Kamis, 13 Desember 2012

DINAMIKA BUDAYA DALAM KONTEKS MASYARAKAT ETNIK MINANGKABAU (1930-1960)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Daerah asal masyarakat Minangkabau diperjirakan seluas daerah propersi Sumatra Barat, dengan dikurangi oleh kepulauan Mentawai, tetapi dalam pandangan orang Minangkabau sendiri.daerah ini dibagi dalam bagian-bagian khusus. Bagian-baguan khusus itu menyatakan alam asal (kampung halaman) dan alam rantau, yang adaerah rantaunya di wilayah Medan. Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia, rentangan sebelum dan sesudah kemerdekaan dalam tahun 1960. Masyarakat etnik Minangkabau adanya suatu persoalan yang memicu suatu persoalan urbanisasi. Ketika di alam rantau adaptasi dengan lingkungan setempat.
Bahwa terjadinya urbanisasi maupun adaptasi masyarakat Minangkabau sangat dipengaruhi misi budaya. Dimana misi ini sebagai seperangkat tujuan yang diterapkan dan dicapai oleh anggota-anggota suatu masyarakat tersebut. Misi budaya masyarakat Minagkabau yaitu berbunyi sebagai berikut: membawa kekayaan, pengetahuandan keduanya sebagai penguat dan memperkaya kampong halamannya. Ini salah satu factor yang mendorong masyarakat Minangkabau untuk merantau. Apabila kembali dari perantauan dimana masyarakat Minangkabau masih terikat alam asal (kampung halaman) dan juga cara beradaptasi masyarakat Minangkabau dipengaruhi oleh misi budaya. Keberhasilan dan kegagalan dalam seorang perantau diukur dengan keberhasilan misi budaya tersebut. Apabila masyarakat etnik Minangkabau gagal dalam perantauan dan pulang ke kampong halamannya dan dikampung dia akan dikucilkan.
Dengan adanya urbanisasi dan adaptasi dialam rantau bagi masyarakat etnik Minangkabau memberikan tantangan pada masyarakat Minangkabau untuk menjawab perubahan social yang ada, dengan kondisi kebutuhan masyarakat etnik Minangkabau. Otomatis ada kebutuhan untuk memperbarui misi budaya, untuk menjawab perubahan social, walau ada resika disintegrasi identitas. Modernisasi pada masyarakat Minangkabau tidak dapat lepas dari peran perkembangan zaman. Dinamika budaya masyarakat Minangkabau pun mulai mengalami perkembangan kearah masyarakat modern.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini antara lain sebagai berikut:
1.      Bagaimana proses terjadinya urbanisasi masyarakat Minangkabau ?
2.      Bagaimana proses adaptasi masyarakat Minangkabau di alal rantau ?
3.      Bagaimana dinamika budaya dalam konteks masyarakat etnik Minangkabau ?
C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut:
1.      Mendiskripsikan proses terjadinya urbanisasi masyarakat Minangkabau.
2.      Mendiskripsikan proses adaptasi masyarakat Minangkabau di alam rantau.
3.      Mendiskripsikan dinamika budaya dalam konteks masyarakat etnik Minangkabau.
D.    Kerangka Berpikir : Ignas Kleden
Setiap pembaruian suatu budaya bahwa pada mulanya kebudayaan adalah nasib dan baru kemudian kita menanggungnya sebagai tugas. Pada mulanya kita adalah penerima yang bukan saja menghayati tetapi juga menjadi penderita yang menanggung beban kebudayaan tersebut kita bangkit dalam kesadaran untuk turut membentuk dan mengubahnya. Pada dasarnya kita adalah pasien kebudayaan sebelum kita cukup kuat untuk menjadi agennya.
Apabila suatu konsep sejarah diterjemahkan kedalam kebudayaan dan kebudayaan dapat juga dipakai suatu dialektik antara penemuan dan pencarian antara integrasi dan disentegrasi antara tardisi dan reformasi. Tanpa adanya reformasi atau disentegrasi suatu kebudayaan akan kehilangan untuk berkembang. Dimana untuk memperbarui diri dan menyesuaikan diri dengan adanya suatu perubahan social yang ada didalam masyarakat.
Dengan adanya reformasidalam kebudayaan atau sesuai dengan sifat kebudayaan yang dinamis. Ini dapat memberikan dampak bagi kebudayaan itu sendiri, dimana akan mengalami resiko, baik identitasnya maupun resiko bagi pembarunya. Missal dengan tetap mengandalkan tradisi dan integrasi, dalam suatu kebudayaan akan terpelihara identitasnya, terjamin kelanjutan hidupnya, akan tetapi belum tentu menjamin perkembangan lebih lanjut. Sebaliknya apabila mengutamakan reformasi dalam kebudayaan dapat memebrikan dampak yaitu terjadinya disintegrasi identitas lama, namun belum bias dipastikan suatu identitas baru akan muncul dan apabila muncul, apakah identitas baru itu dapat memberikan rasa aman dan pegangan baru yang lebih sesuai.
Kebudayaan dapat dipakai sebagai sumber pandangan dunia (Weltenschauung) yang memungkinkan seseorang mampu menangkap dunianya kedalam persepsinya (otologi) dan menangkap bukan sebagai sesuatu yang kacau, melainkan sesuatu yang beraturan dan bermakna (kosmologi). Jika otologi membuat kebudayaan menjadi suatu realitas, maka kosmologi mebuatu kebudayaan menjadi sistem realitas dan sistem makna.
Dalam pandangan dunia diterjemahkan mejadi tingkah laku, akan didapati pandangan hidup (Lebensanschauung) yang tidak hanya memungkinkan seseorang mengetahui dan memahami, tetapi juga mengambil sikap terhadap apa yang dia ketahui atau pahami. Dunianya tidak ditanggapi hanya sebagai sesuatu yang ada (ontologi), tetapi juga sesuatu yang mengandung nilai-nilai dan peraturan mengenai nilai-nilai itu. Pada sistem nilai inilah ditentukan, entah suatu kebudayaan sebagai sistem pengetahuan dan sistem makna dapat berubah menjadi sistem, tingkah laku, perbuatan dan tindakan. Secara singkat etika dan moral sebagai titik kritis menentukan apakah sistem budaya yang terdiri dari perangkat makna dan perangkat nilai dapat diterjemahkan menjadi sistem social baru tindakan, perbuatan dan tingkah laku sosial. Pada masyarakat selalu terjadi perubahan sistem budaya dan sistem sosial untuk menjawab tantangan perubahan social yang ada.









BAB II
PEMBAHASAN
Proses Terjadinya Urbanisasi Masyarakat Minangkabau
            Dilihat dari beberapa alasan ketika orang-orang Minangkabau jauh dari daerah asalnya. Pertama, keinginan mereka untuk mendapatkan kekayaantanpa menggunakan tanah-tanah yang ada, ini dapat dihubungkan sebenarnya dengan keadaan bahwa seorang laki-laki tidak mempunyai hak menggunakan tanah itu untuk kepentingan keluarga matirilinealnya. Kedua, ialah perselisihan-perselisihan yang menyebabkan bahwa orang yang merasa dikalahkan akan meninggalkan kampong dan keluarga untuk menetap ditempat lain.(Koentjaraningrat, 2002:249)
            Dalam mata pencaharian masyarakat Minangkabau didaerah asalnya (kampung halaman). Sebagian besar masyarakat Minangkabau tergantung pada tanah. Dimana daerahnya. Dimana daerahnya ini sangat subur dengan cakupan air yang tersedia., sebagian besar orang Minangkabau mengolah sawah, sedangkan pada daerah yang tinggi banyak orang menanam sayur mayUr untuk perorangan, sebagian kubis, tomat dan sebagainya. Didaerah kawasan pesisir mereka hidup dari tanah dan menghasilkan kelapa.
            Pada saat orang Minangkabau meulai meninggalkan sekitar pertanian. Disebabkan karena tidak adanya tanah pertanian yang tidak memberikan cukup hasil, ini menimbulkan kesadaran masyarakat Minangkabau dalam bidang pertanian tidak nisa memberikan kekayaan yang diinginkan orang Minangkabau. Orang-orang tersebut beralih ke sector perdagangan, ada juga diantara mereka yang karena pendidikan mereka tidak mau kembali ke pertanian dan menjadi pegawai lalu mendapatkan gaji. Mereka menjadi pedagang, memilih lapangan tekstil, kelantangan atau rumah papan (lepau).
            Masyarakat Minangkabau dilihat dari mata pencaharian yang pengaruhnya sector pertanian, berdagang, ada tekanan pada kumpulan yaitu garis matrilineal memungkinkan terjadinya urbanisasi. Namun, jika menekankan pada garis matrilineal terjadi urbanisasi masyarakat Minangkabau belum memberikan jawaban yang mendekati kebenaran. Karena pada masyarakat Minangkabau digolongkan sebagai seorang bangsawan yang betul-betul mempunyai kedudukan yang tinggi dimasyarakat. Seorang laki-laki bangsawan pernah mendapat pelajaran istimewa jika mereka kawin tidak perlu member belanja istrinya. Bahkan untuk menikahi seorang gadis, ia akan mendapatkan sejumlah uang yang besar sebagai uang jemputan. Ia secara langsung akan dapat memperbaiki kedudukan social dari keluarga istrinya, karena anaknya akan lebih tinggi lapisan sosialnya dari ibunya sendiri. Seorang bangsawan di Pariaman, katakanlah bangsawan itu Haju, yang kawin dengan seorang wanita biasa, maka anaknya akan mendapatkan gelar bangsawan pula. Tapi raja tetap kedudukannya lebih tinggi.
            Perbedaan di lapisan social dapat dihubungkan dengan perbedaan kedatangan suatu keluarga ke dalam suatu tempat tertentu, keluarga bangsawan. Karena itu, mereka dalam masyarakat Minangkabau juga dikenal sebagai Urang Asa (orang asal) keluarga-keluarga yang datang kemudian, tetapi tidak terkait seluruhnya kepada keluarga asal, dapat membeli menjadi orang biasa atau golongan pertengahan dalam masyarakat yang bersangkutan. Tidak demikian halnya dengan keluarga-keluarga yang lebih dulu datang dengan jalan menghambakan diri mereka. Itulah yang dianggap paling rendah dalam masyarakat tersebut(Koentjranaingrat,dkk, 2002:258).
            Dalam perkembangan waktu Islam mulai masuk pengaruhnya di Sumatra Barat. Ada pertentangan adat dan agama Islam, ketika nasehat yang ditunjukkan kepada penduduk mengenai sabungan ayam dan pekerjaan-pekerjaan maksiat lainnya diabaikan saja. Tetapi, suatu ketika ia merasa gusar mengenai hal itu dan diputuskan oleh Haji miskin untuk membakar balai adat yang dipuja itu dan hal ini benar-benar dilakukannya(Abdullah, 1990:154).
            Dengan berjalannya waktu ajaran agama Islam mulai mendominasi kepada masyarakat Minangkabau. Dimana masyarakat tantang garis matrilineal mulai luntur dengan Islam masuk dimana garis patrilineal yang dipakai.
Disinilah masyarakat Minangkabau bermigrasi karena adanya misi budaya ketika masyarakat Minangkabau mayoritas agama Islam, dimana mereka menyatakan bahwa Islam adalah kesempurnaan dari adat, bahwa Islam memberikan basis transeden untuk adat.(Pelly, 1998:37). Misi budaya sebagai factor urbanisasi masyarakat Minangkabau, menurut Usman Pelly, bahwa masyarakat Minangkabau dalam misi budaya sebagai berikut : pertama membawa kekayaan pengetahuan dan pengalaman untuk memperkuat dan memperkaya alam Minangkabau dimana ini sebagai cawan yang didalamnya didasari nilai-nilai dominan dari pandangan dunia masyarakat Minangkabau. Apabila orang Minangkabau gagal dalam mewujudkan misi budaya dan kembali ke kampung halamannya.
Akan dikenal oleh masyarakat kampung. Ajaran Islampun mulai memberikan jawaban ketika masyarakat yang masih memegang kuat adat Matrilineal, orang laki-laki pergi ke surau-surau dan lepau. Surau adalah pusat pendidikan agama dalam arti luas, sedangkan lepau adalah sebagai lembaga bisnis melambangkan keduniawian, kekasaran dan keberanian. Dimana Muhammadiyah erat dengan budaya Minang. Misi budaya orang Minangkabau yang membuat terjadinya urbanisasi sewaktu-waktu akan berubah dari sudut pandang orang Minangkabau apabila tidak sesuai kebutuhan akan perubahan social yang ada di masyarakat.
Proses Adaptasi Masyarakat Minangkabau di Alam Rantau
            Kota Medan adalah terdiri banyak pemukiman para perantau. Dalam pemukiman-pemukiman para perantau terjadi saling tukar-menukar pikiran mengenai pekerjaan, sanak saudaradan bagaimana menjalankan tradisi untuk mendorong perantau-perantau kota yang baru. Dengan adanya kampung-kampung rantau ini akan menyerap perantau-perantau baru untuk datang, karena ada hubungan sanak saudara dari desa asal sebagai penghubung dalam mencari pekerjaan dan penginapan sementara.
            Pemukiman masyarakat etnik Minangkabau, setelah kemerdekaan pemukimannya berpindah ke pusat-pusat perbelanjaan baru, berbeda dengan keturunan orang-orang Cina, orang Minangkabau tidak membangun rumah atau toko baru, tetapi membeli atau menyewa rumah-rumah rakyatdari pemilik-pemilik lama sekitar pusat-pusat perbelanjaan tersebut. Para pemilik rumah-rumah tersebut sebagian besar adalah suku Melayu, Jawa, atau Mandailing yang akan menyewakan atau menjualnya supaya dapat dipindah ke tempat yang lebih baik, jauh dari pusat-pusat perbelanjaan yang selalu sibuk dan hiruk-pikuk, karena itu orang-orang Minangkabau tadi tidak mengubah struktur fisik kampung-kampung sekeliling pasar-pasar. Mereka hanya mengambil alih rumah demi rumah. Populasi Minangkabau sekitar pasar-pasar terus bertambah setelah beberapa tahun, berkembanglah kerumunan kampung-kampung etnik Minangkabau tersebut mengelilingi pusat-pusat perbelanjaan(Pelly, U. 1998: 94-95).
            Dalam pemilihan pekerjaan utama Minangkabau ada tiga yaitu dagang, tukang mandiri dan profesi. Pekerjaan-pekerjaan ini memberikan kebebasan individu yang sangat mereka hargai dan tidak membawa keterkaitan dengan setting perantau mereka dimaan seperti pada pekerja pegawai pemerintah yang mungkin akan menyulitkan misi budaya mereka. Dimana misi budaya masyarakat Minangkabau masih terikat dengan kampung asalnya.
            Tradisi pulang balik antara kampung halamn dan kota mengurangi modal dari perdagangan Minangkabau dan menghambat pengembangan bisnis mereka. Orang Minangkabau berbeda dengan orang Cina, tidak banyak memiliki pengalaman dalam mebina hubungan dengan kelas penguasa. Akibat pada masa Belanda, orang-orang Cina berhasil menahan suku Minangkabau pada perdagangan kecil.
            Dari berbagai alasan mengapa posisi orang Minangkabaudalam pandangan dikota tidak berubah dan barangkali bahkan makin menurun setelah kemerdekaan. Oertama, selama revolusi (1945-1950) kebanyakan perdagangan Minangkabau meninggalkan kota dan bergabung dengan gerilya desa. Ketika mereka kembali ke kota dalam 1950-an, mereka membangun kembali bisnis menjadi pedagang keliling, mereka berpindah dari kota ke kota, dari pasar kota ke pasar perkebunan dan dari pasar ke pasar. Ini merupakan akibat pola urbanisasi orang Minangkabau, antara alam rantau ke alam asal. Dimana kembali ke alam asal(kampung halaman) membawa perubahan untuk membangun kampung halamannya dan berangkat ke alam rantauan membawa misi budaya dan perubahan budaya.
            Di alam rantau orang laki-laki Minangkabau sudah mempunyai kemandirian mulai umur 10 tahun sudah berdiam di surau, lepau, dimana suaru dan lepau sebagai tempat untuk belajar agama dan diskusi untuk memecah suatu permasalahan. Sedangkan lepau sebagai penguat di sector ekonomi dan dimana Minangkabau di alam rantau mulai menguatkan identitas kelompok dengan ikut organisasi Muhammadiyah.
            Para perantau Minangkabau mulai menganggap daerah rantau sama pentingnya dengan kampung halaman. Dimana peninjauan kembali tentang misi budaya dimana masyarakat Minangkabau yang kembali kekampung halamannya akan menganggu bisnisnya sudah dijalankan dimana pekerjaan ini tidak dapat ditinggalkan. Dan dengan adanya telepon yang memudahkan untuk berkomunikasi pada keluarga dikampung halaman disini letak masyarakat Minangkabau mulai menjawab tantangan perubahan social yang terjadi dimana misi budaya yang mempunyai ikatan dalam kampung diperbarui lagi untuk menjawab perubahan social yang ada.
Dinamika Budaya Dalam Konteks Masyarakat Minangkabau
            Dimulai dari pertentangan antara kaum Adat dengan Islam, ketika Haji Miskin memberikan nasehat kepada kaum Adat yang bermain judi sabung ayam. Namun kaum Adat tidak dipakai bahkan diacuhkan, Haji Miskin merasa gusar dan diputuskan untuk membakar balai adat. Dimana balai Adat dan agama Islam pun tak terhindarkan namun dengan berjalannya waktu ajaran Islam mulai banyak dipakai oleh masyarakat Minangkabau. Ajaran Islam melarang makan sirih, minum candu dan minuman keras, begitu pula main judu. Adapun memakai pakaian sutera dan perhiasan dari emas hanyalah diizinkan bagi kaum Ibu. Dengan nilai-nilai norma yang ada saat itu sesuai dengan jiwa zaman dan menjawab kebutuhan masyarakat Minangkabau untuk tantangan zaman.
            Dari pertentangan syariah dan adat diselesaikan di kampung halaman Minangkabau lalu kemudian dibawa ke perantauan. Dimana masyarakat mengalami krisis identitas namun Islam memberikan identitas yang bagus yaitu diibaratkan keturunan Iskandar Zulkarnain.
            Sistem budaya Minangkabau merupakan wujud yang abstrak dari kebudayaan Minangkabau. Sistem budaya merupakan ide-ide dan gagasan manusai yang hidup bersama dalam suatu masyarakat. Gagasan tersebut tidak dalam keadaan lepas satu dari yang lainnya, tetapi selalu berkaitan dan menjadi satu sistem. Dengan demikian sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan yang diartikan pula adat istiadat. Adat-istiadat mencakup sistem nilai budaya, sistem norma, norma-norma menurut pranata-pranata yang ada didalam masyarakat yang bersangkutan, termasuk norma agama.
            Fungsi sistem budaya menata dan menetapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia. Proses belajar dari sistem budaya ini dilakukan melalui pembudayaan itu institutionalization (pelembagaan). Dalam proses pelembagaan ini, seorang individu memperlajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-adat, sistem norma dan perantauan yang hidup dalam kebudayaan. Proses ini dimulai sejak kecil, dimulai dari lingkungan keluarganya, kemudian dengan lingkungan diluar rumah. Mula-mula dengan meniru berbagai macam tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang memberikan motivasi akan tindakan meniru itu. Diinternalisasi dalam kepribadiannya, maka tindakannya itu menjadi suatu pola yang mantap dan norma yang mengatur tindakan dibudayakan(Sulaeman, 1998:15-16). Dimana masyarakat Minangkabau melakukan reformis kebudayaan untk menjawab perubahan social. Walaupun itu akan memberikan resiko krisis identitas, namun pintar kaum Agamis yang reformis terhadap menjawab kebutuhan masyarakat Minangkabau terhadap krisis identitas dan Iskandar Zulkarnainlah sebagai jawaban bahwa orang Minangkabau keturunan dari Iskandar Zulakarnain.
            Dengan masyarakat Minangkabau mempunyai pepatah “sekali banjir datang sekali pada lubuk mandi berpindah”(sekali air bah datang, sekali tepian berubah). Konsep tradisional Minangkabau memberikan pandangan bahwa perubahan tidak dapat ditolak, dan juga ada pepatah sebagai pedoman elok nan usang diperbarui, daripada mencari nan lian (baiklah yang lama itu diperbarui daripada mencari yang lain).
            Dimana masyarakat Minangkabau akan dikuatkan dengan generasi berikutnya ketika Islam mendominasi di masyarakat Minangkabau bahwa Islam ada kesempurnaan dari adat, bahwa Islam memberikan basis transenden untuk adat. Agama Islam memberikan pendidikan walau itu berbasis agama namun membuat sumber daya manusia, disinlah akan memicu perubahan dunia, dimana akan diterjemahkan weltanschauung modernitas(Berger.,L.P, 1992:26).
            Dilihat dari tipe masyarakat yang ideal menurut Kluckhohn dan Stroedbeck;(1) masyarakat tradisional,(2)masyarakat peralihan,(3)masyarakat modern masing-masing ciri dasar sebagai berikut:
            Pertama, masyarakat tradisional mempunyai kecenderungan untuk memandang bahwa hdiup manusia itu buruk, tujuan karya adalah untuk mempertahankan hidup, berorientasi ke masa lampau cenderung menyerah pada alam, serta memiliki rasa gotong-royong yang tinggi.
            Kedua, masyarakat peralihan memiliki kecenderungan untuk memandang hakekat hidup itu buruk, tetapi wajib berikhtiar agar menjadi baik, tujuan karya adalah untuk kedudukan dan kehormatan, berorientasi ke masa lampau dan masa kini, cenderung meyelaraskan diri denagn alam serta cenderung bergantung pada tokoh atasan yang berpangkat.
            Ketiga, masyarakat modern cenderung memandang bahwa hidup pada hakekatnya baik dan menyenangkan, berkarya demi meningkatkan karya sendiri. Berorientasi ke masa depan, berusaha menguasai lingkunfan alam, hubungan antara anggota masyarakat didasarkan pada prinsip-prinsip individualisme.
            Walaupun masyarakat Minangkabau belum secara sempurna menunjukkan sebuah cirri dari  masyarakat modern tetapi mulai menuju kea rah tersebut, dilihat meningkatkan kerjha mereka dan berorientasi ke depan, saat misi budaya mereka tidak menjawab kebutuhan perubahan social mereka akan memperbaruinya.
            Dilihat dari sudut pandang lain bahwa proses perubahan masyarakat dan kebudayaan yang dikehendaki dan direncanakan, biasanya dinamakan modernisasi. Proses modernisasi ini pada intinya berarti peningkatan kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya yang mencakup:
a.       Kebutuhan akan sandang, pangan dan papan.
b.      Keselamatan terhadap jiwa dan harta benda.
c.       Kesempatan yang wajar untuk dihargai (sehingga mempunyai harga diri)
d.      Kesempatan untuk dapat mengembangkan kemampuan atau potensi.
e.       Mendapatkan kasih saying dari sesamanya(Soerjono.S, 1992: 43-44).
Ini lebih dekat dengan ciri masyarakat Minangkabau yang sudah mengalami modernisasi pada masa setelah merdeka sampai tahun 1960. Saat orang Minangkabau memenuhi misi budaya dalam alam rantau yang masih terikat oleh kampung halaman namun dengan adanya kemajuan IPTEK berupa telepon dapat mempermudah hubungan dengan keluarga dikampung halaman. Ini salah satu indikator misi budaya mulai diperbarui.
Dari sudut lain lagi, kemajuan IPTEK yang terjadi pada masa kini seringkali dikaitkan dengan istilah modernisasi, yang memiliki arti sebagai suatu usaha hidup sesuai dengan zaman konstelasi dunia sekarang(Koentjaraningrat, 1984:140-141) dan supaya menyeluruh. Modernisasi pada hakekatnya merupakan serangkaian perkembangan dan perubahan nilai-nilai dasar, meliputi nilai teori, nilai sosial, ekonomi, kekuasaan atau politik, nilai estetika dan nilai agama. Secara harafiah, kata modern berarti sesuatu yang baru menggantikan sesuatu yang telah lama berlaku(Hasan, 1987:5). Walau Minangkabau merestorasi budayanya tetapi nilai-nilai lama yang masih bisa dipakai dan perubahan dari luar yang sesuai dan bisa menjawab kebutuhan perubahan sosial yang dihadapi masyarakat Minangkabau.



















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Bahwa masyarakat etnik Minangkabau dengan pepatahnya yang menyatakan “sekali banjir datang sekali pula lubuk mandi berpindah(sekali air bah datang, sekali tepian berubah)”. Dilihat dari makna pepatah ini masyarakat Minangkabau mempunyai sifat terbuka atas perubahan yang terjadi. Sejak Islam masuk daerah Sumatra Barat, dimana ada pertentangan adat dan ajaran Islam. Dengan banyaknya waktu masyarakat etnik Minangkabau mulai banyak memeluk Islam. Ajaran adat pun yang menjunjung tinggi matrilineal namundengan masuk silam mulai tergoyahkan garis patrilineal denga sifat keterbukaan orang Minangkabau untuk menjawab kebutuhan dari perubahan social, orang Linangkabau mulai memperbaiki nilai-nilai adat.
            Dalam masyarakat etnik Minangkabau sanagt kental dengan migrasi kea lam rantau dimaan diakibatkan beberapa factor garis matrilineal dan adanya misi budaya masyarakat etnik Minangkabau. Tidak kalah penting ketika masyarakat Minangkabau mereformis budaya untuk menjamin perkembangan lebih lanjut. Namun dalam reformis ini juga member efek pada masyarakat etnik Minangkabau yaitu terjadinya disintegrasi identitas lama, itu terbukti saat nmasyarakat etnik Minangkabau identitas baru yang diberikan oleh pemuka agama sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain yang tidak diragukan lagi tokoh besar ini.
            Dengan munculnya identitas baru ini juga akhirnya memberikan rasa yang aman dan semangat untuk menaklukkan daerah rantau. Masyarakat etnik Minangkabau sebenarnya mempunyai pemikiran yang modern untuk menafsirkan kembali budaya, terutama ketika di alam rantau yang terikat oleh kampung halaman, namun dengan kemajuan zaman adanya telepon dan pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan menafsirkan kembali nilai-nilai budaya untuk memenuhi kebutuhan nilai budaya yang lebih bisa menjawab perubahan sosial yang terjadi.



Daftar Rujukan
Abdullah, T. 1990. Sejarah Lokal di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Yogyakarta; Gadjah Mada Unversity Press
Berger, L.P. 1992. Kabar Angin Dari Langit: Makna Teologi dalam Masyarakat Modern. Jakarta: LP3ES.
Hasan, M. Z. 1987. Pendidikan dan Modernitas Individu dalam Proses Pembentukan Manusia Pembangunan di Indonesia (Ceramah Ilmiah, disampaikan dalam rangka Dies Natalis IKIP Malang XXXIII, Tanggal 18 Oktober 1987). Malang: IKIP Malang
Kleden, I. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia
Koentjaraningrat, dkk. 2002. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Pelly, U. 1998. Urbanisasi dan Adaptasi: Peran Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES.
Soekanto, S. 1992. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta: Rajawali Press.
Sulaeman, M. 1998. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar