BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Jawa Timur adalah salah satu propinsi di Indonesia
yang terdiri dari bermacam-macam suku dan wilayah. Salah satu wilayah yang ada
di Jawa Timur adalah kota Lumajang yang luas wilayahnya 57.482 atau 574.82 km².
Secara astronomi kabupaten Lumajang terletak antara 8’9”-5,87 LS pada garis
miridian of Batavia dan pada garis equator of Greenwich 106’27,79’ BT.
Sedangkan batas wilayah administrasi adalah:
Batas Utara : kab. Probolinggo
Batas Barat : kab. Malang
Batas Selatan : Samudra Hindia
Batas Timur : kab. Jember
Bentuk keselurahan
wilayah kabupaten Lumajang terdiri dari 18 wilayah yaitu: Lumajang, Sukodono,
Senduro, Gucialit, Klakah, Ranuyoso, Randuagung, Pasirian, Tempeh, Candipuro,
Pronojiwo, Tempursari, Yosowilangun, Jatiroto, Kunir, Tekung, Rowokangkung, Kedungjajang.
Dalam perjalanan sejarah
Lumajang, pada masa Hindu-Budha, Hindia-Belanda, pendudukan Jepang dan masa
kemerdekaan Indonesia. Lumajang merupakan wilayahnya terdapat berbagai
peningalan-peningalan sejarah yang megoreskan makna walupun itu berupa bentuk
benda mati, ini merupakan saksi dan bukti eksistensi perjalanan sejarah wilayah
Lumajang.
Pembentukan pembelajaran
atau pengenalan sejarah wilayah Lumajang dengan bentuk media dari hasil sisa
peningalan-peningalan pada masa Hindu-Budha, Hindia-Belanda, pendudakan Jepang
dan masa kemerdekaan Indonesia. Sisa-sisa peninggalan sejarah yang sampai
sekarang ini di wilayah Lumajang kurang di perhatikan, baik dari sisi
pembelajaran sejarah dan juga perawatannya, ini sangat ironis sekali. Berangkat
dari permasalahan ini, sebuah studi tempat-tempat benda bersejarah dan
purbakala dilaksanakan sebagai pemaksimalan media pembelajaran sejarah. Namun
permasalahan tak sederhana ini dari tenaga pengajar seperti guru sejarah disekolah
baik tingkatan, SD, SMP, SMA, kebanyakan tidak mengerti tempat-tempat sejarah dan
purbakala yang ada di Lumajang, guru yang berasal dari wilayah lain dan guru
sejarah yang tidak berlatar belakang dari studi sejarah, namun masalah kurikulum
sendiri juga masih melakukan invosi untuk mencapai bentuk yang sesusai dengan
perkembangan pendidikan. Namun pada tahun 2008 dilaksanakan kurikulum KTSP, ini
juga sedikit memberikan kebebasan guru melaksakan pembelajaran namun dengan
adanya rambu-rambu yang dipatuhi. Secara tidak langsung guru bisa memakai
sejarah wilayah sebagai bentuk untuk memicu jiwa pelajar sadar dan belajar dari
sejarah wilayahnya, namun tidak melupakan kajian utama materinya yaitu cakupannya
sejarah Nasional. Bahwa pada masa Hindu-Budha, Hindia-Belanda, pendudukan
Jepang dan masa kemerdekaan Indonesia, wilayah Kabupaten Lumajang pada
masa-masa itu juga terjadi peristiwa lokal dan terkadang menyisakan benda peninggalan-peninggalan
dan tempat bersejarah.
Benda-benda peninggalan
dan tempat bersejarah tersebut merupakan bukti otentik dan dapat sebagai
penghubung zaman modern dengan zaman masa lalu. Pengelolaan benda-benda serta
tempat bersejarah dan purbakala di Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 5
tahun 1992 tentang benda cagar budaya. Pengertian benda bersejarah dan
purbakala lebih serupa dengan benda cagar budaya, sedangkan makna tempat benda
bersejarah dan purbakala ketentuannya identik dengan situs.
Dilihat dari segi
sekolah sebagai lembaga pembelajaran, lingkungan dapat di bagi menjadi dua
yaitt: 1). Lingkungan internal sekolah yang terdiri atas; a) lingkungan fisik
mulia dari fasilitas belajar, bangunan, sampai tanah sekolah, b) lingkungan
sosial yang terdiri atas antara personal hubungan guru-guru, siswa guru,
siswa-siswa, siswa pegawai, siswa pemimpin dan seterusnya. c) lingkungan baik
berupa binatang maupun tumbuhan yang ada dilingkungan sekolah; 2) lingkungan
eksternal sekolah yang dapat berupa; a) orang sebagai sumber belajar misal
tokoh masyarakat, tokoh agama, para pejabat, dokter, ahli hukum, militer dan
polisi dan provesi yang relevan. b) benda sebagai sumber sejarah, misal
benda-benda dan tempat bersejarah dan produk lainnya. c) organisasi sebagai
sumber belajar misalnya oraganisasi profesi, organisasi kepemudaan, LSM dan
organisasi sosial kemasyarakatan. d) lingkungan pergaulan anak di masyarakat
lingkuangan dapat di bagi menjadi lingkungan fisis, lingkungan sosial dan
psikologis. Lingkungan fisis berkaitan dengan semua benda fisis baik benda
hidup maupun benda mati, lingkungan sosial berkaitan dengan hubungan antara
manusai baik secara formal, dan lingkungan psikologis merupakan suasana
kejiwaan setiap individu dan orang lain dalam konteks pergaulan hidupnya dan
penguatan pendidikan (Soetopo, 2009:117). Dengan landasan awal ini studi
tempat-tempat sejarah dan purbakala sebagai media pemaksimalan pembelajaran
sejarah mendapat ruang untuk dilaksanakan.
B. Rumusan Masalah
Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana keadaan benda bersejarah dan purbakala di
Kabupaten Lumajang?
2. Bagaimana latar belakang benda bersejarah dan
purbakala di Kabupaten Lumajang?
3. Bagaimana pengembangan bahan ajar benda bersejarah dan
purbakala sekolah-sekolah di Kabupaten Lumajang?
C. Tujuan Penelitian Masalah:
Tujuan
penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan keadaan benda bersejarah dan purbakala
di Kabupaten Lumajang.
2. Mendeskripsikan latar belakang benda bersejarah dan
purbakala di Kabupaten Lumajang.
3. Mendeskripsikan pengembangan bahan ajar benda
bersejarah dan purbakala di sekolah-sekolah Kabupaten Lumajang.
D. Manfaat penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai
berikut:
1. Bagi jurusan
sejarah Universitas Negeri Malang
Sebagai sumber referensi dan dokumentasi yang
diperlukan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama tentang penulisan Sejarah daerah dan
hasil peninggalan-peninggalannya yang belum banyak diketahui padahal sebenarnya
dapat dipakai media pembelajaran. Hasil penelitian ini tentunya akan menambah
informasi bagi penelitian selanjutnya dan dapat menambah perbendaharaan karya
ilmiah bagi lembaga yang terkait.
2. Bagi
Masyarakat Luas
Untuk mengembangkan pemahaman masyarakat, dalam
melihat peristiwa Sejarah tidak hanya dari satu sudut pandang saja.
3. Bagi
Peneliti.
a. Melatih berfikir kritis dan berani mengungkapkan
pendapat.
b. Dengan penelitian ini, peneliti mendapatkan
tambahan pengetahuan tentang bidang Sejarah yang dapat digunakan untuk
mengaplikasikan ilmu atau pengetahuan yang telah diterima selama di bangku
perkuliahan yang tentunya akan sangat berguna bagi peneliti dikemudian hari.
4. Bagi
Pemerintah Kota Lumajang
Menambah dan melengkapi kumpulan referensi
serta informasi tentang keberadaan tempat-tempat benda bersejarah dan purbakala
dan dapat sebagai media pembelajaran sejarah, dengan adanya pemetaan lokasi ini
memudahkan guru sejarah mengetahui titik lokasi keberadaan tempat-tempat benda
bersejarah.
E. Kajian pustaka
1. Media dan pendidikan
Kata media berasal dari bahasa latin merupakan
bentuk jamak dari kata medium yang
secara harfiah berarti pentara atau pengantar. Modoe adalah perantara atau pengantar pesan dari pengiriman ke
penerima pesan.
Banyak batasan yang diberikan orang tentang media.
Asosiasi Teknologi dan komunikasi pendidikan (Association of Education and Communication) di Amerika membatasi
media segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan atau informasi. Gagne (1970)
menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa
yang dapat merengsangnya untuk belajar. Sementara itu Briggs (1970) berbendapat
bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta
merangsang siswa untuk belajar, Buku, film, kaset,flim bingkai adalah
contoh-contohnya (Sadiman, ddk, 2008:8).
Memilih dan menggunakan media merupakan salah satu
tugas guru dalam proses pembelajaran. Berikut ini akan kita bahas beberapa hal
terkait dengan Media Pembelajaran. Maksud penyajian bahan ini adalah untuk
memperkaya khasanah pengetahuan tentang Media Pembelajaran, mengingat tugas
pokok sebagai guru adalah membimbing dan
mempermudah belajar siswa (pembelajaran). Secara spesifik bahan ini memuat
pokok-pokok sebagai berikut: (a) pentingnya teori-teori belajar dalam kaitannya
dengan pemilihan dan penggunaan media pembelajaran; (b) pentingnya media
pembelajaran disekolah; (c) beberapa faktor yang diperlukan diperhatikan dalam
memilih media pembelajaran; (d) prosedur pemilihan media; (e) prinsip pemilihan
media dan (f) kriteria pemilihan media menurut Gerlach dan Ely; (g) strategi
pembelajaran dan (h) proses pemilhan media(Punaji, 2008:1)
Dari 8 kriteria tersebut yaitu, salah satu pokok
yang penting prosedur dan prinsip pemilihan media.
Prosedur Pemilihan Media
Dalam penggunanya, media pemebelajaran tidak dapat
digunakan begitu saja oleh guru. Gagne mengemukakan bahwa tidak ada satu media
pun yang mungkin paling cocok untuk mencapai semua tujuan. Media pembelajaran
yang kita gunakan di kelas untuk satu tipe isi pokok bahasan akan berbeda
dengan tipe isi pokok bahasan yang lain. Misalnya,tipe isi pokok bahasan yang
merupakan konsep memerlukan media yang berbeda dengan tipe isi pokok bahasan
yang berupa prinsip atau prosedur. Konsep bahwa dunia bulat dalam geografi
tidak serta merta memberikeyakinan kepada siswa. Kita tunjukan melalui media globe.
Prosedur (langkah-langkah) yang perlu kita
perhatikan dalam memilih media pembelajaran, sebagai berikut:
1) Identifikasi ciri-ciri media
yang diperlukan sesuai dengan kondisi, untuk kerja (performance) atau tingkat setiap tujuan pembelajaran.
2) Idetifikasi karakteritik
siswa (pebelajar) yang memerlukan media pembelajaran khusus.
3) Identifikasi karakteristik
lingkungan belajar berkenaan dengan media pembelajaran yang akan digunakan.
4) Idetifikasi pertimbangan-pertimbangan
praktis yang memungkinkan media mana yang mudah diusahakan atau dilaksanakan.
5) Identifiksi faktor ekonomi
dan organisasi yang mungkin menentukan kemudahan penggunaan media pembelajaran.
Prinsip-Prinsip Pemilihan Media
Ada
beberapa prinsip umum dalam memilih dan menggunakan media pembelajaran.
Prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut ini.
1. Tak ada satupun media,
prosedur dan pengalaman belajar yang paling baik untuk belajar, pengunaan media
itu harus sesuai dengan tujuan khusus pembelajaran.
2. Anda harus mengetahui secara
menyeluruh kesesuaian antara isi dan tujuan khusus program.
3. Media harus mempertimbangkan
kesesuaian antara pengunaannya dengan cara pembelajaran yang dipilih.
4. Pemilihan media itu sendiri
jangan tergantung pada pemilihan dan penggunaan media tertentu saja.
5. Sadarlah bahwa media yang
paling baik pun apabila tidak dimanfaatkan secara baik akan berdampak kurang
baik atau media tersebut digunakan dalam lingkungan yang kurang baik.
6. Kita menyadari bahwa pengalaman,
kesukaan, minat dan kemampuan individu serta gaya belajar mungkin berpengaruh
terhadap hasil pengguanan media.
7. Kita menyadari bahwa
sumber-sumber dan pengalaman belajar buakan hal-hal yang berkaiktan dengan baik
atau buruk tetapi sumber-sumber dan pengalaman belajar ini berkaitan dengan hal
yang konkrit atau abstrak.
Kriteria pemilihan
Kemampuan guru atau pembelajaran dalam
memilih media yang sesuai dengan tujuan yang di ingin dicapai merupakan
pertimbangan penting yang lain dalam
proses pembelajaran. Pemilihan media yang kurang tepat, bahkan sama
sekali tidak relevan (asal pilih saja) dapat mengurangi daya tangkap siswa
(pebelajar) terhadap bahan ajar yang sedang dipelajari. Mengapa demikian? Sebab
pemilihan media yang kurang tepat ini bukan menambah kejelasan informasi yang
diberikan, tetapi akan justru menambah kekabuaran informasi yang diperoleh.
Oleh sebab itu, pemilihan media pembelajaran perlu dilakukan secara lebih
cermat dan tepat sasaran. Walaupun tidak ada satu media pun yang cocok untuk
satu jenis informasi, mengikat bahwa setiap media memiliki karateristiknya
masing-masing. Artinya satu media efektif dipakai untuk menyajikan informasi,
sedangkan media yang lain efektif untuk penyajian psikomotorik. Misalnya, untuk
melatih gerak maka guru perlu menunjukan cara atau prosedur melakukan tindakan,
contohnya memukul bola. Hal yang paling penting diperhatikan oleh guru atau
pembelajaran dalam memilih media, yaitu tersedianya sumber, latar, dan
personalia.
Ada lima kriteria atau prinsip pemilihan
media. Kriteria pemilihan media pembelajaran itu meliputi; 1) kesesuaian (appropriatenees), 2) tingkat kesulitan (level of sophistication), 3) Biaya (cost), 4) ketersediaan (availability), dan 5) kualitas teknis (technical qualty) (Punaji, 2008;22-23).
Istilah pendidikan dalam bahasa Inggris “education” berakar dalam bahasa latin “educare” yang dapat diartikan
pembimbingan berkelanjutan (to lead forth)
(Suhartono, 2008;77).
Pendidikan adalah usaha sadar dan terus
menerus oleh manusia dalam menyelaraskan kepribadiannya dengan keyakinan dan
nilai-nilai yang beredar dan berlaku dalam masyarakat berikut kebudayaannya.
Bertrand Russell menyatakan bahwa ciri
pendidikan ada pada nilai-nilai kejujuran dan keberanian. Seperti tertuang
dalam pertanyaannya: “pendidilkan dimaksimalkan supaya manusia mencerminkan
lingkungannya dengan tepat lewat pengetahuannya yang diperoleh dengan
kecerdasan supaya ia melibatkan diri secara emosional dengan cinta, keramahan
dan keadilan pada sesama. Akhirnya, supaya ia mengembangkan kehendak dan
kemampuannya untuk proyek-proyek kemanusian dan tidak mengalami kendala “chauvinisme
sempit”(Russell 1993). Untuk itu menurut Russell, perlu diciptakan sistem
pendidikan yang bebas dari represi. Hal ini senada di ungkapakan Schumcher.
Dalam dua karya, small is beatiful
(1973) dan Good Work (1979), Schumacher menyatakan bahwa pendidikan harus dapat
memberikan kemampuan hidup dan menginterpretasikan dunia.
Perkembangan masyarakat modern dewasa ini,
bahwa dorongan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi juga industralisasi dan
kemajuan metodologi praktik pendidikan. Pendidikan yang sanggup mengantisipasi
zamannya menjadikan sebuah masyarakat yang terdidik dengan baik lebih percaya
diri dalam menghadapi lingkungan yang bersekala global dan semakin kompotitif.
Pendidikandengan demikian merupakan kata kunci masa depan. Pendidikan membekali
masyarakat dengan seperangkat sikap, cara pandang, dan nilai-nilai yang berguna
di masa mendatang. Secara konseptual, pendidikan lebih terbuka bagi tranformasi
nilai-nilai baru yang tidak membelenggu dan membebaskan (Darsi, 1989).
Pada kenyataan, pendidikan mengalami perubahan
dari waktu-waktu sesuai perubahan zaman yang begitu cepat. Sehingga filusuf
pendidikan John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah proses pembaruan
makna-makna pengalaman lewat proses transmisi insidental dan internasional.
Dengan usaha demikian, pendidikan membantu manusia merealisasikan segala
kemampuan yang ada di dalam dirinya untuk menjadi pribadi yang mandiri. Untuk
perlu sebuah metode pendidikan yang benar-benar mampu membuat manusia sadar
sebagai subjek perilaku dari perubahan.
Karena pendidikan dapat dipahami sebagai
rangkaian usaha pemberuan. Sebagai rangkaian usaha pembaruan. Sebagai usaha
pembaruan, R.S Peters dalam bukunya The
Philosophi of Education menandakan bahwa, pendidikan pada hakikatnya tidak
mengenal akhir, karena kualitas kehidupan manusia terus meningkat. Untuk itu
apa yang harus dipersoalkan bukan persiapan kearah tujuan, melainkan bagaimana
orang bertindak saat ini. Sehingga jika metode pendidikan yang diguuakan jelas
dan bersifat membebaskan, maka akan dihasilkan pribadi-pribadi yang responsif,
aktif dan kreatif. Hanya dalam situasi pendidikan yang dialogislah orang akan
tetap dapat mengikuti perubahan jaman.
Secara tradisional, ada pendapat bahwa pendidikan
harus bersendikan nilai-nilai yang dijunjung tinggi sekaligus teruji oleh
waktu. Pandangan ini disebut esensialisme. Pandangan lainnya mengatakan bahwa
pendidikan harus mengupayakan perkembangan akal budi manusia semaksimal
mungkin. Karenanya, pendidikan harus berpusat pada pendidik. Paham yang
menyakini demikian ini disebut perenialisme. Kedua paham yang bersifat
tradisional konservatif ini sama-sama memandang manusia sebagai makhluk budaya.
Artinya keberadaan manusia dianggap memiliki peranan sebagai penghayat,
pelaksana, dan sebagai pengembang kehidupan. Pendidikan sebgai subjek pembawa
nilai dan norman budaya menduduki posisi sentaral dalam proses pendidikan
(Barnadib,1996). Pandangan tentang pendidikan semacam ini pada praktiknya
cenderung bersifat otoriter, dan menghalangi kesadaran peserta didik untuk
dikembangkan. Aktifitas pendidikan kemudian berbelok menjadi tindakan- tindakan
menundukan peserta didik (Murtiningsih, 2004:1-3).
Langeveld mengemukakan jenis tujuan
pendidikan; 1) Tujuan umum pendidikan. 2) Tujuan khusus pendidikan yaitu
pengkhususan dari tujuan umum tersebut, yaitu tujuan yang dirumuskan
berhubungan dengan situasi dan pandangan hidup suatu masyarakat tertentu, misal
tujuan pendidikan atas dasar filsafat hidup pancasila. 3) Tujuan isidensil
yaitu tujuan yang tidak selalu jelas hubungannya dengan tujuan umum yang ingin
dicapai, misal mengajak anak-anak makan bersama, disini jika dicari apa
hubungan dengan tujuan umum pendidikan, pasti ada. 4) Tujuan sementara tujuan
yang bertalian dengan perkembangan anak, di mulai dari masa bayi sampai anak
itu menjadi dewasa, misalnya anak waktu bayi diurus dan diasuh dengan segala
kemesrasaan dan kecermatan oleh ibu demi terciptanya tujuan pendidikan, secara
tahap demi. 5) Tujuan lengkap artinya tujuan yang meliputi berbagai aspek dan
seluruh kepribadian seutuhnya seperti tujuan pendidikan jasmani, tujuan
pendidikan intelektual, tujuan pendidikan watak, pendidikan kemauan, pendidikan
religius, dan sebagainya. 6) Tujuan intermidier, artinya tujuan terpotong-potong
yang lebih menitik beratkan pelaksaan teknisnya, tanpa di hubungkan
dengantujuan umum pendidikan sehingga tidak melibatkan berbagai pemikiran
filsafati, misal pokok bahasa dalam kelas mengenai salah satu mata pelajaran.
Dalam naskah yang terkenal “The Republic” tulisan Plato, dirumuskan
tujuan pendidikan ialah untuk mencapai masyarakat yang adil (justice) dipimpin oleh seoarang raja
yang sekaligus seorang filusuf (Philosoper
King), yang diasumsikan sebagai raja yang mengetahui kebenaran Hakiki,
sehingga tidak menyalah gunakan kekuasaannya (Pribadi, 1987:53-54).
Walaupun telah sama-sama mengarah pada
suatu tujuan tertantu, para ahli masih belum seragam dalam mendefinisikan
istilah pendidikan. Driyarkarya (1980) mengatakan bahwa pendidikan itu adalah
memanusiakan muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf mendidik. Dalam Dictonary of education dinyatakan bahwa
pendidikan adalah: (a) proses seseorang mengambarkan kemampuan, sikap, dan
tingkah laku didalam masyarakat tempat mereka hidup. (b) proses sosial yang
terjadi pada orang yang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan
terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah) sehingga mereka dapat
memperoleh perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum.
Dengan kata lain pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan atas individu untuk
menghasilkan perubahan-perubahan yang sifatnya permanen (tetap) dalam tingkah
laku, pikiran dan sikapnya. Pengertian lain di ungkapkan oleh Crawand Crow
(1980), pendidikan tidak hanya dipandang sebagai sarana untuk persiapan hidup
yang akan datang, tetapi juga kehidupan sekarang yang di alami individu dalam
perkembangannya. Menuju ketingkat kedewasaannya. Berdasarkan pengertian
tersebut dapat diidentifikasikan beberapa ciri pendidikan antara lain, yaitu:
a) pendidikan mengandung tujuan, yaitu kemampuan untuk berkembang sehingga
pemanfaatan untuk kepentingan hidup. b) untuk mencapai tujuan pendidikan
melakukan usaha yang terencana dalam memilih isi (materi) strategi, dan teknik
penilainya yang sesuai. e) kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat (formal dan nonformal). Apabila dikaitakan
dengan keberadaan dan terakit kehidupan manusia kemanakah pendidikan itu
diarahkan? yakni untuk pembentukan kepribadian sebagai makhluk individu, makhluk
sosial, makhluk susila, dan makluk beragama (religius) (Fattah, 2008;4).
2. Pembelajaran Sejarah
Landasan awal teori yang relevan untuk mengembangkan
pembelajaran. Terdapat perbedaan sudut pandang tentang teori dan proses belajar
merupakan hal yang wajar. Namun, perlu kita kaji kembali tiga teori yang paling
sering disebut sebagai dasar pembelajaran, yaitu behaviourism, cognitivism dan
constructivism (Suyanto,2008:2)
Pengertian belajar menurut pandangan teori behaviourism.
Menurut teori behaviourism,
belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi
antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk
perubahan yang di alami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku
dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan
tingkah lakunya. Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun
ia berusaha giat, dan gurunyapun sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika
anak tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap
belajar. Karena ia balum menunjukan perubahan perilaku sebagai hasil belajar.
Menurut teori ini terpenting adalah masukan input yang berupa stimulus dan keluaran
atau Output yang berupa respon. Dalam
contoh diatas, stimulus adalah apa saja yang di berikan guru kepada siswa misal
daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, tahu cara tertentu, untuk
membantu belajar siswa, sedangkan respon adalah reaksi atau tanggapan siswa
terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Menurut teori behaviourism, apa yang terjadi diantara
stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat
diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan
respon. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus), dan apa saja
yang dihasilkan siswa (respon), semuanya harus dapat diamati dan dapat diukur.
Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran, sebab pengukuran merupakan
suatu hal yang penting untul melihat terjadinya tidaknya perubahan tingkah laku
tersebut.
Tokoh-tokoh aliran behaviourism di antaranya adalah
Thorndike, Waston, Clark Hull, Edwin Guthrie, dansekiner. Pada dasarnya para
penganut aliran behaviourism setuju
dengan pengertian belajar diatas, namun ada beberapa perbedaan pendapat diantra
mereka. Secara singkat, berturut-turut akan dibahas karya-karya para tokoh
aliran behaviourisme sebagai berikut:
Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike,belajar
adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa yang
dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau
hal-hal yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon yaitu reaksi
yang dimuculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan atau tindakan. Dari difinisi belajar tersebut maka
menurut Throndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu
berwujud konkrit yaitu dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang tidak
diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutakan pengukuran, namun ia
tidak dapat menjelaskan bagaiman cara mengukur tingkah laku yang dapat diamati.
Namun demikian, teorinya telah banyak memberikan pemikiran dan inspirasi kepada
tokoh-tokoh lain yang datang kemudian. Teori ini disebut juga sebagai aliran
koneksionisme (Connectionism).
Teori Belajar Menurut Watson
Waston adalah seorang tokoh
aliran behavioristik yang datang sesudah Thorndike. Menurutnya, belajar adalah
proses interaksi antara setimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk
tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan kata
lain, walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri
seseorang selama proses belajar, namun ia menggap hal-hal tersebut sebagai
faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa
perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting, namun semua itu tidak
dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum kareana tidak dapat
diamati.
Waston adalah behavioris
murni, karena kajianya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu seperti
fisika atau biologi yang sangat berorentasi pada pengalaman empirik semata,
yaitu sejauh dapat diukur. Asumsinya bahwa, hanya dengan cara demikianlah maka
dapat diramalkan perubahan-perubahan apa yang akan terjadi setelah seseorang
melakukan tindak belajar. Para tokoh aliran behavioristik cenderung tidak
memperhatikan hal-hal yang tidak dapat diukur dan tidak dapat diamati, seperti
perubahan-perubahan mental yang terjadi ketika belajar, walaupun demikian
mereka tetap mengakui hal itu penting.
Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga mengukanakan
variabel hubuangan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian
tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh teori evolusi yang
dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolus, semua
fungsi tingkah laku bermanfaat untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh
sebab itu, teori Hull mengatakan hal bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan
kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh
kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan
dengan kebutuhan biologis, walupun respon yang akan muncul mungkin akan dapat
bermacam-macam bentuknya. Dalam kenyataannya, teori-teori demikian tidak banyak
digunakan dalam kehidupan praktis, terutama setelah Skiner memperkenalkan
teorinya. Namun teori ini masih sering dipergunakan dalam beberapa eksperimen
di laboratorium.
Teori Belajar menurut Edwin
Guthrie
Demikian juga dengan Edwin
Guthrie, ia juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk
menjelaskan terjadinya proses belajar. Namun ia mengemukan bahwa stimulus tidak
harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana yang
dijelaskannya oleh Clark dan Hull. Di jelaskannya bahwa hubungan antara stimulus
dan respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan
belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan
antara stimulus dan respon bersifat lebih tetap. Ia juga mengemukakan,agar
respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan
berbagi macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut. Guthrie juga
percaya bahwa hukum (punishment)
memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberiakan pada
saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Namun
setelah Skiner mengemukakan dan mempopulerkan akan pentingnya penguatan (reinforcemant) dalam teori belajarnya,
maka hukuman tidak lagi diperhatikan dalam belajar.
Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukan
oleh skiner tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep lain yang
dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaska konsep belajara
secara sederhana, namun dapat menujukan konsepnya tentang belajar secara lebih
komperatif. Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi
melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan
tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya.
Dikatakan bahwa respon yang diberikan oleh seseoarang atau siswa tidaklah sesederhana
itu. Sebab, pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang
akan saling berinteraksi antara stimulus-stimulus tersebut akan mempengaruhui
bentuk respon yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon yang dimuculkan ini
pun mempunyai konsekuensi-kosekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada
giliranya akan mempegaruhi atau menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh
sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar, perlu terlebih
dahulu memahami hubungan antara stimulus satu denganyang lainya, serta memahami
respon yang mungkin dimunculkan dan berbagai kosekuensi yang mungkin akan
timbul sebagai `kibat dari respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa
dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan
tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang di
gunakan perlu penjelasan lagi, demikian dan seterusnya.
Pandangan teori belajar
behavioristik ini cukup lama dianut oleh para guru dan pendidik. Namun dari
semua pendukung teori ini, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya
terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran
seperti Teahcing Machine,
pembelajaran berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain yang
berpijak pada konsep hubungan stimulus respons serta mementingkan program-program
pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang di kemukaan oleh Skinner
(Budiningsih, 2005:20-24).
Pengertian belajar menurut pandangan teori cognitivism
Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar
behavioristik. Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari
pada hasil belajar. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa tidak
sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Tidak seperti model
belajar behavioristik yang mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan
stimulus-respon, model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar
yang sering disebut sebagai model perseptual. Model belajar kognitif mengatakan
bahwa tingkah sesorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya. Belajar
merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat sebagai
tingkah laku yang nampak.
Teori kognitif
juga menekankan bahwa bagaimana bagian-bagian dari suatu situasi saling
berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Memisahkan-misahkan atau
membagi-bagi situasi atau materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang
kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna.
Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang
mencakup ingatan, resistensi, penglolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan
lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berfikir yang
sangat komplek. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus
yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki
dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman
sebelumnya. Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam
rumusan-rumusan seperti: tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J.
Piaget, Advance organizer oleh
Ausubel, pemahaman konsep oleh Burner, Hirarki belajar oleh Gagne, Webteachig oleh norma dan sebagainya
(Budiningsih, 2005:34).
Piaget
Munurut
Piaget, proses belajar harus disesusikan dengan tahap perkembangan kognitif yang
dilalui siswa. Piaget membaginya menjadi empat tahap.
1. Tahap sensorimotor (ketika
anak berumur 1,5 sampai 2 tahun)
2. Tahapan Praoperasioanl (2/3
sampai 7/8 tahun)
3. Tahap operasional Konkret
(7/8 sampai 12/14 tahun) dan
4. Tahap operasional Formal (14
tahun atau lebih)
Proses belajar tahap yang dialami seseorang anak
pada tahap sensorimotor tentu lain dengan yang dialami seseorang anak yang
sudah mencapai tahap kedua (proposional) dan lain lagi yang dialami siswa lain
yang telah sampai ke tahap yang lebih tinggi (operasional kongkrit dan operasional
formal). Secara umum, semakin tinggi tingkatan kognitif seseorang semakin
teratur (dan juga semakin abstrak) cara berfikir. Maka, guru seyogyanya
memahami tahap-tahap perkembangan anak didik ini, serta memberikan materi pelajar
dan jumlah jenis yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.
Ausubel
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika
apa yang disebut pengatur kemajuan belajar (Advance
Organizer) didefinisikan dan dipersentasikan dengan baik dapat dan tepat
kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umun yang
mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.
Ausubel percaya bahwa “advance Organizer” dapat memberikan tiga macam manfaat, yakni:
1. Dapat menyediakan suatu
kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa.
2. Dapat berfungsi sebagai
jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari siswa saat ini
dengan apa yang akan dipelajari siswa; dan
3. mampu membantu siswa untuk
memahami bahan belajar secara lebih muda.
Untuk ini, pengetahuan dan penguasan guru terhadap
ini mata pelajaran harus sangat baik. Hanya dengan demikian seorang guru akan mampu menemukan informasi,
yang menurut Ausubel sangat abstrak, umum dan inklusif, yang memadahi apa yang
akan diajarkan itu. Selain itu, logika pikiran guru juga dituntut sebaik
mungkin. Tanpa memiliki logika berpikir yang baik, guru akan mendapat kesulitan
memilih-milih materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan
padat, serta mengurutkan materi dami materi ini kedalam struktur urutan yang
logis dan mudah di pahami.
Burner
Burner mengusulkan teorinya yang disebut “free discovery lerning”.menurut teori
ini, proses belajar akan berjalan dengan baik bila guru kreatif dan memberikan
kerempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori,
definisi) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) anturan yang
menjadi sumbernya.
Dengan kata lain, siswa dibimbing secara idukatif
untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk memahami konsep” kejujuran”
misalnya, siswa tidak pertama-tama menghafalkan definisi kata itu, tetapai
mempelajari contoh-contoh konkrit tentang kejujuran, dan contoh-contoh itulah
siswa di bimbing untuk mendefinisikan kata kejujuran.
Lawan dari pendekatan ini disebut “belajar
ekspositori”(belajar dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini, siswa disodori
sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan informasi ini melalui
pertama-tama diberi definisi tentang kejujuran dan dari definisi itulah siswa
diminta untuk mencari contoh-contoh yang konkret yang dapat menggambarkan makna
kata tersbut. Proses dalam belajar ini jelas berjalan secara deduktif.
Istilah strategi kognitif dipakai oleh Arends (1988)
untuk strategi berfikir yang bersifat komplek yang berkenaan dengan kecakapan
menerima, menyimpan, dan mencari kembali informsi (Suyanto, 2008:5-7).
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang
terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan,
yaitu: enactive, iconic, dan symbolic.
1. Tahap enaktif, sesorang
melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan
sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan
pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan dan
sebagainya.
2. Tahap ikonik, seseorang
memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi
verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk
perempuan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
3. Tahap simbolik, seseorang
telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi
oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitar anak
belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, metematika dan sebagainya. Komunikasinya
di lakukan dengan mengunakan banyak sistem
simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berfikirnya, semakin dominan
sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia tidak lagi menggunakan
sistem enaktif dan ikonif. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran
merupakan salah satu bukti masih diperlukannya sistem enaktif dan ikonik dalam
proses belajar (Budiningsih,2005:41-42).
Proses Belajar Munurut Teori Konstruktivistik
Menurut ahli para
Constructivism, “belajar” merupakan pemakna pengetahuan. Sedangakan
pengetahuan bersifat temporer, selalu berubah. Karena segala sesuatu bersifat
temporer maka manusialah yang harus memberi makna terhadap realitas. Dalam hal
ini belajar adalah proses pemaknaan informasi baru.
Pada kenyataan kita tidak pernah memperoleh
pengetahuan yang telah jadi atau dalam paket-paket, yang dapat dipersepsi
secara langsung. Semua pengetahuan, metode untuk mengetahui, dasn berbagai
disiplin ilmu yang ada dalam masyarakat dibagun (contructed) oleh pikiran manusia.
Constructivisme adalah salah satu filsafat
yang percaya bahwa pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi
(bentukan) kita sendiri. Pengetahuan bukan gambaran dari dunia kenyataan yang
ada, tetapi merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui
kegiatan seseorang. Proses pembentukan pengetahuan ini berjalan terus menerus
dan setiap kali ada reorganisasi karena terjadi suatu pemaham baru.
Para ahli teori konstruktif percaya bahwa
pengetahuan itu tidak dapat begitu saja dipindahkan dari otak seseorang (guru)
ke kepala yang diajar (siswa). Siswa sendiri yang harus mengertikan atau
memberikan makna apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap
pengalaman-pengalaman mereka (Suyanto, 2008:7).
Peranan siswa (si pelajar). Menurut pandangan
konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pebentukan pengetahuan.
Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan
kegiatan, aktif berfikir, menyusun
konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang
dapat harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang
optimal bagi terjadi belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya
gejala belajar adalah niat siswa sendiri. Dengan istilah lain, dan dapat dikatakan
bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Paragdigma konstruktivistik memandang siswa sebagai
pribadi yang sudah mewakili kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam
dalam mengontruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan
awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru,
sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
Peran guru dalam belajar konstruktivistik guru atau
pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa
belajar lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan telah dimilikinya,
melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuan sendiri. Guru dituntut
untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Cara
yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauan.
Peranan kunci guru dalam intraksi pendidikan adalah
pengendalian, meliputi:
1. Menumbuhkan kemandirian
dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan.
2. Menumbuhkan kemampaun
mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan siswa.
3. Menyediakan sistem dukungan
yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk
berlatih.
Sarana belajar. Pendekatan konstruktivistik
menekankan bahwa bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas
siswa dalam mengkonstruksikan pengetahuan sendiri. Segala sesuatu seperti
bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainya disedikan untuk
membentu tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan
pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan
terbiasa dan terlatih untuk berfikir sendiri, memecahkan masalah yang
dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif dan mampu mempertanggung jawabkan
pemikirannya secara rasional.
Evaluasi belajar. Pandangan konstruktivistik
mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai
pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengatahuan, serta
aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memnculkan
pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan
penerapan evaluasi balajar antara pandangan behavioristik (tradisional) yang
obyektif dan konstruktivistik. Pembelajaran yang diperogramkan dan didesain
banyak yang mengacu pada mengarah pada konstruktivistik. Obyektif mengakui
adanya reliabilitas pengetahuan, bahwa pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan
strukturnya dapat dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseoarang akan
dihasilakan oleh proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata. Tujuan
perancang dan guru-guru tardisional adalah menginterpetasikan kejadian-kejadian
nyata yang akan diberikan kepada siswa.
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa
realitas ada pada pikiran seseoarang. Manusia mengkontruksi dan
menginterpretasikanya berdasarkan pengalamannya. Konstruktivistik mengarahkan
perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari
pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk
mengterpretasikan objek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik
mengakui bahwa pikiran adalah istrumen penting dalam menginterpretasikan
kejadian, objek, dan pandangan terhadap dunia nyata, dimana interpretasi
tersbut terdiri dari pengetahuan dasar manusia.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa
akan dapat menginterpretasikan informasi kedalam pikirannya hanya, hanya pada
konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar
belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman
representasi fungsi dan konseptual dunia eksternal (Budiningsih, 2005:58-61).
Karakter pembelajaran sejarah adalah
pertama sejarah terkait dengan masa lampau, namun materi intinya dari
pembelajaran sejarah adalah produk masa kini dengan berdasarkan sumber yang
ada. Oleh kerena itu pembelajaran sejarah memicu berfikir kritis, cermat dan
berdasarkan bukti-bukti sumber sejarah. Kedua bersifat kronologis. Jadi dalam
menjelaskan matari pembelajaran sejarah harus sesuai dengan urutan dari
kronologis peristiwa sejarah. Ketiga ilmu sejarah mempunyai tiga unsur penting
yaitu, manusia, ruang dan waktu. Berdasarkan tiga unsur penting tersebut dalam
mengembangan pembelajaran sejarah harus mengingat siapa pelaku sejarah, dimana
dan kapan. Keempat persepektif waktu dalam sejarah ada waktu masa lampu, kini dan
sekarang. Dengan tiga persepektif waktu tersebut matari sejarah dapat didesain
dengan persoalan masa kini dan masa yang akan datang.
3. Tempat Benda Bersejarah dan Purbakala
Tempat benda bersejarah atau situs adalah lokasi
yang didalamnya mengandung atau ada dugaan mengandung cagar budaya. Situs ini
dapat ditentukan sesuai dengan spasialnya waktunya, seperti situs purbakala
yang didalam terdapat kandungan nilai sejarah pada masa purbakala, bagitu situs
kelonial yang didalamnya terdapat nilai sejarah pada masa konial dan begitu
situs masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Berdasarkan undang-undang Republik Indoensia Nomer 5
Tahun 1992 tentang cagar budaya. Pada pasal 1 yang berbunyi benda cagar budaya
adalah: a) benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang merupakan
kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisanya, yang berumur
sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan; b) benda alam yang dianggap mempuyai
nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
F. Metode penelitian
Metode yang digunakan adalah kualitatif,
dengan strategi multi metode, dengan metode utama interviu, observasi dan studi
dokumenter (Sukamadinata,
2007:116). Metode sejarah dengan menggunakan metode pengumpulan data
dokumen,arsip dan observasi. Metode sejarah adalah proses menguji dan
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Metode penelitian sejarah adalah metode penelitian
tentang masa lampau yang dilakukan secara sistematik dan sedikit obyektif
dengan melibatkan ruang dan waktu.
Hal ini dilakukan untuk memperoleh hasil penulisan yang bersifat ilmiah dan
bukan hasil penulisan yang didasarkan penulisan semata. Pengertian metode dan
metodologi mempunyai hubungan erat meskipun dapat dibedakan. Menurut
Kuntowijoyo, metode sejarah adalah petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis
tentang bahan, kritik, interpretasi dan penyajian sejarah (Kuntowijoyo, 2003:5)
Metodologi
adalah keseluruhan metode, prosedur-prosedur, konsep kerja, teknik-teknik dan
pendekatan yang dipakai untuk memecahkan suatu masalah (Sjamsudin 1996: 2).
Metode sejarah adalah
seperangkat sistem yang berisi norma-norma, aturan-aturan, yang harus diikuti
dalam menyusun fakta-fakta yang telah diuji dalam suatu hubungan guna menyusun
peristiwa (Sjamsudin 1996: 5). Maka dalam penulisan ini penulis mengambil langkah sebagai berikut.
1.
Pemilihan Topik.
Dipilihnya
topik studi tempat-tempat bersejarah dan purbalakala sebagai pengembangan bahan
ajar. Karena dengan adanya peninggalan-peninggalan benda bersejarah dan
purbakala di wilayah Lumajang ini merupakan bentuk dari potensi sumber daya
buatan. Jenis sumber daya tersebut dapat dikelola dengan serasi, seimbang dan
selaras untuk kemanfaatan masyarakat.
Wilayah
Lumajang dalam perjalanan sejarahnya dengan waktu yang panjang. Dengan ditemukan
tempat-tempat benda bersejarah pada masa Hidhu-Budha, Hinda-Belanda, pendudukan
Jepang dan masa kemerdekaan Indonesia. Dilihat dari segi pontensi ini pemilhan
topik studi tempat-tempat bersejarah dan purbakala sebagai pemaksimalan media
pembelajaran sejarah. Dengan mencari lokasi letak tempat-tempat benda bersejarah
dan purbakala secara jelas, menganalis sejarahnya dan tempat benda bersejarah
dan purbakala, apakah dekat dengan sekolah-sekolah yang tersebar diwilayah
Lumajang, kalau lokasi tersebut dekat dengan sekolah ini dapat dimanfaatkan
media pembelajaran sejarah. Topik ini saya angkat dikarenakan dalam sisi lain, dimana
permasalahan para pendidik (guru) mata pelajaran sejarah yang kurang
memperhatikan tempat-tempat benda bersejarah
yang ada diwilayah sekitarnya, khusus di Lumajang. Tenaga pendidik
(guru) mata pelajaran sejarah yang bukan berasal dari Lumajang dan tidak ada basic dari studi sejarah, ini setidak
dapat memberikan masalah, misal pontesi sejarah lokal tidak di manfaatkan
secara maksimal dalam pembelajaran sejarah. Jika pemaksilan tempat-tempat benda
bersejarah dan purbakala dalam pembelajaran sejarah secara maksimal akan secara
otomatis merangsang pelestarian tempat-tempat benda bersejarah dan purbakala.
Kedekatan
emosional peneliti yang berkaitan dengan ruang lingkup penelitian diwilayah
Lumajang. Peneliti yang berasal dari Lumajang ini memberikan wawasan tahap awal
untuk mengetahui medan dan sebagai bekal awal untuk pengumpulan data yang akan
berkesinambungan. Bagi peneliti banyak hal yang penting dan menarik sebagai
tema penulis.
2. Heuristik
Sejarawan yang melakukan penelitian terhadap peristiwa
sejarah, biasanya tidak berangkat dari nol, akan tetapi memerlukan buku-buku
rujukan atau sumber yang dipakai. Dengan adanya hubungan masa lalu melalui
warisan. Dalam pandangan warisan itu dapat dipandang sebagai bentuk komunikasi
masa kini dengan masa lalu. Menurut bentuk warisan itu dapat dibagi tiga yaitu
warisan lisan, tulisan dan visual. Ketiga macam warisan merupakan sumber
sejarah mendapatkan bahan-bahanya.
Warisan
Lisan.
Sumber lisan 2 macam kategori yaitu:
·
Sejarah
lisan (oral history), ingatan lisan (oral meminiscence) yaitu ingatan dalam
tangan pertama yang dituturkan secara lisan oleh orang-orang yang di wawancarai
oleh sejarahwan. Dipakai dalam menganalisis sejarah tempat-tempat benda
bersejarah dan purbkala yang berada di Kabupaten Lumajang.
·
Tradisi
lisan (oral tradition), yaitu narasi
dan diskripsi dari orang-orang dan peristiwa-peristiwa pada masa lalu yang
disampaikan dari mulut-kemulut selama beberapa generasi. Di negara-negara
industri maju, tradisi lisan ini dapat dikatakan sudah lenyap, tetapi di
negara-negara yang berkembang dimana melek
huruf belum dapat menggantikan sama
sekali budaya lisan, tradisi ini masih bisa bertahan dan masih hidup. Ini dapat
dipakai dalam mencari informasi letak benda-benda bersejarah dan purbakala
apabila ada kesulitan dalam mencari lokasi tempat benda bersejarah.
Sejarah lisan di anggap mempunyai kecenderungan
demokratis atau populis karena memberikan kesempatan bersuara tidak saja kepada
orang-orang kaya dan vokal tetapi juga kepada orang-orang biasa (tentu saja
disamphng penggunaan sumber-sumber tertulis), dengan mendengarkan suara dari
bahwa maka berkembang sejarah sosial yang membahas sejarah masyarakat secara
keseluruhan (termasuk problem
kehidupan sehari-hari yang mereka hadapi); tentang buruh ( buruh tani, buruh
lepas), petani, pedangan, keliling, komunitas, imigran yang melarat, tentang
kekerasan dan kejahatan, mabuk, kekurangan gizi dan sebagai (Sjamsuddin, 1996:
78-80).
Warisan tulisan.
Berbentuk pengawetan melalui tulisan dan ini mempunyai
berbagai bentuk seperti bentuk surat instruksi, pembukuan, berita pemerintah,
perpustakaan, museum, surat kabar, majalah, peta dan lain-lain bahn yang
tertulis. Kata arsip sendiri berasal dari bahasa yunani “archaian” yang berarti gudang kantor (office building). Dan arti lain dari arsip adalah himpuan tertulis.
Warisan visual.
Di golongkan barang-barang yang terbentuk dan berupa
dari masa lalu itu adalah pernyataan cara berfikir dan merasa dari bangsa yang
mendukung kebudayaan itu. Tiap karya seni atau karya budaya dan ciptaan pribadi
atau golongan pribadi sebagai anggota masyarakat, yang mewakili bangsa dalam
kehidupan kebudayaan, bertolak dari benda kebudayaan, kita dapat mengajukan
cara berfikir dan merasa, selanjutnya dapat menafsirkan dan menjelaskan segala
sesuatu mengenai bangsa itu dalam sejarah. Alat kerja, senjata, perhiasan, dan
barang lain yang mereka pergunakan rumah, candi, atau benteng yang mereka dirikan,
bahkan tempat pemkaman (juga unsur Kebudayaan) yang mereka bikin dan lain-lain
membawa kata langsung berhubungan dengan masa lalu (Gazalba, 1981: 111-112).
Dalam padangan sejarahwan bahwa sumber-sumber asli
sebagai sumber pertama (primary sources).
Sedangkan apa yang telah ditulis oleh sejarahwan sekarang atau sebelumnya
berdasarkan sumber-sumber pertama disebut sumber kedua (secondary sources). Pada giliranya sumber kedua ini dikutib lagi
penulis berikutnya sehingga hasilnya menjadi sumber ketiga dan seterusnya.
Buku-buku sekolah-sekolah yang sekarang ini umumnya sudah sumber ketiga atau
keempat (Sjamsuddin, 1996: 80).
3. Kritik
Dalam usaha mencari kebenaran (trauth). Sejarahwan dihadapkan dengan kebutuhan untuk membedakan
apa yang benar, apa yang tidak benar (palsu) oleh karena itu melakukan proses
verfikasi dengan cara pengujian terhadap sumber maka akan dilakukan suatu
kritik terhadap sumber tersebut. Dalam proses kritik dibagi dua bagian yaitu
kritik eksteren dan kritik intern (Sjamsuddin, 1996: 105).
1. Kritik Ekstern.
Kritik ekstern ialah cara
melakukan verifikasi atau pengajian terhadap aspek luar dari sumber sejarah.
Sebelum semua kesaksian yag berhasil dikumpulkan selah sejarawan dapat
digunakan untuk merokontruksi masa lalu, maka terlebih dahulu harus dilakukan
pemeriksaan ketat. Sehingga kebenaran yang diharapkan dapat diperoleh dan tidak
diragukan lagi.
Dalam penelitian ini, kritik ekstern dengan melihat
bahan bagunan dapat menentukan apakah bisa dapat dipakai bukti awal dalam
kategori peninggalan sejarah, begitu juga, memberikan informasi pada
pengambilan data dan mencapai data yang benar dapat dipertanggung jawabkan
kebenaranya.
2. Kritik Intern
Kritik internal sebagaimana yang disarankan oleh
istilahnya menekankan aspek yaitu isi dari sumber. Kritik internal berusaha
memastika peristiwa yang dinyatakan olah bahan. Dalam penerapan kritik internal
ini dilakukan sekarang. Kurangnya melalui dua langkah, pertama dalam penilaian
dari dalam (intrinsik). Maksudnya adalah mencari arti sebenarnya suatu
kesaksian dalam sumber. Kedua, dengan perbandingan antara sumber yang lain
sehingga dengan langkah ini, dapat diharapkan memberikan gambaran yang lebih
mendekati kebenaran.
Sumber-sumber yang dipakai kemudian saling di bandingkan antara
satu dengan yang lain yang menjelaskan tentang keberadaan tempat atau latar
belakang sejarah dari benda sejarah dan purbakala. Dengan perbandingan ini
merupakan langkah untuk menuju perolehan data yang diaharapakan dari si
peneliti.
Pada kritik intern, penulis akan melakukan wawancara
mendalam dengan beberapa tokoh masyarakat yang berhubungan dalam rentangan
waktu penelitian. Untuk memperoleh data dari permasalahan yang ada. Setelah
wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat maka wawancara dengan tokoh
masyarakat yang lain juga dilakukan kemudian dilakukan perbandingan antara
pendapat kedua tokoh tersebut mana yang hampir mendekati fakta. Penerapan
kritik intern yakni dengan membandingkan berbagai sumber yang tidak berhubungan
satu dengan lainnya dan nantinya diambil satu kesimpulan yang hampir mendekati
fakta. Dengan ini dapat peroleh latar belakang sejarah tempat benda bersejarah
dan purbakala dapat diandalkan.
4.
Interpretasi
Dengan penjelajahan dari buku sumber-sumber yang ada
dan temuan data-data baru ini menyebabkan munculnya penafsiran-penafsiran baru
terhadap sumber tertulis yang menyangkut arti dan suasana yang terdapat
didalamya. Dengan demikian penulisan mencoba mengerti proses analisis dan
sintesis.
Analisis dapat diartikan menguraikan. Hal ini
dikarenakan dalam sebuah sumber memberikan beberapa kemungkinan. Dengan diuraikan
peninggalan dari perjalanan sejarah wilayah Lumajang. Dengan ini dapat diharapkan ditemukan fakta sejarah.
Sedangkan langka selanjutnya adalah tahap sintesis yang baru berati menyatakan
data. Dengan sintesis juga memberikan harapan hasil bentuk sebuah konsep.
Proliferasi tema menimbulkan apa yang disebut sejarah
diplomasi, sejarah politik, sejarah lembanga, sejarah gereja (lebih luas dari
agama), sejarah intelektual dan lain-laianya. Alasan ini cara termudah untuk
mempelajari masa lalu. Memang begitu luas kegiatan hidup manusia di masa lalu
sehingga terpaksa ditulis sejarah menurut tema-tema yang disukai oleh para
sejarahwan. Hanya kelemahan jika mengunakan “visi terowongan” semacam
sejarahwan tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh sejarahwan lain atau karena
satu tema lalu menjadi “determistik”. Oleh sebab itu, disamping tema sentral
(politik, ekonomi, sosisal, budaya), dalam diskripsi, narasi atau analisis
perlu mengunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial atau mengunakan metode komperatif
(Sjamsuddin, 1996:167-168)
5. Histriografi
Historiografi adalah penulisan sejarah yang merupakan
keseluruhan pengerahan daya pikiran sejarawan melalui keterampilan teknis
menggunakan kutipan-kutipan dan catatan-catatan serta pikiran-pikiran kritis
dan analisisnya. Keberartian semua fakta yang dijaring melalui metode kritik
baru dapat dipahami hubungannya satu sama lain setelah semuanya ditulis dalam
suatu keutuhan bulat historiografi. Penulisan sejarah juga muncul ketika
seseorang ingin mengetahui asal dan arah tujuan manusia yang bermula dari usaha
untuk menempatkan diri di tengah alam dan lingkungan serta untaian waktu (Abdullah, ed. 1978: 9).
Ketika sejarawan sudah memasuki tahapan menulis, maka
ia menggerakkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknis
penggunaan kutipan-kutipan dan catatan tetapi yang terutama penggunaan
pikiran-pikaran kritis dan analisisnya karena ia pada akhirnya harus
menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya
itu dalam suatu penulisan utuh. Hal inilah yang disebut historigrafi. Kebenaran
(signifikasi) semua fakta yang dijaring melalui metode kritik baru dapat
dipahami hubungannya satu sama lain setelah semuanya ditulis dalam suatu
keutuhan bulat historigrafi (Sjamsuddin, 1996:156). Dan penerapan historiografi yakni dengan menuliskan berbagai sintesa yang
telah didapat dan dijadikan sebuah tulisan sejarah.
Hal-hal yang mendapat
perhatian dalam tahapan historigrafi adalah aspek kronologi dan aspek
sistematis. Dengan kedua aspek inilah, penulis mencoba menyusun historigrafi
yang benar.
Pertama, prinsip kronologis,
dalam merangkai fakta-fakta dalam sebuah tulisan, aspek urutan waktu menjadi menjadi
pegangan yang paling utama. Ini merupakan bentuk jalan yang mempermudahkan
penulisan dan menghasilkan kisah yang dapat dipahami berdasarkan urutan
peristiwa. Kedua, menekankan aspek sistematis dalam menyusun dan merangkai
fakta. Dengan perinsip ini juga diterapkan supaya dapat mempermudah pemahaman,
terutama agar tidak ada pengulangan dalam pembahasan.
I. Sistematika
penulisan
Bab I PENDAHULUAN
a. Latar
belakang
b. Rumusan
Masalah
c. Tujuan
Masalah
d. Manfaat
penulisan
e. Kajian
Pustaka
f. Landasan
teori
g. Metode
penelitian
h. Sistematika
penulisan
Bab II KEADAAN TEMPAT BENDA
BERSEJARAH DAN PURBAKALA DI KABUPATEN LUAMAJANG
a. Masa
Hindhu-Budha
b. Masa kolonial
c. Masa pendudukan jepang
d. Masa masa pergerakan
BAB III latar belakang
sejarahnya
a. Temapat benda bersejarah
masa Hindhu-Budha
b. Tempat benda bersejarah masa
kolonial
c. Tempat benda bersejarah pada
masa pendudukan jepang
d. Tempat benda bersejarah pada
masa pergerakan
BAB IV PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BENDA BERSEJARAH DAN PURBAKALA
DI SEKOLAH-SEKOLAH KABUPATEN LUMAJANG.
a.
Lokasi sekolah dan
letak keberadan benda bersejarah dan purbakala
b.
Rancangan pengembangan
materi sejarah nasional bersendikan sejarah lokal
J. Daftar Rujukan
Abdullah, Taufik (editor)1978. Sejarah Lokal di
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Arief S. Sadiman,dkk. 2008. Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Helius, Sjamsuddin. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Fattah, Nanang. 2008. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Gazalba, Sidi. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhatara Karya Aksara
Kuntowijoyo.
2003. Metodelogi Sejarah. Yogykarta:
PT Tiara Wacana Yogyakarta kerjasama
Fakultas Ilmu Budaya UGM
Murtiningsih,
Siti. 2004. Pendidikan Alat Perlawanan
(Teori Pendidikan Radikal Paul Freire). Yogyakarta: Resist Book
Pribadi, Sikun. 1987. Mutiara Pendidikan. Jakarta: PT Karya Unipress
Punaji.
2008. Pemanfaatan Media. Tidak
diterbitkan, naskah disiapkan untuk acuan pada pendidikan dan latihan profesi
guru (PLPG) di PSG Rayon 15 Universitas Negeri Malang
Sukmadinata,
Nana Syaodih. 2007. Metode Penelitian
Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosadakarya
Soetopo,
Heudyat. 2009. Manajemen Berbasis Sekolah
dan Kurikulum Berbasis Kompetensi.(Bunga Rampai Pokok Pikiran Pembaruan
Pendidikan di Indonesia). Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Malang
Suhartono, Suparlan. 2008. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group
Suyanto,
K. E. 2008. Model-Model Pembelajaran. Tidak
diterbitkan, naskah disiapkan untuk acuan pada pendidikan dan latihan profesi
guru (PLPG) di PSG Rayon 15 Universitas Negeri Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar