati. Guru harus menyediakan rancangan cadangan untuk mengatasinya agar tetap pembelajaran jalan dan tujuan yang ingin dicapai tetap terpenuhi. Penilai (evaluator), guru menilai apakah tujuan yang ingin dicapai dapat terpenuhi serta perancangan pembelajaran yang sudah dibuat sudah sesuai dengan karakter siswa yang diajar. Motivasi (motivator) guru harus dapat memberikan motivasi dari apa yang didapat dari materi yang disampaikan.
Media pembelajaran merupakan hal yang ada didalam perancangan pembelajaran. Menurut pakar pendidikan Edgar  Dale yang terkenal dengan kerucut pendidikan pengalamannya (The Cone Of Experience). Kerucut pengalaman ini berfungsi sebagai suatu visual yang sama dengan tingkat konkritkongkret dan abstraksi metode mengajar dan media pembelajaran. Tujuan kerucut pengalaman ini adalah ingin merepresentasikan tingkat pengalaman, yaitu dari pengalaman yang langsung atau konkrit menuju pengalaman yang paling abstrak (simbolis).[14]
Dari konsep ini cagar budaya purbakala situs Candi Gendung Putri dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran. Namun dalam prosedur pemilahan dalam media ada lima yaitu:
  1. Identifikasi ciri media yang diperlukan sesuai dengan kondisi, untuk kerja atau tingkat setiap tujuan pembelajaran
  2. Identifikasi karakteristik siswa (pembelajaran) yang memerlukan media pembelajaran khusus.
  3. Identifikasi karakteristik lingkungan belajar berkenaan dengan media pembelajran yang akan digunakan
  4. Identifikasi pertimbangan-pertimbangkan prkatis yang memungkinkan media mana yang mudah diusahakan atau dilaksanakan
  5. Identifikasi faktor ekonomi dan organisasi yang mungkin menentukan kemudahan penggunaan media pembelajaran[15]
  Dari pendapat pakar pendidikan Edgar  Dale yang terkenal dengan kerucut pendidikan pengalamannya, media situs Gedung Putri dapat digolongkan pada karya wisata. Karya wisata pada situs Gedung Putri dari prosedur pemilihan dalam media pembelajaran ada nilai kelebihan dan kekurangan. Kekurangannya adalah memerlukan waktu yang panjang, guru harus menguasai materi tentang situs gedung putri, memerlukan dana tranportasi untuk mencapai situs dan guru harus menguasi penuh siswa. Kelebihan dapat mengenal dan belajar sejarah dari peninggalannya secara langsung, dapat menjaga, serta menlestarikan cagar budaya. Menumbuhkan karakter kebangsaan pada siswa.
Dengan adanya nilai lebih dari media situs Gedung Putri. nilai lebih itu adalah belajar, melestarikan dan menjaga peninggalan sejarah wilayah Lumajang. Kondisi sekarang peserta didik yang tidak tahu penginggalan sejarah lokal dan keterbatasan kemampuan guru sejarah dalam menguasi sejarah lokal. Bagaimana bisa mencetak peserta didik yang sadar dan belajar dari sejarah. Padahal bapak Proklamator Soekarno terkenal dengan JasMerahnya, jangan sampai melupakan sejarah. Kalau kita benar belajar dari sejarah untuk menapak masa depan dengan lebih baik.
Penutup
Pendidikan sejarah berskala lokal memberikan kontribusi menanamkan rasa belajar, menjaga dan melestarikan peninggalan sejarah. Guru sejarah yang ada di Lumajang memanfaatkan peninggalan sejarah dan mencari kesejarahnya. Situs Gudung Putri yang ada di wilayah  Dusun Gedung Putri Desa Keloposawit, Kecamatan Candipuro bisa dimaafkan guru sejarah untuk pembelajaran peserta didik. Dengan ini akan memberikan kontribusi kepada peserta didik dan situs gedung putri. Kontribususi bagi peserta didik akan menubuhkan rasa memiliki, menjaga, melestarikan dan belajar dari kesejarahanya. Kontribusi bagi situs gedung putri akan dimanfaatkan sebagai media pembejaran oleh guru khusunya guru yang berada di Kecamatan Candipuro serta situs gedung putri akan terawat.
           







[1]GTT.
[2] Rangkuti, N. 2003. Pola Pemukiman Desa Masa Majapahit: Kajian situs Arkeologi Kabupaten Lumajang,  Jawa Timur (Hal 13). Yogyakarta: Balai Arkelogi Yogyakarta Kementrian kebudayaan dan peristiwa
[3] Lihat, Rangkuti, N. Ibid, halaman 13-14
[4] Bosch. 1963. Pengertian dan Fungsi Patirtaan Pada Masa Klasik di Jawa, Skripsi S-1. Yogyakarta: Fakultas Sastra Gadjah Mada.
[5]  Hadiwijono, H. 1990.  Agama Hindu dan Budha (hal 28). Jakarta: PT Gunung Mulai
[6] Kompas, Sabtu , 25 Juli 2009
[7] Lihat, Rangkuti, N, Ibid, halaman. 35
[8] Brendes, J. L. A. 1897. Pararaton (Ken Arok) Of Boek der Koningen van Tumapel van  Majapahit. Uitgegeven en Toegelicht door Der.J. Brendes. VBG XLIX
[9] Berg, C. C. 1931. Een Nieuwe Redactie Van De Roman van Raden Wijaya. BKI, Deal 88
[10] Berg, C.C. 1930. Rangga Lawe, Middle Javaansch Historishe Roman. Bibliotheca Javanica 1.
[11] Atmodjo, M.M., Soekarto K. 1990. Menelusuri Sejarah Hari Jadi Lumajang Berdasarkan Data Prasasti dan Naska Kuno. Makalah (inprees): Lumajang: Pemda dati II Luamajang
[12] Hidayat, M. 2013. Arya Wiraraja dan Lamajang tigang Juru (Hal 13-14). Denpasar: Pustaka Larasan
[13] Mustopo, H. M, dkk. 2003. Sejarah dan Budaya Dari Masa Kuno Sampai Kontemporer (Hal 86). Malang: Unversitas Negeri Malang (UM PRESS)
[14] Panuji, H. 2008. Pemanfaatan Media (Hal 10-11). Naskah disiapakan untuk materi acuan pada Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) dia PSG Rayon 15 Unversitas Negeri Malang
[15]Lihat, Panuji, H. Ibid, halaman 22

Kamis, 13 Desember 2012

TUGAS SEJARAH MARITIM


FARIS DWI RISTIAN
107261407223
PENDIDIKAN SEJARAH/OFF B
TUGAS SEJARAH MARITIM

USAHA PERIKANAN DAN ORGANISASI PENANGKAPAN IKAN
            Usaha penangkapan ikan dipantai Utara Jawa dan Madura, tidak hanya dilakukan oleh nekayan-nelayan Jawa dan Madura. Pada tahun 1920, nelayan-nelayan Makasar dan Bugis cukup berperan di Banyuwangi, Pantai selatan Besuki, kepulauan Seribu, Sapudi dan Tangerang. Dipantai utara Jawa usaha penangkapan ikan dapat dibagi 2, salah satunya nelayan yang mata pencaharian sebagai sampingan setelah pertanian. ini dapat dijumpai didaerah pantai Tegal, Brebes, Indramayu, Cirebon, Pasuruan. Kedua, nelayan sebagai mata pencaharian utama dan dapat dijumpai dipantai Timur Sumatra, Nusa Tenggara, pantai Teluk Bani dan sekitarnya, pulau di pesisir Barat Sulawesi. Biasanya nelayan yang mata pencahariannya sebagai sampingan melakukan penangkapan ikan hanya saat-saat tertentu dikala waktu senggang. sedang nelayan yang penuh setiap saat sepanjang tahun, siang atau malam keadaan laut memungkinkan nelayan secara penuh mendapatkan penangkapan ikan skala besar jangkauan penangkapan kapas pantai. Inipun nelayan dalam 1 awak terdiri dari beberapa orang keahlian masing-masing misal ada salah satu orang yang tahu keberadaan ikan, otomatis disini nanti akan berbagi hasil sesuai dengan peranan masing-masing.
Lingkungan Penangkapan Ikan Laut Jawa.
            Berdasarkan topografi dasar lautan, perairan Indonesia secara garis besar dikelompokkan dalam tiga lingkungan perairan yaitu:
1. Perairan Dangkal Sunda (kedalaman 40m sampai 100m)
2. Perairan dangkal Paparan Sahukl (kedalaman 30-90m ini berkarang dan airnya jernih)]
3. Laut dalam Indonesia Timur (kedalaman 500-512m)
            Paparan Sunda meliputi daerah perairan yang menghubungkan Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dengan daratan Asia, meliputi Cina bagian selatan, selat Malaka, laut Jawa dan Teluk Thailand. Paparan Sahul menghubungkan pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dengan daratan Australia, juga meliputi lautan Arafuru. Laut dalam Indonesia Timur meliputi wilayah selat Makasar, laut Sulawesi, laut Banda, laut Sewu.
            Mempunyai ciri seperti paparan Sunda, cukup tinggi, yakni tingkat kekeruhan yang diukur dari kadar seston atau partikel-partikel melayang dalam air, lebih kaya ikan karena tempat hidupnya plankton dimana hewan ini menempati paling utara pada rantai makanan ikan. Dimana banyak muara sungai didaerah paparan Sunda memberikan pembentukan unsur hara, sinar matahari dan angin. disini dalam lautan Indonesia Timur tingkat plankton dimana salah satu makan ikan inipun jumlah tidak sebanyak paparan Sunda, otomatis memberi pengaruh pada jumlah ikan.
Spesies dan Zona Penangkapan Ikan
            Diperkirakan jenis ikan yang ada di Laut Jawa sama dengan jenis ikan yang ada diperairan Indonesia. Berdasarkan Bleeker, diperairan laut Jawa sekitar 500 spesies ikan. Weber dan De Beaufort sekitar 850 jenis ikan. Delsman dan Herdenbeng memperkirakan 1500 jenis ikan hidup diperairan laut Jawa. Menurut Maxwell, bahwa terdapa 250 jenis ikan hidup di perairan laut Jawa. menurut Maxwell, bahwa terdapat 250 ikan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.
            Dari berbagai jenis ikan yang ada, ikan kemuru, kembung, tengiri, layang, teri, merupakan jenis ikan yang terpenting. Ikan diperairan Jawa dan Madura biasanya ditangkap dalam jumlah yang banyak. Ada beberapa jenis ikan layang, dimana disetiap musim berganti tempat. Ikan layang adalah jenis ikan palogis yang hidup pada habitat laut yang dalam, air laut yang jernih, dengan salinitas diatas 34‰ 47. Migrasi ikan layang keperairan yang salinitas airnya tinggi jauh diperairan lepas pantai utara Jawa misal mempunyai kaitan dengan yang nyata dengan perkembangan usaha penangkapan ikan dekat pantai.
Teknologi dan Jenis Penangkapan Ikan
            Dari perbedaan teknologi penangkapan ikan sangatlah mungkin terjadi sebagaimana halnya perbedaab lingkungan penangkapan yang ada dan sasaran ikan yang diharapkan. Keanekaragaman seperti itu terlihat pada perahu yang dipakai untuk menangkap ikan. Pertama, perahu tipe jukung, yakni perahu yang berukuran kecil, dibuat dari sebuah batang pohon yang dibentuk menjadi perahu dengan kadang-kadang mempertinggi sampingnya dengan tambahan papan. kedua adalah tipe masang, yakni tipe perahu yang berukuran besar, yang dibangun seluruhnya dari papan, baik dengan haluan yang membesar, haluan dan buritan yang melengkung atau tidak.
            biasanya perahu tipe jukung atau sampan untuk menangkap ikan diperairan dekat pantai. Sedangkan perahu tipe mayang digunakan untuk penangkapan ikan lepas pantai. Daerah-daerah lain yang memproduksi perahu antara lain Cirebon, Jepara, Juana. Dan menurut etimologi Jawa, kala mayang dan bayang merupakan kala bentukan dari kala layang.
            Alat bantu untuk menangkap ikan terutama jaring. Salah satu jenis jaring ini untuk menangkap ikan layang yang mempunyai ukuran besar, jaring ini mempunyai sebuah kantong dibagian tengahnya, dengan bibir kantong yang diskontruksi khusus sehingga memudahkan ikan dapat tertangkap. Lubang jaring dibagian sayap berukuran cukup besar dan sedikit demi sedikit menjadi kecil kearah kantong. Hal ini, jaring yang dipakai jenis mayang adalah nelayan-nelayan penuh. Jenis jaring apung yang mempunyai konstruki berbeda dengan jaring mayang tidak mempunyai kantong ikan sebagaimana jenis payang. dengan itu penangkapan ikan ada selain menggunakan jaring yaitu pancing. Salah satu jenis seperti pancing rawa terdiri dari 200-6-- mata pancing dari berbagai ukuran.
            Dalam penangkapan ikan ada 2 jenis, pertama usaha penangkapan ikan lepas pantai menggunakan jaring payama, jaring apung, sedang nelayan yang dekat pantai biasa menggunakan jaring payang pinggir.
Organisasi Nelayan : Modal Usaha dan Kerja Nelayan
            Organisasi untuk para nelayan lepas pantai lebih komplek karena dalam nelayan lepas pantai banyak membutuhkan tenaga dan peranan-peranan orang Sawi dengan keahliannya sedangkan nelayan dekat pantai mempunyai organisasi kerja yang lebih sederhana. perbedaan dari keduanya jumlah nelayan yang terlibat lebih sedikit dibandingkan dengan penangkapan ikan dengan jaringan payang tengah. Penangkapan ikan dengan Seru juga mempunyai organisasi yang cukup rumit. sebenarnya fungsi organisasi sosial suatu usaha penangkapan adalah hubungan ketergantungan yang saling melengkapi antara nelayan pada penangkapan ikan lepas pantai banyak tehnik operasional yaitu sistem jemputan membedakan penangkap ikan dan pengangkut ikan. Sistem jemputan sangat cocok untuk mengatasi kendala penangkapan ikan yang pada umumnya waktunya terbatas. Biasanya nelayan lepas pantai memerlukan modal yang besar dan memerlukan organisasi yang komplek biasanya ada peranan masing-masing ada pemilik perahu dan didalam orang-orang sesuai dengan keahliannya dan berbagi hasil sesuai dengan peranan masing-masing orang.

Pengolahan dan Pengawetan Ikan
            Di Indonesia beriklim tropis ini akan dapat membusukkan ikan dalam beberapa jam. Dari berbagai jenis pengawetan yaitu pengasapan dan terik matahari, pengawetan. Bahan pengawetan satu-satunya yang digunakan adalah garam. Dan pengauran es untuk pengawetan sampai akhir paroh pertama abad ke 20. Beberapa jenis-jenis khusus ikan yang diawetkan, seperti ikan sesuai dengan pengawetan pemindangan biasanya ikan tongkol, jika diasinkan ikan pedo. Pengeringan jenis ikan gereh dan pengasapan (ikan asap) biasanya jenis ikan cakalang. dengan cara pengawetan ini otomatis memberikan luasnya wilayah pemasaran ikan, ke daerah-daerah tersebut tidak produksi penangkapan ikan laut.

DINAMIKA BUDAYA DALAM KONTEKS MASYARAKAT ETNIK MINANGKABAU (1930-1960)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Daerah asal masyarakat Minangkabau diperjirakan seluas daerah propersi Sumatra Barat, dengan dikurangi oleh kepulauan Mentawai, tetapi dalam pandangan orang Minangkabau sendiri.daerah ini dibagi dalam bagian-bagian khusus. Bagian-baguan khusus itu menyatakan alam asal (kampung halaman) dan alam rantau, yang adaerah rantaunya di wilayah Medan. Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia, rentangan sebelum dan sesudah kemerdekaan dalam tahun 1960. Masyarakat etnik Minangkabau adanya suatu persoalan yang memicu suatu persoalan urbanisasi. Ketika di alam rantau adaptasi dengan lingkungan setempat.
Bahwa terjadinya urbanisasi maupun adaptasi masyarakat Minangkabau sangat dipengaruhi misi budaya. Dimana misi ini sebagai seperangkat tujuan yang diterapkan dan dicapai oleh anggota-anggota suatu masyarakat tersebut. Misi budaya masyarakat Minagkabau yaitu berbunyi sebagai berikut: membawa kekayaan, pengetahuandan keduanya sebagai penguat dan memperkaya kampong halamannya. Ini salah satu factor yang mendorong masyarakat Minangkabau untuk merantau. Apabila kembali dari perantauan dimana masyarakat Minangkabau masih terikat alam asal (kampung halaman) dan juga cara beradaptasi masyarakat Minangkabau dipengaruhi oleh misi budaya. Keberhasilan dan kegagalan dalam seorang perantau diukur dengan keberhasilan misi budaya tersebut. Apabila masyarakat etnik Minangkabau gagal dalam perantauan dan pulang ke kampong halamannya dan dikampung dia akan dikucilkan.
Dengan adanya urbanisasi dan adaptasi dialam rantau bagi masyarakat etnik Minangkabau memberikan tantangan pada masyarakat Minangkabau untuk menjawab perubahan social yang ada, dengan kondisi kebutuhan masyarakat etnik Minangkabau. Otomatis ada kebutuhan untuk memperbarui misi budaya, untuk menjawab perubahan social, walau ada resika disintegrasi identitas. Modernisasi pada masyarakat Minangkabau tidak dapat lepas dari peran perkembangan zaman. Dinamika budaya masyarakat Minangkabau pun mulai mengalami perkembangan kearah masyarakat modern.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini antara lain sebagai berikut:
1.      Bagaimana proses terjadinya urbanisasi masyarakat Minangkabau ?
2.      Bagaimana proses adaptasi masyarakat Minangkabau di alal rantau ?
3.      Bagaimana dinamika budaya dalam konteks masyarakat etnik Minangkabau ?
C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut:
1.      Mendiskripsikan proses terjadinya urbanisasi masyarakat Minangkabau.
2.      Mendiskripsikan proses adaptasi masyarakat Minangkabau di alam rantau.
3.      Mendiskripsikan dinamika budaya dalam konteks masyarakat etnik Minangkabau.
D.    Kerangka Berpikir : Ignas Kleden
Setiap pembaruian suatu budaya bahwa pada mulanya kebudayaan adalah nasib dan baru kemudian kita menanggungnya sebagai tugas. Pada mulanya kita adalah penerima yang bukan saja menghayati tetapi juga menjadi penderita yang menanggung beban kebudayaan tersebut kita bangkit dalam kesadaran untuk turut membentuk dan mengubahnya. Pada dasarnya kita adalah pasien kebudayaan sebelum kita cukup kuat untuk menjadi agennya.
Apabila suatu konsep sejarah diterjemahkan kedalam kebudayaan dan kebudayaan dapat juga dipakai suatu dialektik antara penemuan dan pencarian antara integrasi dan disentegrasi antara tardisi dan reformasi. Tanpa adanya reformasi atau disentegrasi suatu kebudayaan akan kehilangan untuk berkembang. Dimana untuk memperbarui diri dan menyesuaikan diri dengan adanya suatu perubahan social yang ada didalam masyarakat.
Dengan adanya reformasidalam kebudayaan atau sesuai dengan sifat kebudayaan yang dinamis. Ini dapat memberikan dampak bagi kebudayaan itu sendiri, dimana akan mengalami resiko, baik identitasnya maupun resiko bagi pembarunya. Missal dengan tetap mengandalkan tradisi dan integrasi, dalam suatu kebudayaan akan terpelihara identitasnya, terjamin kelanjutan hidupnya, akan tetapi belum tentu menjamin perkembangan lebih lanjut. Sebaliknya apabila mengutamakan reformasi dalam kebudayaan dapat memebrikan dampak yaitu terjadinya disintegrasi identitas lama, namun belum bias dipastikan suatu identitas baru akan muncul dan apabila muncul, apakah identitas baru itu dapat memberikan rasa aman dan pegangan baru yang lebih sesuai.
Kebudayaan dapat dipakai sebagai sumber pandangan dunia (Weltenschauung) yang memungkinkan seseorang mampu menangkap dunianya kedalam persepsinya (otologi) dan menangkap bukan sebagai sesuatu yang kacau, melainkan sesuatu yang beraturan dan bermakna (kosmologi). Jika otologi membuat kebudayaan menjadi suatu realitas, maka kosmologi mebuatu kebudayaan menjadi sistem realitas dan sistem makna.
Dalam pandangan dunia diterjemahkan mejadi tingkah laku, akan didapati pandangan hidup (Lebensanschauung) yang tidak hanya memungkinkan seseorang mengetahui dan memahami, tetapi juga mengambil sikap terhadap apa yang dia ketahui atau pahami. Dunianya tidak ditanggapi hanya sebagai sesuatu yang ada (ontologi), tetapi juga sesuatu yang mengandung nilai-nilai dan peraturan mengenai nilai-nilai itu. Pada sistem nilai inilah ditentukan, entah suatu kebudayaan sebagai sistem pengetahuan dan sistem makna dapat berubah menjadi sistem, tingkah laku, perbuatan dan tindakan. Secara singkat etika dan moral sebagai titik kritis menentukan apakah sistem budaya yang terdiri dari perangkat makna dan perangkat nilai dapat diterjemahkan menjadi sistem social baru tindakan, perbuatan dan tingkah laku sosial. Pada masyarakat selalu terjadi perubahan sistem budaya dan sistem sosial untuk menjawab tantangan perubahan social yang ada.









BAB II
PEMBAHASAN
Proses Terjadinya Urbanisasi Masyarakat Minangkabau
            Dilihat dari beberapa alasan ketika orang-orang Minangkabau jauh dari daerah asalnya. Pertama, keinginan mereka untuk mendapatkan kekayaantanpa menggunakan tanah-tanah yang ada, ini dapat dihubungkan sebenarnya dengan keadaan bahwa seorang laki-laki tidak mempunyai hak menggunakan tanah itu untuk kepentingan keluarga matirilinealnya. Kedua, ialah perselisihan-perselisihan yang menyebabkan bahwa orang yang merasa dikalahkan akan meninggalkan kampong dan keluarga untuk menetap ditempat lain.(Koentjaraningrat, 2002:249)
            Dalam mata pencaharian masyarakat Minangkabau didaerah asalnya (kampung halaman). Sebagian besar masyarakat Minangkabau tergantung pada tanah. Dimana daerahnya. Dimana daerahnya ini sangat subur dengan cakupan air yang tersedia., sebagian besar orang Minangkabau mengolah sawah, sedangkan pada daerah yang tinggi banyak orang menanam sayur mayUr untuk perorangan, sebagian kubis, tomat dan sebagainya. Didaerah kawasan pesisir mereka hidup dari tanah dan menghasilkan kelapa.
            Pada saat orang Minangkabau meulai meninggalkan sekitar pertanian. Disebabkan karena tidak adanya tanah pertanian yang tidak memberikan cukup hasil, ini menimbulkan kesadaran masyarakat Minangkabau dalam bidang pertanian tidak nisa memberikan kekayaan yang diinginkan orang Minangkabau. Orang-orang tersebut beralih ke sector perdagangan, ada juga diantara mereka yang karena pendidikan mereka tidak mau kembali ke pertanian dan menjadi pegawai lalu mendapatkan gaji. Mereka menjadi pedagang, memilih lapangan tekstil, kelantangan atau rumah papan (lepau).
            Masyarakat Minangkabau dilihat dari mata pencaharian yang pengaruhnya sector pertanian, berdagang, ada tekanan pada kumpulan yaitu garis matrilineal memungkinkan terjadinya urbanisasi. Namun, jika menekankan pada garis matrilineal terjadi urbanisasi masyarakat Minangkabau belum memberikan jawaban yang mendekati kebenaran. Karena pada masyarakat Minangkabau digolongkan sebagai seorang bangsawan yang betul-betul mempunyai kedudukan yang tinggi dimasyarakat. Seorang laki-laki bangsawan pernah mendapat pelajaran istimewa jika mereka kawin tidak perlu member belanja istrinya. Bahkan untuk menikahi seorang gadis, ia akan mendapatkan sejumlah uang yang besar sebagai uang jemputan. Ia secara langsung akan dapat memperbaiki kedudukan social dari keluarga istrinya, karena anaknya akan lebih tinggi lapisan sosialnya dari ibunya sendiri. Seorang bangsawan di Pariaman, katakanlah bangsawan itu Haju, yang kawin dengan seorang wanita biasa, maka anaknya akan mendapatkan gelar bangsawan pula. Tapi raja tetap kedudukannya lebih tinggi.
            Perbedaan di lapisan social dapat dihubungkan dengan perbedaan kedatangan suatu keluarga ke dalam suatu tempat tertentu, keluarga bangsawan. Karena itu, mereka dalam masyarakat Minangkabau juga dikenal sebagai Urang Asa (orang asal) keluarga-keluarga yang datang kemudian, tetapi tidak terkait seluruhnya kepada keluarga asal, dapat membeli menjadi orang biasa atau golongan pertengahan dalam masyarakat yang bersangkutan. Tidak demikian halnya dengan keluarga-keluarga yang lebih dulu datang dengan jalan menghambakan diri mereka. Itulah yang dianggap paling rendah dalam masyarakat tersebut(Koentjranaingrat,dkk, 2002:258).
            Dalam perkembangan waktu Islam mulai masuk pengaruhnya di Sumatra Barat. Ada pertentangan adat dan agama Islam, ketika nasehat yang ditunjukkan kepada penduduk mengenai sabungan ayam dan pekerjaan-pekerjaan maksiat lainnya diabaikan saja. Tetapi, suatu ketika ia merasa gusar mengenai hal itu dan diputuskan oleh Haji miskin untuk membakar balai adat yang dipuja itu dan hal ini benar-benar dilakukannya(Abdullah, 1990:154).
            Dengan berjalannya waktu ajaran agama Islam mulai mendominasi kepada masyarakat Minangkabau. Dimana masyarakat tantang garis matrilineal mulai luntur dengan Islam masuk dimana garis patrilineal yang dipakai.
Disinilah masyarakat Minangkabau bermigrasi karena adanya misi budaya ketika masyarakat Minangkabau mayoritas agama Islam, dimana mereka menyatakan bahwa Islam adalah kesempurnaan dari adat, bahwa Islam memberikan basis transeden untuk adat.(Pelly, 1998:37). Misi budaya sebagai factor urbanisasi masyarakat Minangkabau, menurut Usman Pelly, bahwa masyarakat Minangkabau dalam misi budaya sebagai berikut : pertama membawa kekayaan pengetahuan dan pengalaman untuk memperkuat dan memperkaya alam Minangkabau dimana ini sebagai cawan yang didalamnya didasari nilai-nilai dominan dari pandangan dunia masyarakat Minangkabau. Apabila orang Minangkabau gagal dalam mewujudkan misi budaya dan kembali ke kampung halamannya.
Akan dikenal oleh masyarakat kampung. Ajaran Islampun mulai memberikan jawaban ketika masyarakat yang masih memegang kuat adat Matrilineal, orang laki-laki pergi ke surau-surau dan lepau. Surau adalah pusat pendidikan agama dalam arti luas, sedangkan lepau adalah sebagai lembaga bisnis melambangkan keduniawian, kekasaran dan keberanian. Dimana Muhammadiyah erat dengan budaya Minang. Misi budaya orang Minangkabau yang membuat terjadinya urbanisasi sewaktu-waktu akan berubah dari sudut pandang orang Minangkabau apabila tidak sesuai kebutuhan akan perubahan social yang ada di masyarakat.
Proses Adaptasi Masyarakat Minangkabau di Alam Rantau
            Kota Medan adalah terdiri banyak pemukiman para perantau. Dalam pemukiman-pemukiman para perantau terjadi saling tukar-menukar pikiran mengenai pekerjaan, sanak saudaradan bagaimana menjalankan tradisi untuk mendorong perantau-perantau kota yang baru. Dengan adanya kampung-kampung rantau ini akan menyerap perantau-perantau baru untuk datang, karena ada hubungan sanak saudara dari desa asal sebagai penghubung dalam mencari pekerjaan dan penginapan sementara.
            Pemukiman masyarakat etnik Minangkabau, setelah kemerdekaan pemukimannya berpindah ke pusat-pusat perbelanjaan baru, berbeda dengan keturunan orang-orang Cina, orang Minangkabau tidak membangun rumah atau toko baru, tetapi membeli atau menyewa rumah-rumah rakyatdari pemilik-pemilik lama sekitar pusat-pusat perbelanjaan tersebut. Para pemilik rumah-rumah tersebut sebagian besar adalah suku Melayu, Jawa, atau Mandailing yang akan menyewakan atau menjualnya supaya dapat dipindah ke tempat yang lebih baik, jauh dari pusat-pusat perbelanjaan yang selalu sibuk dan hiruk-pikuk, karena itu orang-orang Minangkabau tadi tidak mengubah struktur fisik kampung-kampung sekeliling pasar-pasar. Mereka hanya mengambil alih rumah demi rumah. Populasi Minangkabau sekitar pasar-pasar terus bertambah setelah beberapa tahun, berkembanglah kerumunan kampung-kampung etnik Minangkabau tersebut mengelilingi pusat-pusat perbelanjaan(Pelly, U. 1998: 94-95).
            Dalam pemilihan pekerjaan utama Minangkabau ada tiga yaitu dagang, tukang mandiri dan profesi. Pekerjaan-pekerjaan ini memberikan kebebasan individu yang sangat mereka hargai dan tidak membawa keterkaitan dengan setting perantau mereka dimaan seperti pada pekerja pegawai pemerintah yang mungkin akan menyulitkan misi budaya mereka. Dimana misi budaya masyarakat Minangkabau masih terikat dengan kampung asalnya.
            Tradisi pulang balik antara kampung halamn dan kota mengurangi modal dari perdagangan Minangkabau dan menghambat pengembangan bisnis mereka. Orang Minangkabau berbeda dengan orang Cina, tidak banyak memiliki pengalaman dalam mebina hubungan dengan kelas penguasa. Akibat pada masa Belanda, orang-orang Cina berhasil menahan suku Minangkabau pada perdagangan kecil.
            Dari berbagai alasan mengapa posisi orang Minangkabaudalam pandangan dikota tidak berubah dan barangkali bahkan makin menurun setelah kemerdekaan. Oertama, selama revolusi (1945-1950) kebanyakan perdagangan Minangkabau meninggalkan kota dan bergabung dengan gerilya desa. Ketika mereka kembali ke kota dalam 1950-an, mereka membangun kembali bisnis menjadi pedagang keliling, mereka berpindah dari kota ke kota, dari pasar kota ke pasar perkebunan dan dari pasar ke pasar. Ini merupakan akibat pola urbanisasi orang Minangkabau, antara alam rantau ke alam asal. Dimana kembali ke alam asal(kampung halaman) membawa perubahan untuk membangun kampung halamannya dan berangkat ke alam rantauan membawa misi budaya dan perubahan budaya.
            Di alam rantau orang laki-laki Minangkabau sudah mempunyai kemandirian mulai umur 10 tahun sudah berdiam di surau, lepau, dimana suaru dan lepau sebagai tempat untuk belajar agama dan diskusi untuk memecah suatu permasalahan. Sedangkan lepau sebagai penguat di sector ekonomi dan dimana Minangkabau di alam rantau mulai menguatkan identitas kelompok dengan ikut organisasi Muhammadiyah.
            Para perantau Minangkabau mulai menganggap daerah rantau sama pentingnya dengan kampung halaman. Dimana peninjauan kembali tentang misi budaya dimana masyarakat Minangkabau yang kembali kekampung halamannya akan menganggu bisnisnya sudah dijalankan dimana pekerjaan ini tidak dapat ditinggalkan. Dan dengan adanya telepon yang memudahkan untuk berkomunikasi pada keluarga dikampung halaman disini letak masyarakat Minangkabau mulai menjawab tantangan perubahan social yang terjadi dimana misi budaya yang mempunyai ikatan dalam kampung diperbarui lagi untuk menjawab perubahan social yang ada.
Dinamika Budaya Dalam Konteks Masyarakat Minangkabau
            Dimulai dari pertentangan antara kaum Adat dengan Islam, ketika Haji Miskin memberikan nasehat kepada kaum Adat yang bermain judi sabung ayam. Namun kaum Adat tidak dipakai bahkan diacuhkan, Haji Miskin merasa gusar dan diputuskan untuk membakar balai adat. Dimana balai Adat dan agama Islam pun tak terhindarkan namun dengan berjalannya waktu ajaran Islam mulai banyak dipakai oleh masyarakat Minangkabau. Ajaran Islam melarang makan sirih, minum candu dan minuman keras, begitu pula main judu. Adapun memakai pakaian sutera dan perhiasan dari emas hanyalah diizinkan bagi kaum Ibu. Dengan nilai-nilai norma yang ada saat itu sesuai dengan jiwa zaman dan menjawab kebutuhan masyarakat Minangkabau untuk tantangan zaman.
            Dari pertentangan syariah dan adat diselesaikan di kampung halaman Minangkabau lalu kemudian dibawa ke perantauan. Dimana masyarakat mengalami krisis identitas namun Islam memberikan identitas yang bagus yaitu diibaratkan keturunan Iskandar Zulkarnain.
            Sistem budaya Minangkabau merupakan wujud yang abstrak dari kebudayaan Minangkabau. Sistem budaya merupakan ide-ide dan gagasan manusai yang hidup bersama dalam suatu masyarakat. Gagasan tersebut tidak dalam keadaan lepas satu dari yang lainnya, tetapi selalu berkaitan dan menjadi satu sistem. Dengan demikian sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan yang diartikan pula adat istiadat. Adat-istiadat mencakup sistem nilai budaya, sistem norma, norma-norma menurut pranata-pranata yang ada didalam masyarakat yang bersangkutan, termasuk norma agama.
            Fungsi sistem budaya menata dan menetapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia. Proses belajar dari sistem budaya ini dilakukan melalui pembudayaan itu institutionalization (pelembagaan). Dalam proses pelembagaan ini, seorang individu memperlajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-adat, sistem norma dan perantauan yang hidup dalam kebudayaan. Proses ini dimulai sejak kecil, dimulai dari lingkungan keluarganya, kemudian dengan lingkungan diluar rumah. Mula-mula dengan meniru berbagai macam tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang memberikan motivasi akan tindakan meniru itu. Diinternalisasi dalam kepribadiannya, maka tindakannya itu menjadi suatu pola yang mantap dan norma yang mengatur tindakan dibudayakan(Sulaeman, 1998:15-16). Dimana masyarakat Minangkabau melakukan reformis kebudayaan untk menjawab perubahan social. Walaupun itu akan memberikan resiko krisis identitas, namun pintar kaum Agamis yang reformis terhadap menjawab kebutuhan masyarakat Minangkabau terhadap krisis identitas dan Iskandar Zulkarnainlah sebagai jawaban bahwa orang Minangkabau keturunan dari Iskandar Zulakarnain.
            Dengan masyarakat Minangkabau mempunyai pepatah “sekali banjir datang sekali pada lubuk mandi berpindah”(sekali air bah datang, sekali tepian berubah). Konsep tradisional Minangkabau memberikan pandangan bahwa perubahan tidak dapat ditolak, dan juga ada pepatah sebagai pedoman elok nan usang diperbarui, daripada mencari nan lian (baiklah yang lama itu diperbarui daripada mencari yang lain).
            Dimana masyarakat Minangkabau akan dikuatkan dengan generasi berikutnya ketika Islam mendominasi di masyarakat Minangkabau bahwa Islam ada kesempurnaan dari adat, bahwa Islam memberikan basis transenden untuk adat. Agama Islam memberikan pendidikan walau itu berbasis agama namun membuat sumber daya manusia, disinlah akan memicu perubahan dunia, dimana akan diterjemahkan weltanschauung modernitas(Berger.,L.P, 1992:26).
            Dilihat dari tipe masyarakat yang ideal menurut Kluckhohn dan Stroedbeck;(1) masyarakat tradisional,(2)masyarakat peralihan,(3)masyarakat modern masing-masing ciri dasar sebagai berikut:
            Pertama, masyarakat tradisional mempunyai kecenderungan untuk memandang bahwa hdiup manusia itu buruk, tujuan karya adalah untuk mempertahankan hidup, berorientasi ke masa lampau cenderung menyerah pada alam, serta memiliki rasa gotong-royong yang tinggi.
            Kedua, masyarakat peralihan memiliki kecenderungan untuk memandang hakekat hidup itu buruk, tetapi wajib berikhtiar agar menjadi baik, tujuan karya adalah untuk kedudukan dan kehormatan, berorientasi ke masa lampau dan masa kini, cenderung meyelaraskan diri denagn alam serta cenderung bergantung pada tokoh atasan yang berpangkat.
            Ketiga, masyarakat modern cenderung memandang bahwa hidup pada hakekatnya baik dan menyenangkan, berkarya demi meningkatkan karya sendiri. Berorientasi ke masa depan, berusaha menguasai lingkunfan alam, hubungan antara anggota masyarakat didasarkan pada prinsip-prinsip individualisme.
            Walaupun masyarakat Minangkabau belum secara sempurna menunjukkan sebuah cirri dari  masyarakat modern tetapi mulai menuju kea rah tersebut, dilihat meningkatkan kerjha mereka dan berorientasi ke depan, saat misi budaya mereka tidak menjawab kebutuhan perubahan social mereka akan memperbaruinya.
            Dilihat dari sudut pandang lain bahwa proses perubahan masyarakat dan kebudayaan yang dikehendaki dan direncanakan, biasanya dinamakan modernisasi. Proses modernisasi ini pada intinya berarti peningkatan kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya yang mencakup:
a.       Kebutuhan akan sandang, pangan dan papan.
b.      Keselamatan terhadap jiwa dan harta benda.
c.       Kesempatan yang wajar untuk dihargai (sehingga mempunyai harga diri)
d.      Kesempatan untuk dapat mengembangkan kemampuan atau potensi.
e.       Mendapatkan kasih saying dari sesamanya(Soerjono.S, 1992: 43-44).
Ini lebih dekat dengan ciri masyarakat Minangkabau yang sudah mengalami modernisasi pada masa setelah merdeka sampai tahun 1960. Saat orang Minangkabau memenuhi misi budaya dalam alam rantau yang masih terikat oleh kampung halaman namun dengan adanya kemajuan IPTEK berupa telepon dapat mempermudah hubungan dengan keluarga dikampung halaman. Ini salah satu indikator misi budaya mulai diperbarui.
Dari sudut lain lagi, kemajuan IPTEK yang terjadi pada masa kini seringkali dikaitkan dengan istilah modernisasi, yang memiliki arti sebagai suatu usaha hidup sesuai dengan zaman konstelasi dunia sekarang(Koentjaraningrat, 1984:140-141) dan supaya menyeluruh. Modernisasi pada hakekatnya merupakan serangkaian perkembangan dan perubahan nilai-nilai dasar, meliputi nilai teori, nilai sosial, ekonomi, kekuasaan atau politik, nilai estetika dan nilai agama. Secara harafiah, kata modern berarti sesuatu yang baru menggantikan sesuatu yang telah lama berlaku(Hasan, 1987:5). Walau Minangkabau merestorasi budayanya tetapi nilai-nilai lama yang masih bisa dipakai dan perubahan dari luar yang sesuai dan bisa menjawab kebutuhan perubahan sosial yang dihadapi masyarakat Minangkabau.



















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Bahwa masyarakat etnik Minangkabau dengan pepatahnya yang menyatakan “sekali banjir datang sekali pula lubuk mandi berpindah(sekali air bah datang, sekali tepian berubah)”. Dilihat dari makna pepatah ini masyarakat Minangkabau mempunyai sifat terbuka atas perubahan yang terjadi. Sejak Islam masuk daerah Sumatra Barat, dimana ada pertentangan adat dan ajaran Islam. Dengan banyaknya waktu masyarakat etnik Minangkabau mulai banyak memeluk Islam. Ajaran adat pun yang menjunjung tinggi matrilineal namundengan masuk silam mulai tergoyahkan garis patrilineal denga sifat keterbukaan orang Minangkabau untuk menjawab kebutuhan dari perubahan social, orang Linangkabau mulai memperbaiki nilai-nilai adat.
            Dalam masyarakat etnik Minangkabau sanagt kental dengan migrasi kea lam rantau dimaan diakibatkan beberapa factor garis matrilineal dan adanya misi budaya masyarakat etnik Minangkabau. Tidak kalah penting ketika masyarakat Minangkabau mereformis budaya untuk menjamin perkembangan lebih lanjut. Namun dalam reformis ini juga member efek pada masyarakat etnik Minangkabau yaitu terjadinya disintegrasi identitas lama, itu terbukti saat nmasyarakat etnik Minangkabau identitas baru yang diberikan oleh pemuka agama sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain yang tidak diragukan lagi tokoh besar ini.
            Dengan munculnya identitas baru ini juga akhirnya memberikan rasa yang aman dan semangat untuk menaklukkan daerah rantau. Masyarakat etnik Minangkabau sebenarnya mempunyai pemikiran yang modern untuk menafsirkan kembali budaya, terutama ketika di alam rantau yang terikat oleh kampung halaman, namun dengan kemajuan zaman adanya telepon dan pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan menafsirkan kembali nilai-nilai budaya untuk memenuhi kebutuhan nilai budaya yang lebih bisa menjawab perubahan sosial yang terjadi.



Daftar Rujukan
Abdullah, T. 1990. Sejarah Lokal di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Yogyakarta; Gadjah Mada Unversity Press
Berger, L.P. 1992. Kabar Angin Dari Langit: Makna Teologi dalam Masyarakat Modern. Jakarta: LP3ES.
Hasan, M. Z. 1987. Pendidikan dan Modernitas Individu dalam Proses Pembentukan Manusia Pembangunan di Indonesia (Ceramah Ilmiah, disampaikan dalam rangka Dies Natalis IKIP Malang XXXIII, Tanggal 18 Oktober 1987). Malang: IKIP Malang
Kleden, I. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia
Koentjaraningrat, dkk. 2002. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Pelly, U. 1998. Urbanisasi dan Adaptasi: Peran Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES.
Soekanto, S. 1992. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta: Rajawali Press.
Sulaeman, M. 1998. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama.