Kamis, 29 November 2012

Indianisasi di Asia Tenggara dalam konteks sebagai perubahan budaya di Indonesia pada abad 5-15


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            India mempunyai peranan besar dalam pengaruh kebudayaan di Asia Tenggara, terutama yang sangat kuat yaitu terhadap Indonesia dapat dilihat kemegahan peninggalannya yang sebagian besar gaya bangunan, bahasa, huruf dan keyakinan terpengaruh oleh India. India sendiri pada sekitar abad (330-180 SM) kepemimpinan Kaisar Murya dan daerahnya lembah sungai Gangga di India Utara, terbentang sampai Badhiria Yunani dibarat pantai dan pantai timur sampai muara sungai Kishna dan Gadawantridisebelah selatan. Pusat kekuasaan terletak di Patana disebelah sungai Gangga. Puncak kejayaan pertengahan abad III SM pemerintahan Asoka. Dengan ini perdagangan di India mulai ramai bahkan India dan Cina sudah ratusan tahun SM. Adanya hubungan itu memberi dampak adanya saling interaksi dengan pihak luar dan kebudayaan mulai menyebar.
            Dengan masuknya orang-orang India ini Indonesia yang dulunya masih prasejarah. Kebudayaan mulai mendapat pengaruh asing. Di kawasan Indonesia ini ada 2 kemungkinan apakah budaya India sebagai akulturasi ekstrem yaitu dapat dijelaskan pengaruh asing telah menghilangkan karakter atau ciri asli masyarakat tersebut atau budaya India-Indonesia mengalami akulturasi lunak ini, unsur kebudayaan yang telah dimiliki masih bertahan, karena faktor yang disebut karakter atau ciri masyarakat sendiri. Disini apakah kebenaran bahwa pertama kebudayaan Indonesia mengadopsi dari India sepenuhnya, lama kemudian masyarakat Indonesia berkembang memunculkan budaya yang bercorak Indonesia asli. Dengan ini telah mengubah pola kehidupan masyarakat dikawasan Indonesia terutama dalam kehidupan politik, agama, sosial dan budaya.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Indianisasi di Asia Tenggara dalam konteks sebagai perubahan budaya di Indonesia pada abad 5-15 ?
2.      Bagaimana perkembangan budaya Indonesia pada abad 5-15 ?

1.3 Tujuan Penulisan Masalah
1.      Mendiskripsikan Indianisasi di Asia Tenggara dalam bentuk konteks sebagai perubahan budaya di Indonesia pada abad 5-15.
2.      Mendiskripsikan perkembangan budaya Indonesia pada abad 5-15.


















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Indianisasi di Asia Tenggara dalam bentuk konteks sebagai perubahan budaya di Indonesia pada abad 5-15.
            Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India itu mulai berakhirnya zaman prasejarah Indonesia, karena beberapa keterangan tertulis yang memasukkan bangsa kita ke dalam zaman sejarah. Keterangan-keterangan tertulis itu berupa batu-batu bersurat, yang terdapat di wilayah Kutai (Kalimantan Timur) dan di Jawa Barat. Tulisan yang dipakai adalah huruf Pallawa yaitu huruf yang lazim dipakai di India Selatan antara abad ke 3 sampai ke 7. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sansekerta yang pada masa itu dipakai di India, yang diubah dalam bentuk syair. Maksudnya dari tujuan piagam-piagam itu terutama memuji kebesaran sang Raja yang memerintah pada masa itu dan melaksanakan sesaji secara besar-besaran menurut upacara Hindu untuk keselamatan dan kesejahteraan kerajaan serta rakyatnya. Kepentingan legitimasi seperti pada tulisan Prasasti yang menyebutkan silsilah Mulawarman raja terbesar didaerah Kutai purba itu. Berbunyi sebagai berikut:
Sang Maharja Kudunga yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, sang Asmawarman namanya seperti Sang Asuman (dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Asmawarman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci). Tiga yang terkemuka dari tiga putra itu ialah Sang Mulawarman yang telah mengadakan kenduri (selamatan) emas-amat-banyak-buat peringatan kenduri (slametan) itu tugu batu ini yang didirikan oleh para Brahmana.(Marwati Djoened Poeponegoro, Nugroho Notosusanto, SNI II)
            Dari keterangan itu nyata bahwa kebudayaan Indonesia telah mengalami suatu perubahan dari zaman prasejarah ke zaman sejarah. Pengaruh Hindu bukan saja mengantarkan bangsa Indonesia memasuki zaman, tetapi menyentuh semua aspek ekonomi, social, budaya dan bentuk pemerintahan. Bidang ekonomi dengan adanya pengaruh kasta membuat ada pembagian pekerjaan. Dalam social kasta pun berpengaruh adanya tingkatan status sosial. Dalam budaya dari tidak mengenal tulis dan mulai mengenal tulisan berupa huruf Pallawa. Bentuk pemerintahan dari suku-suku menjadi timbulnya kedudukan raja dan bentuk pemerintahan kerajaan. dengan terjadinya ini otomatis penghidupan dan adat kebiasaan akan berubah.
            Berhubungan dengan terjadinya pada masa itu, maka pentinglah bahwa kita terlebih dahulu meninjau sejarah kebudayaan India. Meskipun hanya dengan singkat dan terbatas kepada mana-mana yang perlu untuk Indonesia saja. Didalam soal keagamaan dan pandangan hidup, oleh karena itu keduanya inilah menjadi stimulus dan bahkan yang menentukan corak serta sifatnya bagi penjelmaan-penjelmaan kebudayaan yang dilahirkan oleh masyarakat pendukungnya. Inilah yang akan nantinya mempengaruhi dan menentukan arah perkembangan selanjutnya dari kebudayaan Indonesia selama zaman prasejarah.
            Di kepulauan di Indonesia namun dalam kawasan ini menghadapi sebuah kenyataan terjadinya perbedaan dalam berbagai aspek budaya yang memperlihatkan akan pengaruh kebudayaan India dalam kadar serta mutu yang mengalami keberagaman itu walaupun pengaruh utamanya itu berasal dari India. Dalam melihat dari masalah pengaruh India di kawasan Asia Tenggara itu, ia melihat sebagai proses akulturasi atau proses Indianisasi itupun terjadi. Di Indonesia dan menurut Wales membedakan dua macam akulturasi yaitu akulturasi yang ekstrem dan akulturasi yang lunak.
            Pengertian ekstrem dalam hubungan akulturasi itu, diakuinya mengandung makna yang relative, karena tidak menggambarkan suatu prosesnya yang disentri pemaksaan. Akibat dari terjadinya pemaksaan, akulturasi ekstrem pun disebut-sebut awal local genius. Sedangkan akulturasi yang lunak, digambarkan sebagai suatu proses Indianisasi yang merangsang dan menimbulkan tumbuhnya kebudayaan yang bercorak Hindu dengan ciri khas budaya setempat. Di kawasan yang mengalami akulturasi lunak ini. Unsur kebudayaan yang telah dimiliki, masih bertahan, dikarenakan oleh faktor yang disebut local genius.
            Pengertian local genius yang digunakan oleh Wales, diakui sebagai konsep yang diilhami oleh Kardiner. Berdasarkan analisa berbagai ragam kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Kardiner menunjukkan apa yang disebut kepribadian dasar (basic personality) yang dimiliki masing-masing kebudayaan yang dimaksud dasar itu tidak merujuk asal-usul yang digunakan oleh Herodotus dengan istilah National Character. Dengan kata lain local genius adalah sejumlah ciri-ciri yang khas yang dimiliki oleh segenap masyarakat secara bersama sebagai hasil pengalaman masa lalu atau sejarahnya.
            Terjadinya akulturasi lunak unsur lokal tersebut tetap bertahan sebagai sesuatu yang akan menentukan jawaban terhadap kebudayaan baru serta memberikan arah terjadinya evolusi yang berkelanjutan. Pengaruh kdbudayaan yang berasal dari luar tidak sampai menghilangkan aspek budaya yang lebih dulu hidup dalam masyarakat. Penerapan konsep dari Wales yaitu local genius itu akan menghasilkan suatu interpretasi mengenai peranakan masyarakat penerima unsure kebudayaan baru sebagai variasi yang harus dimasukkan. Untuk memiliki unsur-unsur budaya yang menjadi sumber daya dalam menggarap dan mengubah kebudayaan yang bermuatan jati diri bangsa.
            Untuk mendukung teori 2 macam akulturasi itu, Wales membagi daerah kawasan pengaruh kebudayaan Hindu di Asia Tenggara, menjadi 2 yaitu sebagai berikut :
1.      Kawasan barat, meliputi Srilangka, Myanmar, Muangthai Tengah, Semenanjung Melayu dan Sumatra. Di kawasan ini terjadi akulturasi arus kuat, yang berakibat tenggelamnya unsure “pribumi” sementara itu kebudayaan India pun tampak sangat dominan di kawasan ini secara rinci ditunjukkan pengaruh kebudayaan Gupta, Pallawa dan Pala yang bercorak Budhis.
2.      Kawasan timur, meliputi kawasan budaya Jawa, Campa dan Kampuchea (Khmer). Di kawasan ini terjadinya akulturasi arus lemah, oleh karena itu, disini digambarkan bahwa pengaruh kebudayaan Hindu tidak berhasil menghilangkan unsur budaya ‘pribumi” dan dalam beberapa hal. Unsur pribumi tersebut tampak menonjol. Misalnya dalam hukum adat, religi dan kesenian. Di kawasan timur itu, ditunjukkan proses pemudaran unsur kebudayaan. Walaupun demikian masih tampak adanya perbedaan yang berkaitan dengan factor local genius, karena adanya intensitas yang berbeda pula mengenai unsure local genius di kawasan itu.
Dari perjalanan Wales ingin membuktikan perbedaan yang terjadi dalam proses kontak budaya di Asia Tenggara dengan mengajukan hipotesa yang dirumuskan sebagai berikut :
·         Pengaruh kebudayaan Hindu, diacu oleh local genius dengan unsur yang bertahan berupa unsur kebudayaan Han (sekitar tahun 45 SM) kebudayaan Jawa-Hindu adalah hasilnya.
·         Pengaruh kebudayaan Hindu diacu oleh local genius yang unsurnya tetap berupa kebudayaan Dongson dan Han dalam hubungan ini terjadilah evolusi kebudayaan Campa.
·         Pengaruh kebudayaan Hindu di acu oleh local genius yang tampil dalam unsur tetapnya berupa kebudayaan Megalitik tua seperti ditunjukkan oleh evolusi kebudayaan Khamer.
Menurut Wales frasa pengaruh India untuk menunjukkan sebagai stimulus utama bukan untuk menunjukkan sebab terjadinya yang berlangsung sekejap yang merangsang timbulnya respon, kemudian berhenti atau tidak berkelanjutan. Stimulus atau tantangan itu tidak sederhana karena terdiri dari pengaruh berbagai lapisan kebudayaan India, terjadi rentangan waktu yang berabad-abad akan timbul rangsangan dan jawaban, kedua itu adalah faktor yang aktif walaupun pada awal aktivitas responnya pada awalnya tidak disadari dan bersifat aktif dan tertutup (convert) namun akan terjadi peningkatan pengaruh local genius, jika rangsangan luar mulai melemah. Bukti-bukti arkeologis yang berkaitan dengan aspek ikonografis serta arsitektual pada periode akhir abad XI hingga abad XV M, menunjukkan adanya relevansi teori local genius. untuk memahami terjadinya modifikasi kebudayaan dikawasan Asia Tenggara pada masa lampau.
Wales menyebutkan 3 kebudayaan di pinggiran (marginal culture) yang berkembang di 3 wilayah yaitu Sunda, Kalimantan Barat dan Bali sebelum masa Majapahit. Di tiga wilayah itu pengaruh kebudayaan India tidak cukup kuat sebagai stimulus, sehingga diwilayah pinggiran ini terjadilah kebangkitan kebudayaan pra Hindu, yang terpadu dengan sejumlah unsur kebudayaan India yang dipilih diambil, serta diubah menurut acuan budaya unsur setempat.
Teori Wales yang memasukkan daerah Sumatra ke dalam kawasan Greater India, karena tidak melihat adanya unsur lokal dalam bangunan yang bercorak Hindu. Dengan kata lain, di Sumatra tidak terjadi apa yang disebut sebagai Indo-Sumatra. Pendapat ini banyak mendapatkan sanggahan dan kritikan, diantaranya Bosch yang menyanggah pernyataan Wales yang meletakkan tekanan pada peranan para penerima dalam proses akulturasi. Bosch mengajukan pendapat tentang peranan kaum terpelajar Indonesia yang dianggap menentukan dan mempunyai peranan sangat penting. Orang Indonesia, setelah berkenalan dirumah sendiri mereka belajar di pusat-pusat kesenian di India dan Indonesia. Arus saling mempengaruhi itu tidak lagi satu arah, melainkan dua arah. Diyakini pula terdapat bakat kejeniusan orang-orang Indonesia yang berupa kemampuan untuk mengolah, mengubah sesuatu yang baru, yang menjadi dasar yang kuat bagi terjadinya perkembangan kesenian Jawa-Hindu.(Bosch, 1952)
Analisa Wales tentang kebudayaan Hindu di Sumatra, yang dimaksudkan dalam wilayah yang menanggung akibat akulturasi arus kuat ternyata memberikan bukti-bukti yang bertentangan dengan kesimpulannya. Cukup banyak bangunan di Jambi, Muara Takus, dan Pandana Lawas memperlihatkan gaya bangunan periode Jawa Timur. Demikian juga bangunan candi di Bali, seperti Gunung Kawi di Tapaksiring, memperlihatkan gaya bangunan periode Jawa Tengah(Soekmono, 1986). Apabila local genius menyangkut pula manusianya timbul keraguan dan memerlukan suatu penjelasan mengapa masyarakat di Sumatra dianggap hanya mampu meniru dan tidak menghasilkan bangunan yang memiliki unsure prasejarah. Beradasarkan gaya bangunan dan analisa fungsi aspek-aspek penting bangunan, seharusnya pendiri candi di Muara Takus, Biara Bahal, termasuk kategori Wales the craftsman who do the actual moulding ur reworking, in the light of local genius ( Wales, 1961)
Peran local genius dalam akulturasi dikupas dengan kritis oleh Koentjaraningrat (1986) terutama yang berkaitan dengan 2 buah konsep yang dipilih menjadi extreme acculturation dan local genius. akulturasi arus kuat, dimaksudkan proses penerimaan unsur-unsur kebudayaan dan kesenian India secara hampir utuh. Sedangkan local genius dimaksudkan faktor-faktor yang menyebabkan unsur-unsur kebudayaan dan kesenian India mengalami perubahan bentuk sifat dan konsepsinya. Wales menggunakan suatu konsep yang disebutnya “cultural characteristhic” yang berarti ciri-ciri yang terdapat pada unsur-unsur kesenian, yang semula menjadi pusat analisisnya. Lebih jauh Koentjaraningrat menyimpulkan bahwa pelaksanaan proses akulturasi secara konkret dilakukan oleh para cendekiawan, agamawan, para ahli bangunan, sastrawan lingkungan keraton dan diluarnya, para undagi, dengan memasukkan:
1.      Unsur-unsur kebudayaan India
2.      Konsultan India yang terdiri dari cendekiawan dan pedagang
3.      Pengalaman budayawan Indonesia di India
4.      Organisasi sosial
5.      Lingkungan alam
6.      Ekonomi nusantara sebagai variable yang terkait dalam proses
Akulturasi kebudayaan India dengan Indonesia (Koentjaraningrat, 1986). Pandangan yang kritis terhadap konsep local geniuss oleh Wales, secara rinci dikupas oleh Setyowati(1986), dengan ilustrasi arkeologis yang mencakup periode prasejarah dan klasik. Penelitian sejarah kesenian tidak hanya mencari perbandingan gaya, tetapi juga mencari hubungan dengan factor sejarah, kehidupan sosial, politik, ekonomi, dari masyarakat yang menghasilkan kesenian tersebut. Unsur kebudayaan dari luar masuk melalui difusi, baik lewat perdagangan, hubungan diplomatic dan hubungan keagamaan. Keberadaan orang India (Brahmana) di undang ke istana di Jawa, yang berperan sebagai penasehat. Proses itu berlaku untuk agama Hindu yang bersifat “Missionaris” seperti halnya agama Budha. Unsur kebudayaan dari luar dapat dimasukkan h\jika dianggap cocok dengan pola kebudayaan yang sudah ada. Oleh karena itu, local genius diartikan sebagai daya tranformasi yang kurang diberi identitas lokal, dan berupa daya untuk menciptakan sendiri. Ia mengusulkan istilah-istilah seperti Hindunisasi, Indianisasi dan Jawa Hindu, Indonesia Hindu ditinggalkan saja karena tidak ada kebudayaan yang hybrid melainkan hanya beberapa unsure yang diserap dalam kebudayaan setempat.(Setyowati, 1986)
Dari tinjauan kritis diatas, local genius dikemukakan oleh  Sedyowati(1986) yang membedakan pengertian local genius sebagai:
1.      Nilai konsep dan teknologi yang telah dimiliki suatu bangsa sebelum mendapatkan pengaruh asing.
2.      Daya yang dimiliki suatu bangsa untuk menyerap, menafsirkan, mengubah dan menciptakan sepanjang terjadinya “pengaruh asing”.
Dalam proses perkembangan kesenian, local genius dalam artinya yang pertama berperan sebagai pengaruh atau pembatas. Local genius dalam pengertian kedua, keduanya perlu dibahas dengan tujuan yang jelas. Dengan cara peninjauan yang manapun tentang local genius memerlukan langkah perbandingan yang meliputi peninjaun unsur kualitas dan fungsi.
Pengertian kepribadian dalam budaya bangsa, unsur yang paling berperan adalah kemampuan menciptakan bentuk budaya asli, menyerap dan mengolah unsur budaya luar sesuai dengan orientasi, persepsi, pola/sikap dan gaya hidup bangsa, kemudian mewujudkan sebagai kebudayaan nasional. Penciptaan, penyerapan, agama. Kesenian, mata pencaharian, sistem organisasi sosial dan sistem teknologi. (M.Habib Moestopo, 2003:11)
2.2 Perkembangan Budaya Indonesia pada abad 5-15
Dilihat dari hasil-hasil Kebudayaan
1. Candi
            Bangunan-bangunan pada zaman purba yang masih dapat kita jumpai, yang kini masih tertinggal sebagai peninggalan kebudayaan purba, hanyalah yang terbuat dari batu dan bata saja. Bangunan-bangunan ini semuanya sangat erat hubungannya dengan keagaaman yang bersifat suci. Bangunan-bangunan ini bisa seperti rumah-rumah yang terbuat dari kayu dan bambu sudah hilang tertelan oleh waktu.
            Bangunan-bangunan yang disebut candi. Perkataan ini berasal dari salah satu nama Durga sebagai dewa maut yaitu Candika (Soekmono,2002: 81). Jadi bangunan itu hubungannya ialah dengan Dewi Maut. Candi sebenarnya sebagai tempat memuliakan orang yang telah meninggal, khususnya untuk para raja-raja dan orang-orang terkemukan. Yang dikuburkan dalam bahasa Kawi Cinandi. Dalam arti bukan mayat ataupun abu jenazah melainkan bermacam-macam benda, seperti potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik, yang disertai dengan sajian-sajian. Benda-benda tersebut adalah pripih dan dianggap lambing-lambang jasmaniah dari sang Raja atau orang-orang terkemuka yang telah bersatu kembali dengan penitisnya.
            Mayat seorang raja yang meninggal dilakukan pembakaran yang nantinya abunya dibuang atau dihanyutkan ke laut. Dengan ini, upacara-upacara dilakukan untuk menyempurnakan roh agar dapat bersatu kembali dengan Dewa yang merintis menjelma didalam sang Raja itu, karena sang Raja dianggap sebagai wakil Dewa didunia. Upacara yang terakhir adalah upacara Craddha untuk melepas roh dari segala ikatan keduniawian yang menjadi penghalang terakhir untuk bersatunya kembali rohnya dengan Dewa penitisnya. Sebagai lambing jasmaniah dibuatkanlah boneka dari daun-daunan yang disebut Puspacarira, sebagai penutup upacara  Craddha maka Puspacarira ini dihanyutkan ke laut.
            Lepasnya sang Raja dari alam kemanusiaan dan menjadi Dewa, didirikanlah sebuah bangunan untuk menyimpan pripih dan diatas pripih diletakkan didalam sebuah peti batu yang petinya diletakkan dalam dasar bangunannya. Disamping itu, dibuatkanlah sebuah patung yang mewujudkan sang raja sebagai Dewa dan patungnya menjadi sarana pemujaan bagi mereka yang hendak memuja sang Raja. Candi sebagai semacam pemakaman dalam istilah pendarmaan. Ini hanya terdapat dalam agama Hindu. Candi-candi agama Budha dimaksudkan sebagai tempat pemujaan Dewa saja. Abu jenasah juga dari para Bhiksu yang terkemuka ditanam sekitar candi dalam bangunan stupa. Disini Bahwa arca perwujudan yang melukiskan sang Raja kembali lagi menjadi Dewa setelah kematiannya dan arca itu menjadi utama didalam candi, umumnya adalah arca Siwa yang berupa lingga saja yang merupakan lambing Siwa. Ada juga arca perwujudan berupa Dewa Budha, tetapi dalam hal ini agamanya bukanlah agama Budha yang sesungguhnya menlainkan Tantrayana.
            Perbedaan-perbedaan yang terpenting pada candi dari kedua macam langgam sebagai berikut:
Langgam Jawa Tengah
1.      Bentuk bangunan tambun
2.      Atapnya nyata berundak-undak
3.      Puncaknya berbentuk ratna atau stupa
4.      Gawang pintu dan relung berhiaskan kala makara
5.      Reliefnya timbul agak tinggi dan lukisan-lukisannya naturalistis
6.      Letak candi ditengah halaman
7.      Kebanyakan menghadap ke timur
8.      Kebanyakan terbuat dari batu andesit
Langgam Jawa Timur
1.      Bentuk bangunan ramping
2.      Atapnya merupakan perpaduan tingkatan
3.      Puncaknya berbentuk kubus
4.      Makara tdak ada dan pintu serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kala.
5.      Reliefnya timbul sedikit saja dan lukisannya sombolis menyerupai wayang kulit
6.      Letak candi dibagian belakang halaman
7.      Kebanyakan menghadap ke barat
8.      Kebanyakan terbuat dari bata
Candi-candi jenis Jawa Tengah utara yang terpenting sebagai berikut:
·         Candi Gunung Wukir dekat Magelang yang berhubungan dengan prasasti Canggal tahun 732 M.
·         Candi Badut di Malang yang berhubungan dengan Prasati dinoyo
·         Kelompok candi Dieng yang terdiri atas berbagai candi yang oleh penduduk diberi nama-nama wayang, seperti: Bimam Samiaji, Arjuna, Gatotkaca, Semar, Srikandi, Dwarawati, didekat candi Arjuna didapatkan sebuah prasasti dati tahun 809.
·         Kelompok candi Gedong Songo dilereng Gunung Ungaran.
Candi-candi jenis Jawa Tengah Selatan yang terpenting sebagai berikut:
·         Candi Kalasan dekat Yogyakarta yang didirikan tahun 778
·         Candi Sari dekat candi Kalasan
·         Candi Borobudur yang bentuk dasarnya merupakan punden-punden berundak-undak itupun disesuaikan dengan agama Budha Mahayana yang menggambarkan:
Ø  Kamadatu (bagian kaki yang tertimbun dan tertutup oleh susunan batu-batu rata)
Ø  Rupadatu ( bagian yang terdiri atas lereng-lereng dengan pagar-pagar dan penuh hiasan serta relief-relief yang seluruhnya sampai 4km panjangnya, diantaranya melukiskan Lalitavistara)
Ø  Arupadatu ( bagian anats yang terdiri atas batu-batu bundar, dengan lingkaran-lingkaran stupa dan tidak ada hiasan)
Ø  Puncak berupa stupa yang besar. Arca Budha berjumlah 505 buah yang berada di Borobudur
·         Candi Mendut disebelah timur Borobudur yang didalamnya memuat 3 arca batu besar sekali yaitu Budha diapit oleh Padmapani dan Wajrapani.
·         Kelompok candi Sewu, didekat Prambanan yang terdiri atas sebuah candi induk dikelilingi oleh kurang lebih 250 bauh candi-candi perwara yang tersusun dalam 4 baris.
·         Kelompok candi Plaosan, disebelah timur candi Sewu yang terdiri atas 2 buah candi induk, dikelilingi oleh 2 baris stupa dan 2 baris andi Perwara.
·         Kelompok candi Loro Jonggrang di desa Prambanan, susunannya candi induk untuk Siwa diapit oleh candi-candi untuk Brahmana dan Wisnu dan dengan beberapa candi perwara lainnya merupakan pusat kelompok yang dikelilingi oleh lebih dari 200 buah candi perwara yang tersusun menjadi 4 baris.
Candi-candi Jawa Timur yang terpenting sebagai berikut:
·         Candi Kidal Malang, candi Aruspati
·         Candi Jago, dekat Malang, candi Wisnumardhana
·         Candi Singosari, dekat Malang, candi Kertanegara
·         Candi Jawi dekat Prigan, candi Kertanegara sebagai Siwa-Budha
·         Candi Penataran dekat Blitar yang halamannya terbagi atas 3 bagian, sedangkan candi induknya terletak dibagian belakang.
·         Candi Jabung dekat Kraksaan, berupa bangunan stupa yang besar dan tinggi
·         Kelompok candi Muara Takus, dekat Bangkinang yang tertinggi atas beberapa bangunan, diantaranya yang masih tegak sebuah stupa yang bulat tinggi
·         Kelompok candi-candi tua dekat Padang Sidempuan yang terletak dari berbagai ( blora ) sebagai candi-candi induk yang letaknya tersebar dan berjauhan dari arca-arca dan tulisan yang didapatkan diketahui dengan jelas sifat-sifatnya Tantrayana.
Bangunan yang sebagai patirtan adalah:
·         Jolo Tundo letaknya dilereng gunung Penanggungan di Mojokerto
·         Belahan (Sumber Tetek) letaknya dilereng gunung Penanggungan.
Dalam mitologi India, Laksmi adalah sakti atau istri Dewa Wisnu. Jika Raja Airlangga itu benar diarcakan sebagai Dewa Wisnu di Belahan maka arca yang terdapat dibelahan seperti Dewi Laksmi dan Dewi Sri itu melambangkan 2 istri Raja Airlangga yang memakai prabha adalah sang permaisuri, puteri Raja. Dharmawangsa yang lain adalah selirnya, mungkin sekali Ibu Sri Maharaja Garasakan.(Slamet Mulyana, 2006: 39)
2. Patung Dewa
            Didalam candi induk terdapat patung dan patung ini berbentuk arca, bentuk dari bersatunya arca dengan dewa penitisnya. Dengan demikian seni pahat patung itu berhubungan dengan keagamaan. Patung dewa dan dewi pun bermacam dengan cirri yang berbeda-beda dan maknanya tanda-tanda khusus ini dinamakan laksana atau cirri.
            Patung Dewa-dewa agama Hindu:
·         Siwa sebagai Mahadewa laksana : Ardhacandrakopala yaitu bulan sabit dibawah tengkorak, terdapat makala pada mahkota, mata ketiga di dahi; Upawita ular naga; celana kulit harimau yang dinyatakan dengan lukisan kepala serta ekor harimau pada kedua pahanya; tangannya 4 masing-masing memegang camara(penghalau lalat), aksamala(tasbih), kamandalu (kendi berisi air kehidupan) dan trisula(tombak ujungnya bercabang Siwa)
·         Siwa sebagai Mahaguru atau Mahayogi : kamandalu dan trisula, perut gendut, berkumis panjang, berjanggut runcing.
·         Siwa sebagai Bhairawa lebih menakutkan, berhiaskan rangkai tengkorak, tangan satunya memegang mangkou dari tengkorak dan tangan lainnya sebuah pisau, kendaraannya bukan nandi melainkan serigala, sering pula dilukiskan berdiri diatas bangkai dan lapik dari tengkorak-tengkorak. Siwa sebagai Bhairawa berada di Singosari.
·         Durga isteri Siwa, biasanya dilukiskan sebagai Mahisasuramardini. Berdiri atas seekor lembu yang ditaklukkan, lembu ini penjelmaan raksasa (Asura) yang menyerang kahyangan dan dibasmi Durga. Durga bertangan 8, 10 atau 12 amsing-masing tangan memegang senjata. Durga Mahisasuramardini ada di arca Prambanan yang disebut-sebut sebagai Loro Jonggrang.
Anak Siwa ada 2, yaitu:
1.      Ganesa, Dewa yang berkepala gajah dan disembah sebagai Dewa ilmu pengetahuan dan Dewa penyingkir rintangan.
2.      Kartikeya (Skanda atau Kumara) kedudukannya sebagai Dewa Perang.
3.      Wisnu laksana adalah bertangan 4, yang masing-masing memegang gada, cakra, dan buah atau kuncup teratai. Kendaraannya adalah garuda, istrinya adalah Sri dan Laksmi (Dewi Rahagian)
4.      Brahmana laksana digambarkan kepala 4 atau bermuka 4, tangannya 4 dan yang 2 dibelakang memegang aksamala dan camara. Kendaraannya angsa dan istrinya adalah Saraswati (Dewi Kesenian dan kecantikan)
5.      Dewa Kuwera yaitu yang digambarkan duduk diatas karung harta yang dikelilingi oleh periuk-periuk berisi harta.
Didalam agama Budha kita kenal akan adanya Dhyani Budha, Manusi Budha dan Dhyani Bodhisatwa. Dewa yang dilukiskan oleh sesuatu arca Budha hanyalah dapat diketahui dari Mudra (sikap tangannya). Demikianlah:
·         Wairocana, penguasa timur, mudranya dharmacakra yaitu sikap tangan memutar roda dharma
·         Aksobhya, penguasa timur, mudranya bhumisparca yaitu sikap tangan memanggil bumi sebagai saksi (waktu Budha digoda oleh Mara dibawah pohon Bodhi)
·         Amoghasidi, penguasa utara Mudra Abhaya yaitu sikap tangan menentramkan
·         Amitabha, penguasa barat, Budha dunia sekarang, mudranya yaitu sikap tangan bersemedi
·         Ratnasambawa, penguasa selatan, mudranya Wara yaitu sikap tangan memberi anugerah
Para Bodhisatwa selalu digambarkan berpakaian kebesaran seperti Raja laksana untuk Awalokitecwara ialah sebuah arca Amitabha di mahkotanya sebagai Padmapani memegang sebatang bunga teratai merah ditangannya, laksana Maitreya sebuah stupa dimahkotanya.
3. Seni Ukir
            Hasil dari seni ukir ini terutama sekali berupa hiasan-hiasan yang mengisi bidang pada dinding-dinding candi yang menjadi pola hias yang berupa makhluk ajaib dan tumbuh-tumbuhan, sesuai dengan suasana Gunung Mahameru. Diantara makhluk-mkhluk ajaib itu yang selalu terpancang pada ambang atas pintu atau relung adalah kepala kala yang juga disebut Banaspati ( raja hutan). Pada candi-candi Jawa Tengah, Banaspati ini dirangkai dengan makara. Makara ini menghiasi bagian bawah kanan kiri pintu relung. Makara adalah semacam ikan yang mulutnya menganga, sedangkan bibir atasnya melingkar keatas seperti belalai gajah yang diangkat. Terdapat hiasan gambar pohon, kebanyakan pohon-pohon itu melambangkan kalpataru atau Parijata yaitu pohon yang dapat memberi segala apa yang diinginkan dan diminta manusia.
            Macan hiasan bukan sebagai penghias semata atau pengisi bidang belaka, adalah relief-relief melukiskan suatu cerita. Cerita-cerita ini yang diambil dari kitab-kitab kesusasteraan seperti Ramayana dan dari kitab-kitab keagamaan (seperti Karmawibangga, Kunjarakarna) relief cerita yang paling penting sebagai berikut:
·         Candi Borobudur
Karmawibangga yang menggambarkan perbuatan manusia serta hukuman-hukumannya, terdapat dibagian kaki yang ditimbun: lalitawistara, cerita riwayat Budha Gautama sejak lahir sampai mendapat Bodhi terdapat pada tembok lorong pertama Gandayuha yang menceritakan Sudhana berusaha mencari ilmu yang tertinggi: terdapatnya pada dinding lorong kedua dan seterusnya.
·         Kelompok Loro Jonggrang
Ramayana terdapatkan pada langkan candi Siwa dan diteruskan pada langkan candi Brahmana. Kresnayana terdapat pada langkan candi Sewu.
·         Candi Jago
Kresnayana Pathayajna dan Kunjarakarna pada relief-relief ini untuk pertama kalinya kita jumpai tokoh-tokoh Punakawan, yaitu berjuang menjadi pelawak, yang selalu menyertai seorang Ksatria.
·         Candi Penataran Ramayana dan Kresnayana.
·         Candi Surowono Arjunawiwaha.
4. Kesusasteraan
            Dalam gambaran beberapa susasteraan pada masa itu. Perkembangannya zaman dapat dibedakan menjadi zaman Mataram (sekitar abad ke-9 dan 10). Zaman Kadiri (sekitar abad 11 dan 12), zaman Majapahit I (sekitar abad ke-14), zaman Majapahit II (sekitar abad 15 dan 16). Adanya 2 zaman Majapahit itu berdasarkan atas bahasanya yang dipakai sampai dengan zaman Majapahit I bahasanya adalah bahasa Jawa Kuno dan sesudah itu bahasanya adalah bahasa JAwa Tengahan. Termasuk zaman Majapahit II juga adalah hasil kesusasteraan yang berkembang di Bali ( zaman kerajaan Samparangan-Gelgol).
            Dilihat dari bentuk yang berubah hasil-hasil kesusasteraan zaman purba itu ditulis sebagai gancaran (prosa) dan tembang (poesi). Sebagian yang terbesar adalah tembang. Tembang Jawa kuno umumnya disebut Kakawin, sedangkan tembang Jawa Tengahan dinamakan kidung. Irama Kakawin diturutkan kepada irama India dan irama kidung adalah irama yang berkembang kemudian dan terdiri atas tengahan dan macapat.
            Tentang Wiracarita perlu diketahui, bahwa menjadi sumber dan bahan adalah kitab-kitab India yang di Indonesia sudah tidak dirasakan sama sekali oleh bangsa asing yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua Wiracarita ini pula yang menimbulkan berbagai macam cerita lainnya yang masing-masing berdiri sendiri sebagai suatu cerita yang bulat. Ini sebenarnya tidaklah lain dari gubahan baru yang berdasarkan sesuatu peristiwa yang terdapat dalam kitab induknya.
            Berhubungan dengan kenyataan ini maka sebelum kita meninjau hasil-hasil dari kesusasteraan Jawa Kuno, isi kitab Ramayana dan Mahaberata sebagai berikut:
·         Ramayana
Kitab yang dikarang oleh Walmiki disekitar permulaan Tarikh Masehi terdiri atas 7 jilid (kanda) dan digubah dalam bentuk syair sebanyak 24.000 sloka. 7 tanda itu :
Ø  Bala Kanda
Di negeri Kasala dengan idukotanya Ayudhya memerintah raja Dasaratha mempunyai 3 orang istri: Kausaliya yang beranak Rama(anak tertua), Kaikeji yang beranak Bharata dan Sumitra yang beranak Laksamana dan Catrughra. Dalam Swayamwara di Wideha, Rama berhasil memperoleh Sita, anaknya Janaka sebagai istri.
Ø  Ayodhya Kanda
Dacaratha merasa sudah tua hendak menyerahkan tahtanya kepada Rama. Datanglah Kaikeji yang memperingatkan Dacaratha bahwa ia masih atau dua permintaan yang harus dikabulkan oleh sang Raja. Maka permintaan Kaikeji yang pertama ialah supaya bukan Rama melainkan Bharatalah yang harus menaiki tahta kerajaan permintaan kedua ialah supaya Rama dibuang ke hutan selama 14 tahun.
Dacaratha memang terikat oleh janji, tak mungkin ia menolak permintaan istrinya itu. Ia sangat bersedih hati, sebaliknya Rama dengan sangat ikhlas hati bersedia melepaskan haknya atas kerajaan dan pergi ke hutan selama 14 tahun. Rama diikuti oleh istrinya Laksmana, meninggal Ayudhya dan tak lama Dacaratha meninggal. Bharata tidak mau dinobatkan menjadi menjadi raja, ia mencari kakaknya, Rama dihutan. Dan Bharata membujuk kakaknya tetapi Rama tetap dengan pendiriannya sebagai mengembara selama 14 tahun. Pulanglah Bharata ke Ayodhya dengan membawa Rama dan Ramalah yang menjadi raja yang sah.
Ø  Aranya Kanda
Didalam hutan, Rama seringkali membantu para petapa yang tidak habis-habisnya diganggu oleh raksasa. Suatu ketika dia bertemu dengan raksasa perempuan Curpanakha namanya yang jatuh cinta kepada Rama tapi oleh Laksmana dipotong telinga dan hidungnya. Curpanakha mengadukan penghinaan kepada kakaknya Rawana seorang raja raksasa berkepala 10 memerintah di Alengka. Diceritakan betapa cantiknya istri Rama.
Rawana pergi ke tempat Rama untuk balas dendam atas penghinaan adiknya dengan menculik Sinta. Marica teman dari Rawana yang menjadi kijang emas yang erlari-lari kecil didepan Rama. Sinta tertarik dan meminta suaminya agar menangkap kijang itu. Kijang itu tidak sejinak apa yang dilihat oleh Rama dan makin lama menjauh dari tempat tinggalnya/ akhirnya kijanu itu dipanah, seketika kijang itu menjelma menjadi raksasa dengan menjerit keras. Jeritan itu diartikan Sinta suara Rama maka disuruhlah Impar untuk member pertolongan Sinta pun tinggal sendirian. Datang seorang Brahmana memberi nasi direnggutlah tangan itu oleh Brahmana yang ternyata adalah Rawana dan Sinta dibawa terbang.
Rama pulang dengan adiknya menumpai Sinta tidak ada dan mereka mencari jejak Sinta dalam pengembaraannya mereka bertemu Jatayu bekas kawan baik raja Dacaratha. Ketika Rawana membawa Sinta, Jatayu mencoba  mencegahnya, dalam pertempuran itu Jatayu kalah. Setelah memberikan penjelasan Jatayu mati.
Ø  Kiskindha Kanda
Secara garis besar Rama bersekutu dengan Sugriwa raja kera, disini Rama membantu Sugriwa merebut kekuasaannya di Walin dengan panahnya Rama. Tentara-tentara kera berangkat ke Alengka, Alengka memisahkan dari Darata India dan dicari akal untuk menyeberangi lautan itu,
Ø  Sundara Kanda
Hanoman, kera kepercayaan Sugriwa dan anak Dewa Mata Angin mendaki gunung Mahendra, meloncat menyeberangi lautan dan tibalah di Alengka. Seluruh Alengka dijelajah sampai dalam istana Rawana sendiri akhirnya dia juga menemukan Sinta tapi Hanoman ditangkap oleh tentara Alengka diikat erat kemudian dibakar. Hanoman loncat kerumah-rumah dengan ekornya yang menyala dan timbul kebakaran di kota. Rama dengancepat menyusul Hanoman setelah itu Hanoman menghadap Rama memberikan laporan.
Ø  Yudha Kanda
Dengan bantuan Dewa Laut, tentara kera berhasil membuat jembatan ke Alengka. Rawana mengetahui kalau negara terancam musuh, menyusun pertahanan Aditya Wibhisono menasehati untuk mengembalikan Shinta kepada Rama tidak usah berperang, langsung diusir adiknya dari Alengka. Dia pun bersekutu dengan Rama. Pertempuran kerajaan sengit, Indrajit dan Kumbhakarna gugur. Rawana turun dan gugur juga. Dengan kemenangan ini Wibhisana dijadikan raja di Alengka. Rama bertemu denga istrinya. Rama pun tak mau kembali dengan Shinta, dia meragukan kesuciannya namun Shinta disuruh terjuan ke api unggun nampaklah Dewi Agni menyerahkan Sinta ke Rama. Akhirnya Rama tidak ragu lagi karena kesucian permaisuri ahrus terbukti dihadapan rakyatnya. Rama dan Shinta beserta adiknya kembali ke Ayodhya. Mereka disambut oleh Bharata yang segera menyerahkan tahta kerajaan kepada Rama.
Ø  Uthara Kanda
Dua pertiga dari buku ini isinya berbagai macam cerita yang tidak ada hubungannya dengan riwayat Rama.
·         Mahabarata
Kitab yang terdiri dari 18 jilid (parwan) dan digubah dalam bentuk syair sebanyak 100.000 sloka. Cerita pokok 24.000 yang sebagian besar menceritakan peperangan sengit selama 18 hari antara para Pendawa dengan Kurawa. Maka nama selengkapnya dari kitab itu ialah Mahabharatayudha yang berarti peperangan besar dalam keluarga Bharata. 18 jilid itu sebaagi berikut:
1)      Adi Pawah
2)      Sabha Parwan
3)      Wana Parwan
4)      Wirata Parwan
5)      Udyaga Parwan
6)      Bhisama Parwan
7)      Drana Parwan
8)      Karna Parwan
9)      Calya Parwan
10)  Souptika Parwan
11)  Stri Parwan
12)  Cantri Parwan
13)  Anucasana Parwan
14)  Acwamedika Parwan
15)  Acramawasika Parwan
16)  Mausala Parwan
17)  Mahaprasthanika Parwan
18)  Swagrahana Parwan
Kejayaan seni satra Jawa Kuno berlangsung didalam zaman Kediri. Hasil-hasilnya terutama sekali berupa Kakawin yang terpenting diantaranya ialah:
1.      Arjunawiwaha, karangan Mpu Kanwa
2.      Kresnayana, karangan Mpu Triguna
3.      Sumasanlaka, karangan Mpu Managuna
4.      Smaradhana, karangan Mpu Dharmaja
5.      Bharayudha, karangan Mpu Sedag dan Mpu Panuluh (tahun 1157)
6.      Hariwangsa, karangan Mpu Panuluh
7.      Wrttasancaya, karangan Mpu Tanakung
8.      Ludhaka, karangan Mpu Tanakung (sesudah sezaman dengan Ken Arok)
Hasil-hasil kesusasteraan zaman Majapahit I yang terpenting adalah:
1.      Nagarakratagama, karangan Mpu Prapanca tahun 1365 M
2.      Sutasoma, karangan Mpu Tantular
3.      Arjuna Wiwaha, karangan Mpu Tantular
4.      Kunjarakarna
5.      Parthayajna
Hasil-hasil kesusasteraan zaman Majapahit II (bahasa Jawa Tengahan) yang ditulis dalam bentuk tembang dan ada pula yang gancaran. Yang terpenting diantaranya ialah:
1.      Tantu Pagelaran
2.      Calon Arang
3.      Kurcwasrama
4.      Bubhuksah
5.      Pararaton
6.      Sudayana
7.      Panji Wijayakrama
8.      Ronggo Lawe
9.      Surandaka
10.  Pamancangah
11.  Usana Jawa
12.  Usana Bali
Sementara itu India mengalami perkembangan kebudayaan yang sangat pesat akibatnya bercampurnya bangsa serta kebudayaan Dravida, Arya dan Yunani sehingga kebudayaan-kebudayaan di Asia Tenggara ketinggalan. Kolonialisasi dari India atau penanaman kebudayaan India di Indonesia. Dalam proses meresapi kebudayaan Indonesia dengan anasir-anasir India, orang Indonesia yang aktif, kebudayaan Indonesia mempunyai corak kehidupan itu kira-kira pada abad ke 5. Akan tetapi dalam waktu beberapa abad pertamanya pengaruh-pengaruh India sudah tinggal sebagai ulasan saja. Kebudayaan Indonesia sudah mendapatkan kepribadian sendiri didalam keadaan yang telah berubah itu.
Prasasti raja Mulawarman menunjukkan proses peng-Hinduan: huruf yang dipakai huruf Pallawa bahasa Sansekerta keturunan Kudungga (nama Indonesia asli) menjadi nama Mulawarman (nama sansekerta) dan untuk upacara-upacara didatangkan Sriwijaya dari abad ke-7 sudag ditulis dalam bahasa Melayu Kuno. Huruf Pallawa segera di Indonesiakan menjadi huruf Kawi. Sejak prasasti Dinoyo huruf Kawi menjadi huruf yang dipakai di Indonesia dan menjelang akhir abad ke 8 bahasa berganti dari Sansekerta ke Kawi dan disini dimulainya pemakaian bahasa dan huruf Kawi.
Dalam hal seni bangunan tidak terpisahkan dari soal keagamaan. Candi bukan kuil tempat orang memuja Dewa seperti India, akan tetapi lebih tepatnya bertemunya rakyat dengan roh nenek moyang. Candi dengan patung induknya yang menjadi arca perwujudan bagi raja yang telah meninggal mengingatkan kita kepada punden-punden berundak, hanyalah punden ini diberi Mahayana. Juga maknanya yaitu untuk memuliakan arwah raja-raja Syailendra yang terdahulu ditemukan pula dalam pola-pola Mahayana tidak berbeda dengan maksud punden-punden berundak nyata benar-benar sifat Indonesia.  Dalam satu kesusasteraan dan cerita yang dihidangkan didalamnya kelihatan betul hasil pengolahannya oleh bangsa Indonesia. Gatotkaca sudah kita ketahui tampilnya tokoh-tokoh Punakawan yang ada India yang sama sekali tidak dikenal. Bahkan patung atau arca Dewi Sri yang berada yang berada di Belahan juga tidak dikenal di India.












BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pertama Indonesia pada masa peralihan dari zaman prasejarah ke sejarah karena sudah ada peninggalan tertulis. Indonesia cara penyerapan budaya India dengan mengadopsi secara langsung tanpa ada filter dari budaya lokal. Dalam berjalannya waktu, dari tingkatan secara adopsi akan berjalan terus ke adaptasi dan mulai muncul kepribadian bangsa itu disebut Wales local genius. Peran-peran dari nilai lokal yang mulai muncul, itupun tidak dipungkiri kalau kebudayaan India sebagai perangsang dalam munculnya budaya kepribadian bangsa Indonesia. Dalam perkembangannya selama abad ke-15 Hindu, kebudayaan Indonesia memang mengalami perubahan-perubahan yang tidak sedikit serta kemajuan-kemajuan yang luar biasa, tetapi itu hanyalah menuju kearah terwujudnya kebudayaan Indonesia yang baru.












DAFTAR RUJUKAN

Bramantyo, Goenadi. 1998. Perwara Sejarah. Malang : IKIP Malang
Habib Mustopo, dkk. 2003. Sejarah dan Budaya dari Masa Kuno sampai Kontemporer. Malang: UM Press
Hariyanto. 2004. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Malang: UM Press
Mulyana, Slamet. 2006. Tafsiran Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: LKiS
Notosusanto, Nugroho. 2006. Sejarah Nasional II. Jakarta: Balai Pustaka
Soekmono. 2002. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta : Kanisius
Wojowasiro. 1976. Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Bandung: Shinta Dharma





Tidak ada komentar:

Posting Komentar