BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
India mempunyai peranan besar dalam
pengaruh kebudayaan di Asia Tenggara, terutama yang sangat kuat yaitu terhadap
Indonesia dapat dilihat kemegahan peninggalannya yang sebagian besar gaya
bangunan, bahasa, huruf dan keyakinan terpengaruh oleh India. India sendiri
pada sekitar abad (330-180 SM) kepemimpinan Kaisar Murya dan daerahnya lembah
sungai Gangga di India Utara, terbentang sampai Badhiria Yunani dibarat pantai
dan pantai timur sampai muara sungai Kishna dan Gadawantridisebelah selatan.
Pusat kekuasaan terletak di Patana disebelah sungai Gangga. Puncak kejayaan
pertengahan abad III SM pemerintahan Asoka. Dengan ini perdagangan di India
mulai ramai bahkan India dan Cina sudah ratusan tahun SM. Adanya hubungan itu
memberi dampak adanya saling interaksi dengan pihak luar dan kebudayaan mulai
menyebar.
Dengan masuknya orang-orang India
ini Indonesia yang dulunya masih prasejarah. Kebudayaan mulai mendapat pengaruh
asing. Di kawasan Indonesia ini ada 2 kemungkinan apakah budaya India sebagai
akulturasi ekstrem yaitu dapat dijelaskan pengaruh asing telah menghilangkan
karakter atau ciri asli masyarakat tersebut atau budaya India-Indonesia mengalami
akulturasi lunak ini, unsur kebudayaan yang telah dimiliki masih bertahan,
karena faktor yang disebut karakter atau ciri masyarakat sendiri. Disini apakah
kebenaran bahwa pertama kebudayaan Indonesia mengadopsi dari India sepenuhnya,
lama kemudian masyarakat Indonesia berkembang memunculkan budaya yang bercorak
Indonesia asli. Dengan ini telah mengubah pola kehidupan masyarakat dikawasan
Indonesia terutama dalam kehidupan politik, agama, sosial dan budaya.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Indianisasi
di Asia Tenggara dalam konteks sebagai perubahan budaya di Indonesia pada abad
5-15 ?
2.
Bagaimana perkembangan
budaya Indonesia pada abad 5-15 ?
1.3 Tujuan Penulisan Masalah
1.
Mendiskripsikan
Indianisasi di Asia Tenggara dalam bentuk konteks sebagai perubahan budaya di
Indonesia pada abad 5-15.
2.
Mendiskripsikan
perkembangan budaya Indonesia pada abad 5-15.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Indianisasi di Asia Tenggara dalam bentuk
konteks sebagai perubahan budaya di Indonesia pada abad 5-15.
Dengan
adanya pengaruh-pengaruh dari India itu mulai berakhirnya zaman prasejarah
Indonesia, karena beberapa keterangan tertulis yang memasukkan bangsa kita ke
dalam zaman sejarah. Keterangan-keterangan tertulis itu berupa batu-batu
bersurat, yang terdapat di wilayah Kutai (Kalimantan Timur) dan di Jawa Barat.
Tulisan yang dipakai adalah huruf Pallawa yaitu huruf yang lazim dipakai di
India Selatan antara abad ke 3 sampai ke 7. Bahasa yang digunakan adalah bahasa
Sansekerta yang pada masa itu dipakai di India, yang diubah dalam bentuk syair.
Maksudnya dari tujuan piagam-piagam itu terutama memuji kebesaran sang Raja
yang memerintah pada masa itu dan melaksanakan sesaji secara besar-besaran
menurut upacara Hindu untuk keselamatan dan kesejahteraan kerajaan serta
rakyatnya. Kepentingan legitimasi seperti pada tulisan Prasasti yang
menyebutkan silsilah Mulawarman raja terbesar didaerah Kutai purba itu. Berbunyi
sebagai berikut:
Sang
Maharja Kudunga yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, sang Asmawarman
namanya seperti Sang Asuman (dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat
mulia. Sang Asmawarman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci). Tiga yang
terkemuka dari tiga putra itu ialah Sang Mulawarman yang telah mengadakan
kenduri (selamatan) emas-amat-banyak-buat peringatan kenduri (slametan) itu
tugu batu ini yang didirikan oleh para Brahmana.(Marwati Djoened Poeponegoro,
Nugroho Notosusanto, SNI II)
Dari keterangan itu nyata bahwa
kebudayaan Indonesia telah mengalami suatu perubahan dari zaman prasejarah ke
zaman sejarah. Pengaruh Hindu bukan saja mengantarkan bangsa Indonesia memasuki
zaman, tetapi menyentuh semua aspek ekonomi, social, budaya dan bentuk
pemerintahan. Bidang ekonomi dengan adanya pengaruh kasta membuat ada pembagian
pekerjaan. Dalam social kasta pun berpengaruh adanya tingkatan status sosial.
Dalam budaya dari tidak mengenal tulis dan mulai mengenal tulisan berupa huruf Pallawa.
Bentuk pemerintahan dari suku-suku menjadi timbulnya kedudukan raja dan bentuk
pemerintahan kerajaan. dengan terjadinya ini otomatis penghidupan dan adat
kebiasaan akan berubah.
Berhubungan dengan terjadinya pada
masa itu, maka pentinglah bahwa kita terlebih dahulu meninjau sejarah
kebudayaan India. Meskipun hanya dengan singkat dan terbatas kepada mana-mana
yang perlu untuk Indonesia saja. Didalam soal keagamaan dan pandangan hidup,
oleh karena itu keduanya inilah menjadi stimulus dan bahkan yang menentukan
corak serta sifatnya bagi penjelmaan-penjelmaan kebudayaan yang dilahirkan oleh
masyarakat pendukungnya. Inilah yang akan nantinya mempengaruhi dan menentukan
arah perkembangan selanjutnya dari kebudayaan Indonesia selama zaman
prasejarah.
Di kepulauan di Indonesia namun
dalam kawasan ini menghadapi sebuah kenyataan terjadinya perbedaan dalam
berbagai aspek budaya yang memperlihatkan akan pengaruh kebudayaan India dalam
kadar serta mutu yang mengalami keberagaman itu walaupun pengaruh utamanya itu
berasal dari India. Dalam melihat dari masalah pengaruh India di kawasan Asia
Tenggara itu, ia melihat sebagai proses akulturasi atau proses Indianisasi
itupun terjadi. Di Indonesia dan menurut Wales membedakan dua macam akulturasi
yaitu akulturasi yang ekstrem dan akulturasi yang lunak.
Pengertian ekstrem dalam hubungan
akulturasi itu, diakuinya mengandung makna yang relative, karena tidak
menggambarkan suatu prosesnya yang disentri pemaksaan. Akibat dari terjadinya
pemaksaan, akulturasi ekstrem pun disebut-sebut awal local genius. Sedangkan akulturasi yang lunak, digambarkan sebagai
suatu proses Indianisasi yang merangsang dan menimbulkan tumbuhnya kebudayaan
yang bercorak Hindu dengan ciri khas budaya setempat. Di kawasan yang mengalami
akulturasi lunak ini. Unsur kebudayaan yang telah dimiliki, masih bertahan,
dikarenakan oleh faktor yang disebut local
genius.
Pengertian local genius yang digunakan oleh Wales, diakui sebagai konsep yang
diilhami oleh Kardiner. Berdasarkan analisa berbagai ragam kebudayaan yang
dimiliki oleh masing-masing individu. Kardiner menunjukkan apa yang disebut
kepribadian dasar (basic personality)
yang dimiliki masing-masing kebudayaan yang dimaksud dasar itu tidak merujuk
asal-usul yang digunakan oleh Herodotus dengan istilah National Character. Dengan kata lain local genius adalah sejumlah ciri-ciri yang khas yang dimiliki oleh
segenap masyarakat secara bersama sebagai hasil pengalaman masa lalu atau
sejarahnya.
Terjadinya akulturasi lunak unsur
lokal tersebut tetap bertahan sebagai sesuatu yang akan menentukan jawaban
terhadap kebudayaan baru serta memberikan arah terjadinya evolusi yang
berkelanjutan. Pengaruh kdbudayaan yang berasal dari luar tidak sampai
menghilangkan aspek budaya yang lebih dulu hidup dalam masyarakat. Penerapan
konsep dari Wales yaitu local genius itu
akan menghasilkan suatu interpretasi mengenai peranakan masyarakat penerima
unsure kebudayaan baru sebagai variasi yang harus dimasukkan. Untuk memiliki
unsur-unsur budaya yang menjadi sumber daya dalam menggarap dan mengubah
kebudayaan yang bermuatan jati diri bangsa.
Untuk mendukung teori 2 macam
akulturasi itu, Wales membagi daerah kawasan pengaruh kebudayaan Hindu di Asia
Tenggara, menjadi 2 yaitu sebagai berikut :
1.
Kawasan barat, meliputi
Srilangka, Myanmar, Muangthai Tengah, Semenanjung Melayu dan Sumatra. Di
kawasan ini terjadi akulturasi arus kuat, yang berakibat tenggelamnya unsure
“pribumi” sementara itu kebudayaan India pun tampak sangat dominan di kawasan
ini secara rinci ditunjukkan pengaruh kebudayaan Gupta, Pallawa dan Pala yang
bercorak Budhis.
2.
Kawasan timur, meliputi
kawasan budaya Jawa, Campa dan Kampuchea (Khmer). Di kawasan ini terjadinya
akulturasi arus lemah, oleh karena itu, disini digambarkan bahwa pengaruh
kebudayaan Hindu tidak berhasil menghilangkan unsur budaya ‘pribumi” dan dalam
beberapa hal. Unsur pribumi tersebut tampak menonjol. Misalnya dalam hukum
adat, religi dan kesenian. Di kawasan timur itu, ditunjukkan proses pemudaran
unsur kebudayaan. Walaupun demikian masih tampak adanya perbedaan yang
berkaitan dengan factor local genius,
karena adanya intensitas yang berbeda pula mengenai unsure local genius di kawasan itu.
Dari
perjalanan Wales ingin membuktikan perbedaan yang terjadi dalam proses kontak
budaya di Asia Tenggara dengan mengajukan hipotesa yang dirumuskan sebagai
berikut :
·
Pengaruh kebudayaan
Hindu, diacu oleh local genius dengan
unsur yang bertahan berupa unsur kebudayaan Han (sekitar tahun 45 SM)
kebudayaan Jawa-Hindu adalah hasilnya.
·
Pengaruh kebudayaan
Hindu diacu oleh local genius yang
unsurnya tetap berupa kebudayaan Dongson dan Han dalam hubungan ini terjadilah
evolusi kebudayaan Campa.
·
Pengaruh kebudayaan
Hindu di acu oleh local genius yang
tampil dalam unsur tetapnya berupa kebudayaan Megalitik tua seperti ditunjukkan
oleh evolusi kebudayaan Khamer.
Menurut
Wales frasa pengaruh India untuk menunjukkan sebagai stimulus utama bukan untuk
menunjukkan sebab terjadinya yang berlangsung sekejap yang merangsang timbulnya
respon, kemudian berhenti atau tidak berkelanjutan. Stimulus atau tantangan itu
tidak sederhana karena terdiri dari pengaruh berbagai lapisan kebudayaan India,
terjadi rentangan waktu yang berabad-abad akan timbul rangsangan dan jawaban,
kedua itu adalah faktor yang aktif walaupun pada awal aktivitas responnya pada
awalnya tidak disadari dan bersifat aktif dan tertutup (convert) namun akan terjadi peningkatan pengaruh local genius, jika rangsangan luar mulai
melemah. Bukti-bukti arkeologis yang berkaitan dengan aspek ikonografis serta
arsitektual pada periode akhir abad XI hingga abad XV M, menunjukkan adanya
relevansi teori local genius. untuk
memahami terjadinya modifikasi kebudayaan dikawasan Asia Tenggara pada masa
lampau.
Wales
menyebutkan 3 kebudayaan di pinggiran (marginal culture) yang berkembang di 3
wilayah yaitu Sunda, Kalimantan Barat dan Bali sebelum masa Majapahit. Di tiga
wilayah itu pengaruh kebudayaan India tidak cukup kuat sebagai stimulus,
sehingga diwilayah pinggiran ini terjadilah kebangkitan kebudayaan pra Hindu,
yang terpadu dengan sejumlah unsur kebudayaan India yang dipilih diambil, serta
diubah menurut acuan budaya unsur setempat.
Teori
Wales yang memasukkan daerah Sumatra ke dalam kawasan Greater India, karena
tidak melihat adanya unsur lokal dalam bangunan yang bercorak Hindu. Dengan
kata lain, di Sumatra tidak terjadi apa yang disebut sebagai Indo-Sumatra.
Pendapat ini banyak mendapatkan sanggahan dan kritikan, diantaranya Bosch yang
menyanggah pernyataan Wales yang meletakkan tekanan pada peranan para penerima
dalam proses akulturasi. Bosch mengajukan pendapat tentang peranan kaum
terpelajar Indonesia yang dianggap menentukan dan mempunyai peranan sangat
penting. Orang Indonesia, setelah berkenalan dirumah sendiri mereka belajar di
pusat-pusat kesenian di India dan Indonesia. Arus saling mempengaruhi itu tidak
lagi satu arah, melainkan dua arah. Diyakini pula terdapat bakat kejeniusan
orang-orang Indonesia yang berupa kemampuan untuk mengolah, mengubah sesuatu
yang baru, yang menjadi dasar yang kuat bagi terjadinya perkembangan kesenian
Jawa-Hindu.(Bosch, 1952)
Analisa
Wales tentang kebudayaan Hindu di Sumatra, yang dimaksudkan dalam wilayah yang
menanggung akibat akulturasi arus kuat ternyata memberikan bukti-bukti yang
bertentangan dengan kesimpulannya. Cukup banyak bangunan di Jambi, Muara Takus,
dan Pandana Lawas memperlihatkan gaya bangunan periode Jawa Timur. Demikian
juga bangunan candi di Bali, seperti Gunung Kawi di Tapaksiring, memperlihatkan
gaya bangunan periode Jawa Tengah(Soekmono, 1986). Apabila local genius menyangkut pula manusianya timbul keraguan dan
memerlukan suatu penjelasan mengapa masyarakat di Sumatra dianggap hanya mampu
meniru dan tidak menghasilkan bangunan yang memiliki unsure prasejarah.
Beradasarkan gaya bangunan dan analisa fungsi aspek-aspek penting bangunan,
seharusnya pendiri candi di Muara Takus, Biara Bahal, termasuk kategori Wales the craftsman who do the actual moulding ur
reworking, in the light of local genius ( Wales, 1961)
Peran
local genius dalam akulturasi dikupas
dengan kritis oleh Koentjaraningrat (1986) terutama yang berkaitan dengan 2
buah konsep yang dipilih menjadi extreme acculturation dan local genius.
akulturasi arus kuat, dimaksudkan proses penerimaan unsur-unsur kebudayaan dan
kesenian India secara hampir utuh. Sedangkan local genius dimaksudkan faktor-faktor
yang menyebabkan unsur-unsur kebudayaan dan kesenian India mengalami perubahan
bentuk sifat dan konsepsinya. Wales menggunakan suatu konsep yang disebutnya “cultural characteristhic” yang berarti ciri-ciri
yang terdapat pada unsur-unsur kesenian, yang semula menjadi pusat analisisnya.
Lebih jauh Koentjaraningrat menyimpulkan bahwa pelaksanaan proses akulturasi
secara konkret dilakukan oleh para cendekiawan, agamawan, para ahli bangunan,
sastrawan lingkungan keraton dan diluarnya, para undagi, dengan memasukkan:
1.
Unsur-unsur kebudayaan
India
2.
Konsultan India yang
terdiri dari cendekiawan dan pedagang
3.
Pengalaman budayawan
Indonesia di India
4.
Organisasi sosial
5.
Lingkungan alam
6.
Ekonomi nusantara
sebagai variable yang terkait dalam proses
Akulturasi
kebudayaan India dengan Indonesia (Koentjaraningrat,
1986). Pandangan yang kritis terhadap konsep local geniuss oleh Wales, secara rinci dikupas oleh
Setyowati(1986), dengan ilustrasi arkeologis yang mencakup periode prasejarah
dan klasik. Penelitian sejarah kesenian tidak hanya mencari perbandingan gaya,
tetapi juga mencari hubungan dengan factor sejarah, kehidupan sosial, politik,
ekonomi, dari masyarakat yang menghasilkan kesenian tersebut. Unsur kebudayaan
dari luar masuk melalui difusi, baik lewat perdagangan, hubungan diplomatic dan
hubungan keagamaan. Keberadaan orang India (Brahmana) di undang ke istana di
Jawa, yang berperan sebagai penasehat. Proses itu berlaku untuk agama Hindu
yang bersifat “Missionaris” seperti halnya agama Budha. Unsur kebudayaan dari
luar dapat dimasukkan h\jika dianggap cocok dengan pola kebudayaan yang sudah
ada. Oleh karena itu, local genius
diartikan sebagai daya tranformasi yang kurang diberi identitas lokal, dan
berupa daya untuk menciptakan sendiri. Ia mengusulkan istilah-istilah seperti
Hindunisasi, Indianisasi dan Jawa Hindu, Indonesia Hindu ditinggalkan saja
karena tidak ada kebudayaan yang hybrid melainkan hanya beberapa unsure yang
diserap dalam kebudayaan setempat.(Setyowati,
1986)
Dari
tinjauan kritis diatas, local genius
dikemukakan oleh Sedyowati(1986) yang
membedakan pengertian local genius
sebagai:
1.
Nilai konsep dan
teknologi yang telah dimiliki suatu bangsa sebelum mendapatkan pengaruh asing.
2.
Daya yang dimiliki
suatu bangsa untuk menyerap, menafsirkan, mengubah dan menciptakan sepanjang
terjadinya “pengaruh asing”.
Dalam
proses perkembangan kesenian, local
genius dalam artinya yang pertama berperan sebagai pengaruh atau pembatas. Local genius dalam pengertian kedua,
keduanya perlu dibahas dengan tujuan yang jelas. Dengan cara peninjauan yang
manapun tentang local genius
memerlukan langkah perbandingan yang meliputi peninjaun unsur kualitas dan
fungsi.
Pengertian
kepribadian dalam budaya bangsa, unsur yang paling berperan adalah kemampuan
menciptakan bentuk budaya asli, menyerap dan mengolah unsur budaya luar sesuai
dengan orientasi, persepsi, pola/sikap dan gaya hidup bangsa, kemudian
mewujudkan sebagai kebudayaan nasional. Penciptaan, penyerapan, agama.
Kesenian, mata pencaharian, sistem organisasi sosial dan sistem teknologi. (M.Habib Moestopo, 2003:11)
2.2 Perkembangan Budaya Indonesia pada abad 5-15
Dilihat dari hasil-hasil Kebudayaan
1. Candi
Bangunan-bangunan pada zaman purba
yang masih dapat kita jumpai, yang kini masih tertinggal sebagai peninggalan
kebudayaan purba, hanyalah yang terbuat dari batu dan bata saja.
Bangunan-bangunan ini semuanya sangat erat hubungannya dengan keagaaman yang
bersifat suci. Bangunan-bangunan ini bisa seperti rumah-rumah yang terbuat dari
kayu dan bambu sudah hilang tertelan oleh waktu.
Bangunan-bangunan yang disebut
candi. Perkataan ini berasal dari salah satu nama Durga sebagai dewa maut yaitu
Candika (Soekmono,2002: 81). Jadi
bangunan itu hubungannya ialah dengan Dewi Maut. Candi sebenarnya sebagai
tempat memuliakan orang yang telah meninggal, khususnya untuk para raja-raja
dan orang-orang terkemukan. Yang dikuburkan dalam bahasa Kawi Cinandi. Dalam
arti bukan mayat ataupun abu jenazah melainkan bermacam-macam benda, seperti
potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik, yang disertai dengan
sajian-sajian. Benda-benda tersebut adalah pripih dan dianggap lambing-lambang
jasmaniah dari sang Raja atau orang-orang terkemuka yang telah bersatu kembali
dengan penitisnya.
Mayat seorang raja yang meninggal
dilakukan pembakaran yang nantinya abunya dibuang atau dihanyutkan ke laut.
Dengan ini, upacara-upacara dilakukan untuk menyempurnakan roh agar dapat
bersatu kembali dengan Dewa yang merintis menjelma didalam sang Raja itu,
karena sang Raja dianggap sebagai wakil Dewa didunia. Upacara yang terakhir
adalah upacara Craddha untuk melepas roh dari segala ikatan keduniawian yang
menjadi penghalang terakhir untuk bersatunya kembali rohnya dengan Dewa
penitisnya. Sebagai lambing jasmaniah dibuatkanlah boneka dari daun-daunan yang
disebut Puspacarira, sebagai penutup upacara
Craddha maka Puspacarira ini dihanyutkan ke laut.
Lepasnya sang Raja dari alam
kemanusiaan dan menjadi Dewa, didirikanlah sebuah bangunan untuk menyimpan
pripih dan diatas pripih diletakkan didalam sebuah peti batu yang petinya
diletakkan dalam dasar bangunannya. Disamping itu, dibuatkanlah sebuah patung
yang mewujudkan sang raja sebagai Dewa dan patungnya menjadi sarana pemujaan
bagi mereka yang hendak memuja sang Raja. Candi sebagai semacam pemakaman dalam
istilah pendarmaan. Ini hanya terdapat dalam agama Hindu. Candi-candi agama
Budha dimaksudkan sebagai tempat pemujaan Dewa saja. Abu jenasah juga dari para
Bhiksu yang terkemuka ditanam sekitar candi dalam bangunan stupa. Disini Bahwa
arca perwujudan yang melukiskan sang Raja kembali lagi menjadi Dewa setelah
kematiannya dan arca itu menjadi utama didalam candi, umumnya adalah arca Siwa
yang berupa lingga saja yang merupakan lambing Siwa. Ada juga arca perwujudan
berupa Dewa Budha, tetapi dalam hal ini agamanya bukanlah agama Budha yang
sesungguhnya menlainkan Tantrayana.
Perbedaan-perbedaan yang terpenting
pada candi dari kedua macam langgam sebagai berikut:
Langgam
Jawa Tengah
1.
Bentuk bangunan tambun
2.
Atapnya nyata
berundak-undak
3.
Puncaknya berbentuk
ratna atau stupa
4.
Gawang pintu dan relung
berhiaskan kala makara
5.
Reliefnya timbul agak
tinggi dan lukisan-lukisannya naturalistis
6.
Letak candi ditengah
halaman
7.
Kebanyakan menghadap ke
timur
8.
Kebanyakan terbuat dari
batu andesit
Langgam
Jawa Timur
1.
Bentuk bangunan ramping
2.
Atapnya merupakan
perpaduan tingkatan
3.
Puncaknya berbentuk
kubus
4.
Makara tdak ada dan
pintu serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kala.
5.
Reliefnya timbul
sedikit saja dan lukisannya sombolis menyerupai wayang kulit
6.
Letak candi dibagian
belakang halaman
7.
Kebanyakan menghadap ke
barat
8.
Kebanyakan terbuat dari
bata
Candi-candi
jenis Jawa Tengah utara yang terpenting sebagai berikut:
·
Candi Gunung Wukir
dekat Magelang yang berhubungan dengan prasasti Canggal tahun 732 M.
·
Candi Badut di Malang
yang berhubungan dengan Prasati dinoyo
·
Kelompok candi Dieng
yang terdiri atas berbagai candi yang oleh penduduk diberi nama-nama wayang,
seperti: Bimam Samiaji, Arjuna, Gatotkaca, Semar, Srikandi, Dwarawati, didekat
candi Arjuna didapatkan sebuah prasasti dati tahun 809.
·
Kelompok candi Gedong
Songo dilereng Gunung Ungaran.
Candi-candi
jenis Jawa Tengah Selatan yang terpenting sebagai berikut:
·
Candi Kalasan dekat
Yogyakarta yang didirikan tahun 778
·
Candi Sari dekat candi
Kalasan
·
Candi Borobudur yang
bentuk dasarnya merupakan punden-punden berundak-undak itupun disesuaikan
dengan agama Budha Mahayana yang menggambarkan:
Ø Kamadatu
(bagian kaki yang tertimbun dan tertutup oleh susunan batu-batu rata)
Ø Rupadatu
( bagian yang terdiri atas lereng-lereng dengan pagar-pagar dan penuh hiasan
serta relief-relief yang seluruhnya sampai 4km panjangnya, diantaranya
melukiskan Lalitavistara)
Ø Arupadatu
( bagian anats yang terdiri atas batu-batu bundar, dengan lingkaran-lingkaran
stupa dan tidak ada hiasan)
Ø Puncak
berupa stupa yang besar. Arca Budha berjumlah 505 buah yang berada di Borobudur
·
Candi Mendut disebelah
timur Borobudur yang didalamnya memuat 3 arca batu besar sekali yaitu Budha
diapit oleh Padmapani dan Wajrapani.
·
Kelompok candi Sewu,
didekat Prambanan yang terdiri atas sebuah candi induk dikelilingi oleh kurang
lebih 250 bauh candi-candi perwara yang tersusun dalam 4 baris.
·
Kelompok candi Plaosan,
disebelah timur candi Sewu yang terdiri atas 2 buah candi induk, dikelilingi
oleh 2 baris stupa dan 2 baris andi Perwara.
·
Kelompok candi Loro
Jonggrang di desa Prambanan, susunannya candi induk untuk Siwa diapit oleh
candi-candi untuk Brahmana dan Wisnu dan dengan beberapa candi perwara lainnya
merupakan pusat kelompok yang dikelilingi oleh lebih dari 200 buah candi
perwara yang tersusun menjadi 4 baris.
Candi-candi Jawa
Timur yang terpenting sebagai berikut:
·
Candi Kidal Malang,
candi Aruspati
·
Candi Jago, dekat
Malang, candi Wisnumardhana
·
Candi Singosari, dekat
Malang, candi Kertanegara
·
Candi Jawi dekat
Prigan, candi Kertanegara sebagai Siwa-Budha
·
Candi Penataran dekat
Blitar yang halamannya terbagi atas 3 bagian, sedangkan candi induknya terletak
dibagian belakang.
·
Candi Jabung dekat
Kraksaan, berupa bangunan stupa yang besar dan tinggi
·
Kelompok candi Muara
Takus, dekat Bangkinang yang tertinggi atas beberapa bangunan, diantaranya yang
masih tegak sebuah stupa yang bulat tinggi
·
Kelompok candi-candi
tua dekat Padang Sidempuan yang terletak dari berbagai ( blora ) sebagai
candi-candi induk yang letaknya tersebar dan berjauhan dari arca-arca dan
tulisan yang didapatkan diketahui dengan jelas sifat-sifatnya Tantrayana.
Bangunan yang
sebagai patirtan adalah:
·
Jolo Tundo letaknya
dilereng gunung Penanggungan di Mojokerto
·
Belahan (Sumber Tetek)
letaknya dilereng gunung Penanggungan.
Dalam
mitologi India, Laksmi adalah sakti atau istri Dewa Wisnu. Jika Raja Airlangga
itu benar diarcakan sebagai Dewa Wisnu di Belahan maka arca yang terdapat
dibelahan seperti Dewi Laksmi dan Dewi Sri itu melambangkan 2 istri Raja
Airlangga yang memakai prabha adalah sang permaisuri, puteri Raja. Dharmawangsa
yang lain adalah selirnya, mungkin sekali Ibu Sri Maharaja Garasakan.(Slamet Mulyana, 2006: 39)
2. Patung Dewa
Didalam candi induk terdapat patung
dan patung ini berbentuk arca, bentuk dari bersatunya arca dengan dewa
penitisnya. Dengan demikian seni pahat patung itu berhubungan dengan keagamaan.
Patung dewa dan dewi pun bermacam dengan cirri yang berbeda-beda dan maknanya
tanda-tanda khusus ini dinamakan laksana atau cirri.
Patung Dewa-dewa agama Hindu:
·
Siwa sebagai Mahadewa
laksana : Ardhacandrakopala yaitu bulan sabit dibawah tengkorak, terdapat
makala pada mahkota, mata ketiga di dahi; Upawita ular naga; celana kulit
harimau yang dinyatakan dengan lukisan kepala serta ekor harimau pada kedua
pahanya; tangannya 4 masing-masing memegang camara(penghalau lalat),
aksamala(tasbih), kamandalu (kendi berisi air kehidupan) dan trisula(tombak
ujungnya bercabang Siwa)
·
Siwa sebagai Mahaguru
atau Mahayogi : kamandalu dan trisula, perut gendut, berkumis panjang,
berjanggut runcing.
·
Siwa sebagai Bhairawa
lebih menakutkan, berhiaskan rangkai tengkorak, tangan satunya memegang mangkou
dari tengkorak dan tangan lainnya sebuah pisau, kendaraannya bukan nandi
melainkan serigala, sering pula dilukiskan berdiri diatas bangkai dan lapik dari
tengkorak-tengkorak. Siwa sebagai Bhairawa berada di Singosari.
·
Durga isteri Siwa,
biasanya dilukiskan sebagai Mahisasuramardini. Berdiri atas seekor lembu yang
ditaklukkan, lembu ini penjelmaan raksasa (Asura) yang menyerang kahyangan dan
dibasmi Durga. Durga bertangan 8, 10 atau 12 amsing-masing tangan memegang
senjata. Durga Mahisasuramardini ada di arca Prambanan yang disebut-sebut
sebagai Loro Jonggrang.
Anak Siwa ada 2,
yaitu:
1.
Ganesa, Dewa yang
berkepala gajah dan disembah sebagai Dewa ilmu pengetahuan dan Dewa penyingkir
rintangan.
2.
Kartikeya (Skanda atau
Kumara) kedudukannya sebagai Dewa Perang.
3.
Wisnu laksana adalah
bertangan 4, yang masing-masing memegang gada, cakra, dan buah atau kuncup
teratai. Kendaraannya adalah garuda, istrinya adalah Sri dan Laksmi (Dewi
Rahagian)
4.
Brahmana laksana
digambarkan kepala 4 atau bermuka 4, tangannya 4 dan yang 2 dibelakang memegang
aksamala dan camara. Kendaraannya angsa dan istrinya adalah Saraswati (Dewi
Kesenian dan kecantikan)
5.
Dewa Kuwera yaitu yang
digambarkan duduk diatas karung harta yang dikelilingi oleh periuk-periuk
berisi harta.
Didalam
agama Budha kita kenal akan adanya Dhyani Budha, Manusi Budha dan Dhyani
Bodhisatwa. Dewa yang dilukiskan oleh sesuatu arca Budha hanyalah dapat
diketahui dari Mudra (sikap tangannya). Demikianlah:
·
Wairocana, penguasa
timur, mudranya dharmacakra yaitu sikap tangan memutar roda dharma
·
Aksobhya, penguasa
timur, mudranya bhumisparca yaitu sikap tangan memanggil bumi sebagai saksi
(waktu Budha digoda oleh Mara dibawah pohon Bodhi)
·
Amoghasidi, penguasa
utara Mudra Abhaya yaitu sikap tangan menentramkan
·
Amitabha, penguasa
barat, Budha dunia sekarang, mudranya yaitu sikap tangan bersemedi
·
Ratnasambawa, penguasa
selatan, mudranya Wara yaitu sikap tangan memberi anugerah
Para
Bodhisatwa selalu digambarkan berpakaian kebesaran seperti Raja laksana untuk
Awalokitecwara ialah sebuah arca Amitabha di mahkotanya sebagai Padmapani
memegang sebatang bunga teratai merah ditangannya, laksana Maitreya sebuah
stupa dimahkotanya.
3. Seni Ukir
Hasil dari seni ukir ini terutama
sekali berupa hiasan-hiasan yang mengisi bidang pada dinding-dinding candi yang
menjadi pola hias yang berupa makhluk ajaib dan tumbuh-tumbuhan, sesuai dengan
suasana Gunung Mahameru. Diantara makhluk-mkhluk ajaib itu yang selalu
terpancang pada ambang atas pintu atau relung adalah kepala kala yang juga
disebut Banaspati ( raja hutan). Pada candi-candi Jawa Tengah, Banaspati ini
dirangkai dengan makara. Makara ini menghiasi bagian bawah kanan kiri pintu
relung. Makara adalah semacam ikan yang mulutnya menganga, sedangkan bibir
atasnya melingkar keatas seperti belalai gajah yang diangkat. Terdapat hiasan
gambar pohon, kebanyakan pohon-pohon itu melambangkan kalpataru atau Parijata
yaitu pohon yang dapat memberi segala apa yang diinginkan dan diminta manusia.
Macan hiasan bukan sebagai penghias
semata atau pengisi bidang belaka, adalah relief-relief melukiskan suatu
cerita. Cerita-cerita ini yang diambil dari kitab-kitab kesusasteraan seperti
Ramayana dan dari kitab-kitab keagamaan (seperti Karmawibangga, Kunjarakarna)
relief cerita yang paling penting sebagai berikut:
·
Candi Borobudur
Karmawibangga
yang menggambarkan perbuatan manusia serta hukuman-hukumannya, terdapat
dibagian kaki yang ditimbun: lalitawistara, cerita riwayat Budha Gautama sejak
lahir sampai mendapat Bodhi terdapat pada tembok lorong pertama Gandayuha yang
menceritakan Sudhana berusaha mencari ilmu yang tertinggi: terdapatnya pada
dinding lorong kedua dan seterusnya.
·
Kelompok Loro Jonggrang
Ramayana
terdapatkan pada langkan candi Siwa dan diteruskan pada langkan candi Brahmana.
Kresnayana terdapat pada langkan candi Sewu.
·
Candi Jago
Kresnayana
Pathayajna dan Kunjarakarna pada relief-relief ini untuk pertama kalinya kita
jumpai tokoh-tokoh Punakawan, yaitu berjuang menjadi pelawak, yang selalu
menyertai seorang Ksatria.
·
Candi Penataran
Ramayana dan Kresnayana.
·
Candi Surowono
Arjunawiwaha.
4. Kesusasteraan
Dalam gambaran beberapa susasteraan
pada masa itu. Perkembangannya zaman dapat dibedakan menjadi zaman Mataram
(sekitar abad ke-9 dan 10). Zaman Kadiri (sekitar abad 11 dan 12), zaman
Majapahit I (sekitar abad ke-14), zaman Majapahit II (sekitar abad 15 dan 16).
Adanya 2 zaman Majapahit itu berdasarkan atas bahasanya yang dipakai sampai
dengan zaman Majapahit I bahasanya adalah bahasa Jawa Kuno dan sesudah itu
bahasanya adalah bahasa JAwa Tengahan. Termasuk zaman Majapahit II juga adalah
hasil kesusasteraan yang berkembang di Bali ( zaman kerajaan
Samparangan-Gelgol).
Dilihat dari bentuk yang berubah
hasil-hasil kesusasteraan zaman purba itu ditulis sebagai gancaran (prosa) dan
tembang (poesi). Sebagian yang terbesar adalah tembang. Tembang Jawa kuno
umumnya disebut Kakawin, sedangkan tembang Jawa Tengahan dinamakan kidung.
Irama Kakawin diturutkan kepada irama India dan irama kidung adalah irama yang
berkembang kemudian dan terdiri atas tengahan dan macapat.
Tentang Wiracarita perlu diketahui,
bahwa menjadi sumber dan bahan adalah kitab-kitab India yang di Indonesia sudah
tidak dirasakan sama sekali oleh bangsa asing yaitu Ramayana dan Mahabarata.
Kedua Wiracarita ini pula yang menimbulkan berbagai macam cerita lainnya yang
masing-masing berdiri sendiri sebagai suatu cerita yang bulat. Ini sebenarnya
tidaklah lain dari gubahan baru yang berdasarkan sesuatu peristiwa yang
terdapat dalam kitab induknya.
Berhubungan dengan kenyataan ini
maka sebelum kita meninjau hasil-hasil dari kesusasteraan Jawa Kuno, isi kitab
Ramayana dan Mahaberata sebagai berikut:
·
Ramayana
Kitab
yang dikarang oleh Walmiki disekitar permulaan Tarikh Masehi terdiri atas 7
jilid (kanda) dan digubah dalam bentuk syair sebanyak 24.000 sloka. 7 tanda itu
:
Ø Bala
Kanda
Di negeri Kasala dengan idukotanya
Ayudhya memerintah raja Dasaratha mempunyai 3 orang istri: Kausaliya yang
beranak Rama(anak tertua), Kaikeji yang beranak Bharata dan Sumitra yang
beranak Laksamana dan Catrughra. Dalam Swayamwara di Wideha, Rama berhasil
memperoleh Sita, anaknya Janaka sebagai istri.
Ø Ayodhya
Kanda
Dacaratha merasa sudah tua hendak
menyerahkan tahtanya kepada Rama. Datanglah Kaikeji yang memperingatkan
Dacaratha bahwa ia masih atau dua permintaan yang harus dikabulkan oleh sang
Raja. Maka permintaan Kaikeji yang pertama ialah supaya bukan Rama melainkan
Bharatalah yang harus menaiki tahta kerajaan permintaan kedua ialah supaya Rama
dibuang ke hutan selama 14 tahun.
Dacaratha memang terikat oleh
janji, tak mungkin ia menolak permintaan istrinya itu. Ia sangat bersedih hati,
sebaliknya Rama dengan sangat ikhlas hati bersedia melepaskan haknya atas
kerajaan dan pergi ke hutan selama 14 tahun. Rama diikuti oleh istrinya
Laksmana, meninggal Ayudhya dan tak lama Dacaratha meninggal. Bharata tidak mau
dinobatkan menjadi menjadi raja, ia mencari kakaknya, Rama dihutan. Dan Bharata
membujuk kakaknya tetapi Rama tetap dengan pendiriannya sebagai mengembara
selama 14 tahun. Pulanglah Bharata ke Ayodhya dengan membawa Rama dan Ramalah
yang menjadi raja yang sah.
Ø Aranya
Kanda
Didalam hutan, Rama seringkali
membantu para petapa yang tidak habis-habisnya diganggu oleh raksasa. Suatu
ketika dia bertemu dengan raksasa perempuan Curpanakha namanya yang jatuh cinta
kepada Rama tapi oleh Laksmana dipotong telinga dan hidungnya. Curpanakha
mengadukan penghinaan kepada kakaknya Rawana seorang raja raksasa berkepala 10
memerintah di Alengka. Diceritakan betapa cantiknya istri Rama.
Rawana pergi ke tempat Rama untuk
balas dendam atas penghinaan adiknya dengan menculik Sinta. Marica teman dari
Rawana yang menjadi kijang emas yang erlari-lari kecil didepan Rama. Sinta
tertarik dan meminta suaminya agar menangkap kijang itu. Kijang itu tidak
sejinak apa yang dilihat oleh Rama dan makin lama menjauh dari tempat
tinggalnya/ akhirnya kijanu itu dipanah, seketika kijang itu menjelma menjadi
raksasa dengan menjerit keras. Jeritan itu diartikan Sinta suara Rama maka
disuruhlah Impar untuk member pertolongan Sinta pun tinggal sendirian. Datang
seorang Brahmana memberi nasi direnggutlah tangan itu oleh Brahmana yang
ternyata adalah Rawana dan Sinta dibawa terbang.
Rama pulang dengan adiknya menumpai
Sinta tidak ada dan mereka mencari jejak Sinta dalam pengembaraannya mereka
bertemu Jatayu bekas kawan baik raja Dacaratha. Ketika Rawana membawa Sinta,
Jatayu mencoba mencegahnya, dalam
pertempuran itu Jatayu kalah. Setelah memberikan penjelasan Jatayu mati.
Ø Kiskindha
Kanda
Secara garis besar Rama bersekutu
dengan Sugriwa raja kera, disini Rama membantu Sugriwa merebut kekuasaannya di
Walin dengan panahnya Rama. Tentara-tentara kera berangkat ke Alengka, Alengka
memisahkan dari Darata India dan dicari akal untuk menyeberangi lautan itu,
Ø Sundara
Kanda
Hanoman, kera kepercayaan Sugriwa
dan anak Dewa Mata Angin mendaki gunung Mahendra, meloncat menyeberangi lautan
dan tibalah di Alengka. Seluruh Alengka dijelajah sampai dalam istana Rawana
sendiri akhirnya dia juga menemukan Sinta tapi Hanoman ditangkap oleh tentara
Alengka diikat erat kemudian dibakar. Hanoman loncat kerumah-rumah dengan
ekornya yang menyala dan timbul kebakaran di kota. Rama dengancepat menyusul
Hanoman setelah itu Hanoman menghadap Rama memberikan laporan.
Ø Yudha
Kanda
Dengan bantuan Dewa Laut, tentara
kera berhasil membuat jembatan ke Alengka. Rawana mengetahui kalau negara
terancam musuh, menyusun pertahanan Aditya Wibhisono menasehati untuk
mengembalikan Shinta kepada Rama tidak usah berperang, langsung diusir adiknya
dari Alengka. Dia pun bersekutu dengan Rama. Pertempuran kerajaan sengit,
Indrajit dan Kumbhakarna gugur. Rawana turun dan gugur juga. Dengan kemenangan
ini Wibhisana dijadikan raja di Alengka. Rama bertemu denga istrinya. Rama pun
tak mau kembali dengan Shinta, dia meragukan kesuciannya namun Shinta disuruh
terjuan ke api unggun nampaklah Dewi Agni menyerahkan Sinta ke Rama. Akhirnya
Rama tidak ragu lagi karena kesucian permaisuri ahrus terbukti dihadapan
rakyatnya. Rama dan Shinta beserta adiknya kembali ke Ayodhya. Mereka disambut
oleh Bharata yang segera menyerahkan tahta kerajaan kepada Rama.
Ø Uthara
Kanda
Dua pertiga dari buku ini isinya
berbagai macam cerita yang tidak ada hubungannya dengan riwayat Rama.
·
Mahabarata
Kitab
yang terdiri dari 18 jilid (parwan) dan digubah dalam bentuk syair sebanyak
100.000 sloka. Cerita pokok 24.000 yang sebagian besar menceritakan peperangan
sengit selama 18 hari antara para Pendawa dengan Kurawa. Maka nama selengkapnya
dari kitab itu ialah Mahabharatayudha yang berarti peperangan besar dalam
keluarga Bharata. 18 jilid itu sebaagi berikut:
1)
Adi Pawah
2)
Sabha Parwan
3)
Wana Parwan
4)
Wirata Parwan
5)
Udyaga Parwan
6)
Bhisama Parwan
7)
Drana Parwan
8)
Karna Parwan
9)
Calya Parwan
10) Souptika
Parwan
11) Stri
Parwan
12) Cantri
Parwan
13) Anucasana
Parwan
14) Acwamedika
Parwan
15) Acramawasika
Parwan
16) Mausala
Parwan
17) Mahaprasthanika
Parwan
18) Swagrahana
Parwan
Kejayaan
seni satra Jawa Kuno berlangsung didalam zaman Kediri. Hasil-hasilnya terutama
sekali berupa Kakawin yang terpenting diantaranya ialah:
1.
Arjunawiwaha, karangan
Mpu Kanwa
2.
Kresnayana, karangan
Mpu Triguna
3.
Sumasanlaka, karangan
Mpu Managuna
4.
Smaradhana, karangan
Mpu Dharmaja
5.
Bharayudha, karangan
Mpu Sedag dan Mpu Panuluh (tahun 1157)
6.
Hariwangsa, karangan
Mpu Panuluh
7.
Wrttasancaya, karangan
Mpu Tanakung
8.
Ludhaka, karangan Mpu
Tanakung (sesudah sezaman dengan Ken Arok)
Hasil-hasil
kesusasteraan zaman Majapahit I yang terpenting adalah:
1.
Nagarakratagama,
karangan Mpu Prapanca tahun 1365 M
2.
Sutasoma, karangan Mpu
Tantular
3.
Arjuna Wiwaha, karangan
Mpu Tantular
4.
Kunjarakarna
5.
Parthayajna
Hasil-hasil
kesusasteraan zaman Majapahit II (bahasa Jawa Tengahan) yang ditulis dalam
bentuk tembang dan ada pula yang gancaran. Yang terpenting diantaranya ialah:
1.
Tantu Pagelaran
2.
Calon Arang
3.
Kurcwasrama
4.
Bubhuksah
5.
Pararaton
6.
Sudayana
7.
Panji Wijayakrama
8.
Ronggo Lawe
9.
Surandaka
10. Pamancangah
11. Usana
Jawa
12. Usana
Bali
Sementara
itu India mengalami perkembangan kebudayaan yang sangat pesat akibatnya
bercampurnya bangsa serta kebudayaan Dravida, Arya dan Yunani sehingga
kebudayaan-kebudayaan di Asia Tenggara ketinggalan. Kolonialisasi dari India
atau penanaman kebudayaan India di Indonesia. Dalam proses meresapi kebudayaan
Indonesia dengan anasir-anasir India, orang Indonesia yang aktif, kebudayaan
Indonesia mempunyai corak kehidupan itu kira-kira pada abad ke 5. Akan tetapi
dalam waktu beberapa abad pertamanya pengaruh-pengaruh India sudah tinggal
sebagai ulasan saja. Kebudayaan Indonesia sudah mendapatkan kepribadian sendiri
didalam keadaan yang telah berubah itu.
Prasasti
raja Mulawarman menunjukkan proses peng-Hinduan: huruf yang dipakai huruf
Pallawa bahasa Sansekerta keturunan Kudungga (nama Indonesia asli) menjadi nama
Mulawarman (nama sansekerta) dan untuk upacara-upacara didatangkan Sriwijaya
dari abad ke-7 sudag ditulis dalam bahasa Melayu Kuno. Huruf Pallawa segera di
Indonesiakan menjadi huruf Kawi. Sejak prasasti Dinoyo huruf Kawi menjadi huruf
yang dipakai di Indonesia dan menjelang akhir abad ke 8 bahasa berganti dari
Sansekerta ke Kawi dan disini dimulainya pemakaian bahasa dan huruf Kawi.
Dalam
hal seni bangunan tidak terpisahkan dari soal keagamaan. Candi bukan kuil
tempat orang memuja Dewa seperti India, akan tetapi lebih tepatnya bertemunya
rakyat dengan roh nenek moyang. Candi dengan patung induknya yang menjadi arca
perwujudan bagi raja yang telah meninggal mengingatkan kita kepada
punden-punden berundak, hanyalah punden ini diberi Mahayana. Juga maknanya
yaitu untuk memuliakan arwah raja-raja Syailendra yang terdahulu ditemukan pula
dalam pola-pola Mahayana tidak berbeda dengan maksud punden-punden berundak
nyata benar-benar sifat Indonesia. Dalam
satu kesusasteraan dan cerita yang dihidangkan didalamnya kelihatan betul hasil
pengolahannya oleh bangsa Indonesia. Gatotkaca sudah kita ketahui tampilnya
tokoh-tokoh Punakawan yang ada India yang sama sekali tidak dikenal. Bahkan
patung atau arca Dewi Sri yang berada yang berada di Belahan juga tidak dikenal
di India.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pertama
Indonesia pada masa peralihan dari zaman prasejarah ke sejarah karena sudah ada
peninggalan tertulis. Indonesia cara penyerapan budaya India dengan mengadopsi
secara langsung tanpa ada filter dari budaya lokal. Dalam berjalannya waktu,
dari tingkatan secara adopsi akan berjalan terus ke adaptasi dan mulai muncul
kepribadian bangsa itu disebut Wales local
genius. Peran-peran dari nilai lokal yang mulai muncul, itupun tidak
dipungkiri kalau kebudayaan India sebagai perangsang dalam munculnya budaya kepribadian
bangsa Indonesia. Dalam perkembangannya selama abad ke-15 Hindu, kebudayaan
Indonesia memang mengalami perubahan-perubahan yang tidak sedikit serta
kemajuan-kemajuan yang luar biasa, tetapi itu hanyalah menuju kearah
terwujudnya kebudayaan Indonesia yang baru.
DAFTAR
RUJUKAN
Bramantyo, Goenadi. 1998. Perwara Sejarah. Malang : IKIP Malang
Habib Mustopo,
dkk. 2003. Sejarah dan Budaya dari Masa
Kuno sampai Kontemporer. Malang: UM Press
Hariyanto. 2004. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Malang: UM Press
Mulyana, Slamet. 2006. Tafsiran Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta:
LKiS
Notosusanto, Nugroho. 2006. Sejarah Nasional II. Jakarta: Balai
Pustaka
Soekmono. 2002. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta : Kanisius
Wojowasiro. 1976. Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Bandung: Shinta Dharma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar