Kamis, 13 Desember 2012

STUDI TEMPAT-TEMPAT BENDA BERSEJARAH DAN PURBAKALA DI KABUPATEN LUMAJANG (SEBAGAI PENGEMBANGAN BAHAN AJAR)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Jawa Timur adalah salah satu propinsi di Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku dan wilayah. Salah satu wilayah yang ada di Jawa Timur adalah kota Lumajang yang luas wilayahnya 57.482 atau 574.82 km². Secara astronomi kabupaten Lumajang terletak antara 8’9”-5,87 LS pada garis miridian of Batavia dan pada garis equator of Greenwich 106’27,79’ BT. Sedangkan batas wilayah administrasi adalah:
Batas Utara     : kab. Probolinggo
Batas Barat     : kab. Malang
Batas Selatan  : Samudra Hindia
Batas Timur     : kab. Jember
            Bentuk keselurahan wilayah kabupaten Lumajang terdiri dari 18 wilayah yaitu: Lumajang, Sukodono, Senduro, Gucialit, Klakah, Ranuyoso, Randuagung, Pasirian, Tempeh, Candipuro, Pronojiwo, Tempursari, Yosowilangun, Jatiroto, Kunir, Tekung, Rowokangkung, Kedungjajang.
            Dalam perjalanan sejarah Lumajang, pada masa Hindu-Budha, Hindia-Belanda, pendudukan Jepang dan masa kemerdekaan Indonesia. Lumajang merupakan wilayahnya terdapat berbagai peningalan-peningalan sejarah yang megoreskan makna walupun itu berupa bentuk benda mati, ini merupakan saksi dan bukti eksistensi perjalanan sejarah wilayah Lumajang.
            Pembentukan pembelajaran atau pengenalan sejarah wilayah Lumajang dengan bentuk media dari hasil sisa peningalan-peningalan pada masa Hindu-Budha, Hindia-Belanda, pendudakan Jepang dan masa kemerdekaan Indonesia. Sisa-sisa peninggalan sejarah yang sampai sekarang ini di wilayah Lumajang kurang di perhatikan, baik dari sisi pembelajaran sejarah dan juga perawatannya, ini sangat ironis sekali. Berangkat dari permasalahan ini, sebuah studi tempat-tempat benda bersejarah dan purbakala dilaksanakan sebagai pemaksimalan media pembelajaran sejarah. Namun permasalahan tak sederhana ini dari tenaga pengajar seperti guru sejarah disekolah baik tingkatan, SD, SMP, SMA, kebanyakan tidak mengerti tempat-tempat sejarah dan purbakala yang ada di Lumajang, guru yang berasal dari wilayah lain dan guru sejarah yang tidak berlatar belakang dari studi sejarah, namun masalah kurikulum sendiri juga masih melakukan invosi untuk mencapai bentuk yang sesusai dengan perkembangan pendidikan. Namun pada tahun 2008 dilaksanakan kurikulum KTSP, ini juga sedikit memberikan kebebasan guru melaksakan pembelajaran namun dengan adanya rambu-rambu yang dipatuhi. Secara tidak langsung guru bisa memakai sejarah wilayah sebagai bentuk untuk memicu jiwa pelajar sadar dan belajar dari sejarah wilayahnya, namun tidak melupakan kajian utama materinya yaitu cakupannya sejarah Nasional. Bahwa pada masa Hindu-Budha, Hindia-Belanda, pendudukan Jepang dan masa kemerdekaan Indonesia, wilayah Kabupaten Lumajang pada masa-masa itu juga terjadi peristiwa lokal dan terkadang menyisakan benda peninggalan-peninggalan dan tempat bersejarah.
            Benda-benda peninggalan dan tempat bersejarah tersebut merupakan bukti otentik dan dapat sebagai penghubung zaman modern dengan zaman masa lalu. Pengelolaan benda-benda serta tempat bersejarah dan purbakala di Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya. Pengertian benda bersejarah dan purbakala lebih serupa dengan benda cagar budaya, sedangkan makna tempat benda bersejarah dan purbakala ketentuannya identik dengan situs.
            Dilihat dari segi sekolah sebagai lembaga pembelajaran, lingkungan dapat di bagi menjadi dua yaitt: 1). Lingkungan internal sekolah yang terdiri atas; a) lingkungan fisik mulia dari fasilitas belajar, bangunan, sampai tanah sekolah, b) lingkungan sosial yang terdiri atas antara personal hubungan guru-guru, siswa guru, siswa-siswa, siswa pegawai, siswa pemimpin dan seterusnya. c) lingkungan baik berupa binatang maupun tumbuhan yang ada dilingkungan sekolah; 2) lingkungan eksternal sekolah yang dapat berupa; a) orang sebagai sumber belajar misal tokoh masyarakat, tokoh agama, para pejabat, dokter, ahli hukum, militer dan polisi dan provesi yang relevan. b) benda sebagai sumber sejarah, misal benda-benda dan tempat bersejarah dan produk lainnya. c) organisasi sebagai sumber belajar misalnya oraganisasi profesi, organisasi kepemudaan, LSM dan organisasi sosial kemasyarakatan. d) lingkungan pergaulan anak di masyarakat lingkuangan dapat di bagi menjadi lingkungan fisis, lingkungan sosial dan psikologis. Lingkungan fisis berkaitan dengan semua benda fisis baik benda hidup maupun benda mati, lingkungan sosial berkaitan dengan hubungan antara manusai baik secara formal, dan lingkungan psikologis merupakan suasana kejiwaan setiap individu dan orang lain dalam konteks pergaulan hidupnya dan penguatan pendidikan (Soetopo, 2009:117). Dengan landasan awal ini studi tempat-tempat sejarah dan purbakala sebagai media pemaksimalan pembelajaran sejarah mendapat ruang untuk dilaksanakan.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.      Bagaimana keadaan benda bersejarah dan purbakala di Kabupaten Lumajang?
2.      Bagaimana latar belakang benda bersejarah dan purbakala di Kabupaten Lumajang?
3.      Bagaimana pengembangan bahan ajar benda bersejarah dan purbakala sekolah-sekolah di Kabupaten Lumajang?
C.    Tujuan Penelitian Masalah:
Tujuan penelitian ini adalah:
1.      Mendeskripsikan keadaan benda bersejarah dan purbakala di Kabupaten Lumajang.
2.      Mendeskripsikan latar belakang benda bersejarah dan purbakala di Kabupaten Lumajang.
3.      Mendeskripsikan pengembangan bahan ajar benda bersejarah dan purbakala di sekolah-sekolah Kabupaten Lumajang.
D.    Manfaat penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai berikut:
1. Bagi jurusan sejarah Universitas Negeri Malang
Sebagai sumber referensi dan dokumentasi yang diperlukan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan,  terutama tentang penulisan Sejarah daerah dan hasil peninggalan-peninggalannya yang belum banyak diketahui padahal sebenarnya dapat dipakai media pembelajaran. Hasil penelitian ini tentunya akan menambah informasi bagi penelitian selanjutnya dan dapat menambah perbendaharaan karya ilmiah bagi lembaga yang terkait.
2. Bagi Masyarakat Luas
Untuk mengembangkan pemahaman masyarakat, dalam melihat peristiwa Sejarah tidak hanya dari satu sudut pandang saja.
3. Bagi Peneliti.
a. Melatih berfikir kritis dan berani mengungkapkan pendapat.
b. Dengan penelitian ini, peneliti mendapatkan tambahan pengetahuan tentang bidang Sejarah yang dapat digunakan untuk mengaplikasikan ilmu atau pengetahuan yang telah diterima selama di bangku perkuliahan yang tentunya akan sangat berguna bagi peneliti dikemudian hari.
4. Bagi Pemerintah Kota Lumajang
     Menambah dan melengkapi kumpulan referensi serta informasi tentang keberadaan tempat-tempat benda bersejarah dan purbakala dan dapat sebagai media pembelajaran sejarah, dengan adanya pemetaan lokasi ini memudahkan guru sejarah mengetahui titik lokasi keberadaan tempat-tempat benda bersejarah.
E.     Kajian pustaka
1.      Media dan pendidikan
Kata media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti pentara atau pengantar. Modoe adalah perantara atau pengantar pesan dari pengiriman ke penerima pesan.
Banyak batasan yang diberikan orang tentang media. Asosiasi Teknologi dan komunikasi pendidikan (Association of Education and Communication) di Amerika membatasi media segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan atau informasi. Gagne (1970) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merengsangnya untuk belajar. Sementara itu Briggs (1970) berbendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar, Buku, film, kaset,flim bingkai adalah contoh-contohnya (Sadiman, ddk,  2008:8).
Memilih dan menggunakan media merupakan salah satu tugas guru dalam proses pembelajaran. Berikut ini akan kita bahas beberapa hal terkait dengan Media Pembelajaran. Maksud penyajian bahan ini adalah untuk memperkaya khasanah pengetahuan tentang Media Pembelajaran, mengingat tugas pokok  sebagai guru adalah membimbing dan mempermudah belajar siswa (pembelajaran). Secara spesifik bahan ini memuat pokok-pokok sebagai berikut: (a) pentingnya teori-teori belajar dalam kaitannya dengan pemilihan dan penggunaan media pembelajaran; (b) pentingnya media pembelajaran disekolah; (c) beberapa faktor yang diperlukan diperhatikan dalam memilih media pembelajaran; (d) prosedur pemilihan media; (e) prinsip pemilihan media dan (f) kriteria pemilihan media menurut Gerlach dan Ely; (g) strategi pembelajaran dan (h) proses pemilhan media(Punaji, 2008:1)
Dari 8 kriteria tersebut yaitu, salah satu pokok yang penting prosedur dan prinsip pemilihan media.
Prosedur Pemilihan Media
Dalam penggunanya, media pemebelajaran tidak dapat digunakan begitu saja oleh guru. Gagne mengemukakan bahwa tidak ada satu media pun yang mungkin paling cocok untuk mencapai semua tujuan. Media pembelajaran yang kita gunakan di kelas untuk satu tipe isi pokok bahasan akan berbeda dengan tipe isi pokok bahasan yang lain. Misalnya,tipe isi pokok bahasan yang merupakan konsep memerlukan media yang berbeda dengan tipe isi pokok bahasan yang berupa prinsip atau prosedur. Konsep bahwa dunia bulat dalam geografi tidak serta merta memberikeyakinan kepada siswa. Kita tunjukan melalui media globe.
Prosedur (langkah-langkah) yang perlu kita perhatikan dalam memilih media pembelajaran, sebagai berikut:
1)      Identifikasi ciri-ciri media yang diperlukan sesuai dengan kondisi, untuk kerja (performance) atau tingkat setiap tujuan pembelajaran.
2)      Idetifikasi karakteritik siswa (pebelajar) yang memerlukan media pembelajaran khusus.
3)      Identifikasi karakteristik lingkungan belajar berkenaan dengan media pembelajaran yang akan digunakan.
4)      Idetifikasi pertimbangan-pertimbangan praktis yang memungkinkan media mana yang mudah diusahakan atau dilaksanakan.
5)      Identifiksi faktor ekonomi dan organisasi yang mungkin menentukan kemudahan penggunaan media pembelajaran.
Prinsip-Prinsip Pemilihan Media
      Ada beberapa prinsip umum dalam memilih dan menggunakan media pembelajaran. Prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut ini.
1.      Tak ada satupun media, prosedur dan pengalaman belajar yang paling baik untuk belajar, pengunaan media itu harus sesuai dengan tujuan khusus pembelajaran.
2.      Anda harus mengetahui secara menyeluruh kesesuaian antara isi dan tujuan khusus program.
3.      Media harus mempertimbangkan kesesuaian antara pengunaannya dengan cara pembelajaran yang dipilih.
4.      Pemilihan media itu sendiri jangan tergantung pada pemilihan dan penggunaan media tertentu saja.
5.      Sadarlah bahwa media yang paling baik pun apabila tidak dimanfaatkan secara baik akan berdampak kurang baik atau media tersebut digunakan dalam lingkungan yang kurang baik.
6.      Kita menyadari bahwa pengalaman, kesukaan, minat dan kemampuan individu serta gaya belajar mungkin berpengaruh terhadap hasil pengguanan media.
7.      Kita menyadari bahwa sumber-sumber dan pengalaman belajar buakan hal-hal yang berkaiktan dengan baik atau buruk tetapi sumber-sumber dan pengalaman belajar ini berkaitan dengan hal yang konkrit atau abstrak.
Kriteria pemilihan                                                                         
            Kemampuan guru atau pembelajaran dalam memilih media yang sesuai dengan tujuan yang di ingin dicapai merupakan pertimbangan penting yang lain dalam  proses pembelajaran. Pemilihan media yang kurang tepat, bahkan sama sekali tidak relevan (asal pilih saja) dapat mengurangi daya tangkap siswa (pebelajar) terhadap bahan ajar yang sedang dipelajari. Mengapa demikian? Sebab pemilihan media yang kurang tepat ini bukan menambah kejelasan informasi yang diberikan, tetapi akan justru menambah kekabuaran informasi yang diperoleh. Oleh sebab itu, pemilihan media pembelajaran perlu dilakukan secara lebih cermat dan tepat sasaran. Walaupun tidak ada satu media pun yang cocok untuk satu jenis informasi, mengikat bahwa setiap media memiliki karateristiknya masing-masing. Artinya satu media efektif dipakai untuk menyajikan informasi, sedangkan media yang lain efektif untuk penyajian psikomotorik. Misalnya, untuk melatih gerak maka guru perlu menunjukan cara atau prosedur melakukan tindakan, contohnya memukul bola. Hal yang paling penting diperhatikan oleh guru atau pembelajaran dalam memilih media, yaitu tersedianya sumber, latar, dan personalia.
            Ada lima kriteria atau prinsip pemilihan media. Kriteria pemilihan media pembelajaran itu meliputi; 1) kesesuaian (appropriatenees), 2) tingkat kesulitan (level of sophistication), 3) Biaya (cost), 4) ketersediaan (availability), dan 5) kualitas teknis (technical qualty) (Punaji, 2008;22-23).
            Istilah pendidikan dalam bahasa Inggris “education” berakar dalam bahasa latin “educare” yang dapat diartikan pembimbingan berkelanjutan (to lead forth) (Suhartono, 2008;77).
            Pendidikan adalah usaha sadar dan terus menerus oleh manusia dalam menyelaraskan kepribadiannya dengan keyakinan dan nilai-nilai yang beredar dan berlaku dalam masyarakat berikut kebudayaannya.
            Bertrand Russell menyatakan bahwa ciri pendidikan ada pada nilai-nilai kejujuran dan keberanian. Seperti tertuang dalam pertanyaannya: “pendidilkan dimaksimalkan supaya manusia mencerminkan lingkungannya dengan tepat lewat pengetahuannya yang diperoleh dengan kecerdasan supaya ia melibatkan diri secara emosional dengan cinta, keramahan dan keadilan pada sesama. Akhirnya, supaya ia mengembangkan kehendak dan kemampuannya untuk proyek-proyek kemanusian dan tidak mengalami kendala “chauvinisme sempit”(Russell 1993). Untuk itu menurut Russell, perlu diciptakan sistem pendidikan yang bebas dari represi. Hal ini senada di ungkapakan Schumcher. Dalam dua karya, small is beatiful (1973) dan Good Work (1979), Schumacher menyatakan bahwa pendidikan harus dapat memberikan kemampuan hidup dan menginterpretasikan dunia.
            Perkembangan masyarakat modern dewasa ini, bahwa dorongan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi juga industralisasi dan kemajuan metodologi praktik pendidikan. Pendidikan yang sanggup mengantisipasi zamannya menjadikan sebuah masyarakat yang terdidik dengan baik lebih percaya diri dalam menghadapi lingkungan yang bersekala global dan semakin kompotitif. Pendidikandengan demikian merupakan kata kunci masa depan. Pendidikan membekali masyarakat dengan seperangkat sikap, cara pandang, dan nilai-nilai yang berguna di masa mendatang. Secara konseptual, pendidikan lebih terbuka bagi tranformasi nilai-nilai baru yang tidak membelenggu dan membebaskan (Darsi, 1989).
            Pada kenyataan, pendidikan mengalami perubahan dari waktu-waktu sesuai perubahan zaman yang begitu cepat. Sehingga filusuf pendidikan John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah proses pembaruan makna-makna pengalaman lewat proses transmisi insidental dan internasional. Dengan usaha demikian, pendidikan membantu manusia merealisasikan segala kemampuan yang ada di dalam dirinya untuk menjadi pribadi yang mandiri. Untuk perlu sebuah metode pendidikan yang benar-benar mampu membuat manusia sadar sebagai subjek perilaku dari perubahan.
            Karena pendidikan dapat dipahami sebagai rangkaian usaha pemberuan. Sebagai rangkaian usaha pembaruan. Sebagai usaha pembaruan, R.S Peters dalam bukunya The Philosophi of Education menandakan bahwa, pendidikan pada hakikatnya tidak mengenal akhir, karena kualitas kehidupan manusia terus meningkat. Untuk itu apa yang harus dipersoalkan bukan persiapan kearah tujuan, melainkan bagaimana orang bertindak saat ini. Sehingga jika metode pendidikan yang diguuakan jelas dan bersifat membebaskan, maka akan dihasilkan pribadi-pribadi yang responsif, aktif dan kreatif. Hanya dalam situasi pendidikan yang dialogislah orang akan tetap dapat mengikuti perubahan jaman.
            Secara tradisional, ada pendapat bahwa pendidikan harus bersendikan nilai-nilai yang dijunjung tinggi sekaligus teruji oleh waktu. Pandangan ini disebut esensialisme. Pandangan lainnya mengatakan bahwa pendidikan harus mengupayakan perkembangan akal budi manusia semaksimal mungkin. Karenanya, pendidikan harus berpusat pada pendidik. Paham yang menyakini demikian ini disebut perenialisme. Kedua paham yang bersifat tradisional konservatif ini sama-sama memandang manusia sebagai makhluk budaya. Artinya keberadaan manusia dianggap memiliki peranan sebagai penghayat, pelaksana, dan sebagai pengembang kehidupan. Pendidikan sebgai subjek pembawa nilai dan norman budaya menduduki posisi sentaral dalam proses pendidikan (Barnadib,1996). Pandangan tentang pendidikan semacam ini pada praktiknya cenderung bersifat otoriter, dan menghalangi kesadaran peserta didik untuk dikembangkan. Aktifitas pendidikan kemudian berbelok menjadi tindakan- tindakan menundukan peserta didik (Murtiningsih, 2004:1-3).
            Langeveld mengemukakan jenis tujuan pendidikan; 1) Tujuan umum pendidikan. 2) Tujuan khusus pendidikan yaitu pengkhususan dari tujuan umum tersebut, yaitu tujuan yang dirumuskan berhubungan dengan situasi dan pandangan hidup suatu masyarakat tertentu, misal tujuan pendidikan atas dasar filsafat hidup pancasila. 3) Tujuan isidensil yaitu tujuan yang tidak selalu jelas hubungannya dengan tujuan umum yang ingin dicapai, misal mengajak anak-anak makan bersama, disini jika dicari apa hubungan dengan tujuan umum pendidikan, pasti ada. 4) Tujuan sementara tujuan yang bertalian dengan perkembangan anak, di mulai dari masa bayi sampai anak itu menjadi dewasa, misalnya anak waktu bayi diurus dan diasuh dengan segala kemesrasaan dan kecermatan oleh ibu demi terciptanya tujuan pendidikan, secara tahap demi. 5) Tujuan lengkap artinya tujuan yang meliputi berbagai aspek dan seluruh kepribadian seutuhnya seperti tujuan pendidikan jasmani, tujuan pendidikan intelektual, tujuan pendidikan watak, pendidikan kemauan, pendidikan religius, dan sebagainya. 6) Tujuan intermidier, artinya tujuan terpotong-potong yang lebih menitik beratkan pelaksaan teknisnya, tanpa di hubungkan dengantujuan umum pendidikan sehingga tidak melibatkan berbagai pemikiran filsafati, misal pokok bahasa dalam kelas mengenai salah satu mata pelajaran.
            Dalam naskah yang terkenal “The Republic” tulisan Plato, dirumuskan tujuan pendidikan ialah untuk mencapai masyarakat yang adil (justice) dipimpin oleh seoarang raja yang sekaligus seorang filusuf (Philosoper King), yang diasumsikan sebagai raja yang mengetahui kebenaran Hakiki, sehingga tidak menyalah gunakan kekuasaannya (Pribadi, 1987:53-54).
            Walaupun telah sama-sama mengarah pada suatu tujuan tertantu, para ahli masih belum seragam dalam mendefinisikan istilah pendidikan. Driyarkarya (1980) mengatakan bahwa pendidikan itu adalah memanusiakan muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf mendidik. Dalam Dictonary of education dinyatakan bahwa pendidikan adalah: (a) proses seseorang mengambarkan kemampuan, sikap, dan tingkah laku didalam masyarakat tempat mereka hidup. (b) proses sosial yang terjadi pada orang yang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah) sehingga mereka dapat memperoleh perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum. Dengan kata lain pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang sifatnya permanen (tetap) dalam tingkah laku, pikiran dan sikapnya. Pengertian lain di ungkapkan oleh Crawand Crow (1980), pendidikan tidak hanya dipandang sebagai sarana untuk persiapan hidup yang akan datang, tetapi juga kehidupan sekarang yang di alami individu dalam perkembangannya. Menuju ketingkat kedewasaannya. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diidentifikasikan beberapa ciri pendidikan antara lain, yaitu: a) pendidikan mengandung tujuan, yaitu kemampuan untuk berkembang sehingga pemanfaatan untuk kepentingan hidup. b) untuk mencapai tujuan pendidikan melakukan usaha yang terencana dalam memilih isi (materi) strategi, dan teknik penilainya yang sesuai. e) kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat (formal dan nonformal). Apabila dikaitakan dengan keberadaan dan terakit kehidupan manusia kemanakah pendidikan itu diarahkan? yakni untuk pembentukan kepribadian sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makluk beragama (religius) (Fattah, 2008;4).
2.      Pembelajaran Sejarah
Landasan awal teori yang relevan untuk mengembangkan pembelajaran. Terdapat perbedaan sudut pandang tentang teori dan proses belajar merupakan hal yang wajar. Namun, perlu kita kaji kembali tiga teori yang paling sering disebut sebagai dasar pembelajaran, yaitu behaviourism, cognitivism dan constructivism (Suyanto,2008:2)
Pengertian belajar menurut pandangan teori behaviourism.                                                  
Menurut teori behaviourism, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang di alami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia berusaha giat, dan gurunyapun sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia balum menunjukan perubahan perilaku sebagai hasil belajar.
Menurut teori ini terpenting adalah masukan input yang berupa stimulus dan keluaran atau Output yang berupa respon. Dalam contoh diatas, stimulus adalah apa saja yang di berikan guru kepada siswa misal daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, tahu cara tertentu, untuk membantu belajar siswa, sedangkan respon adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Menurut teori behaviourism, apa yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respon), semuanya harus dapat diamati dan dapat diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untul melihat terjadinya tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Tokoh-tokoh aliran behaviourism di antaranya adalah Thorndike, Waston, Clark Hull, Edwin Guthrie, dansekiner. Pada dasarnya para penganut aliran behaviourism setuju dengan pengertian belajar diatas, namun ada beberapa perbedaan pendapat diantra mereka. Secara singkat, berturut-turut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behaviourisme sebagai berikut:
Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike,belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimuculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan atau tindakan. Dari difinisi belajar tersebut maka menurut Throndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu berwujud konkrit yaitu dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang tidak diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutakan pengukuran, namun ia tidak dapat menjelaskan bagaiman cara mengukur tingkah laku yang dapat diamati. Namun demikian, teorinya telah banyak memberikan pemikiran dan inspirasi kepada tokoh-tokoh lain yang datang kemudian. Teori ini disebut juga sebagai aliran koneksionisme (Connectionism).
Teori Belajar Menurut Watson
Waston adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang sesudah Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara setimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia menggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum kareana tidak dapat diamati.
Waston adalah behavioris murni, karena kajianya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu seperti fisika atau biologi yang sangat berorentasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh dapat diukur. Asumsinya bahwa, hanya dengan cara demikianlah maka dapat diramalkan perubahan-perubahan apa yang akan terjadi setelah seseorang melakukan tindak belajar. Para tokoh aliran behavioristik cenderung tidak memperhatikan hal-hal yang tidak dapat diukur dan tidak dapat diamati, seperti perubahan-perubahan mental yang terjadi ketika belajar, walaupun demikian mereka tetap mengakui hal itu penting.
Teori Belajar Menurut Clark Hull      
Clark Hull juga mengukanakan variabel hubuangan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolus, semua fungsi tingkah laku bermanfaat untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori Hull mengatakan hal bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walupun respon yang akan muncul mungkin akan dapat bermacam-macam bentuknya. Dalam kenyataannya, teori-teori demikian tidak banyak digunakan dalam kehidupan praktis, terutama setelah Skiner memperkenalkan teorinya. Namun teori ini masih sering dipergunakan dalam beberapa eksperimen di laboratorium.
Teori Belajar menurut Edwin Guthrie           
Demikian juga dengan Edwin Guthrie, ia juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Namun ia mengemukan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana yang dijelaskannya oleh Clark dan Hull. Di jelaskannya bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat lebih tetap. Ia juga mengemukakan,agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagi macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut. Guthrie juga percaya bahwa hukum (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberiakan pada saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Namun setelah Skiner mengemukakan dan mempopulerkan akan pentingnya penguatan (reinforcemant) dalam teori belajarnya, maka hukuman tidak lagi diperhatikan dalam belajar.
Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukan oleh skiner tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaska konsep belajara secara sederhana, namun dapat menujukan konsepnya tentang belajar secara lebih komperatif. Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya. Dikatakan bahwa respon yang diberikan oleh seseoarang atau siswa tidaklah sesederhana itu. Sebab, pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang akan saling berinteraksi antara stimulus-stimulus tersebut akan mempengaruhui bentuk respon yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon yang dimuculkan ini pun mempunyai konsekuensi-kosekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada giliranya akan mempegaruhi atau menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu denganyang lainya, serta memahami respon yang mungkin dimunculkan dan berbagai kosekuensi yang mungkin akan timbul sebagai `kibat dari respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang di gunakan perlu penjelasan lagi, demikian dan seterusnya.
Pandangan teori belajar behavioristik ini cukup lama dianut oleh para guru dan pendidik. Namun dari semua pendukung teori ini, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teahcing Machine, pembelajaran berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus respons serta mementingkan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang di kemukaan oleh Skinner (Budiningsih, 2005:20-24).


Pengertian belajar menurut pandangan teori cognitivism
Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik. Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Tidak seperti model belajar behavioristik yang mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan stimulus-respon, model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perseptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah sesorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat sebagai tingkah laku yang nampak.
Teori kognitif  juga menekankan bahwa bagaimana bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Memisahkan-misahkan atau membagi-bagi situasi atau materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, resistensi, penglolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berfikir yang sangat komplek. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan seperti: tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget, Advance organizer oleh Ausubel, pemahaman konsep oleh Burner, Hirarki belajar oleh Gagne, Webteachig oleh norma dan sebagainya (Budiningsih, 2005:34).
Piaget
 Munurut Piaget, proses belajar harus disesusikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Piaget membaginya menjadi empat tahap.
1.      Tahap sensorimotor (ketika anak berumur 1,5 sampai 2 tahun)
2.      Tahapan Praoperasioanl (2/3 sampai 7/8 tahun)
3.      Tahap operasional Konkret (7/8 sampai 12/14 tahun) dan
4.      Tahap operasional Formal (14 tahun atau lebih)
Proses belajar tahap yang dialami seseorang anak pada tahap sensorimotor tentu lain dengan yang dialami seseorang anak yang sudah mencapai tahap kedua (proposional) dan lain lagi yang dialami siswa lain yang telah sampai ke tahap yang lebih tinggi (operasional kongkrit dan operasional formal). Secara umum, semakin tinggi tingkatan kognitif seseorang semakin teratur (dan juga semakin abstrak) cara berfikir. Maka, guru seyogyanya memahami tahap-tahap perkembangan anak didik ini, serta memberikan materi pelajar dan jumlah jenis yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.
Ausubel
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut pengatur kemajuan belajar (Advance Organizer) didefinisikan dan dipersentasikan dengan baik dapat dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umun yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.
Ausubel percaya bahwa “advance Organizer” dapat memberikan tiga macam manfaat, yakni:
1.      Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa.
2.      Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari siswa saat ini dengan apa yang akan dipelajari siswa; dan
3.      mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih muda.
Untuk ini, pengetahuan dan penguasan guru terhadap ini mata pelajaran harus sangat baik. Hanya dengan demikian  seorang guru akan mampu menemukan informasi, yang menurut Ausubel sangat abstrak, umum dan inklusif, yang memadahi apa yang akan diajarkan itu. Selain itu, logika pikiran guru juga dituntut sebaik mungkin. Tanpa memiliki logika berpikir yang baik, guru akan mendapat kesulitan memilih-milih materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat, serta mengurutkan materi dami materi ini kedalam struktur urutan yang logis dan mudah di pahami.
Burner
Burner mengusulkan teorinya yang disebut “free discovery lerning”.menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik bila guru kreatif dan memberikan kerempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) anturan yang menjadi sumbernya.
Dengan kata lain, siswa dibimbing secara idukatif untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk memahami konsep” kejujuran” misalnya, siswa tidak pertama-tama menghafalkan definisi kata itu, tetapai mempelajari contoh-contoh konkrit tentang kejujuran, dan contoh-contoh itulah siswa di bimbing untuk mendefinisikan kata kejujuran.
Lawan dari pendekatan ini disebut “belajar ekspositori”(belajar dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini, siswa disodori sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan informasi ini melalui pertama-tama diberi definisi tentang kejujuran dan dari definisi itulah siswa diminta untuk mencari contoh-contoh yang konkret yang dapat menggambarkan makna kata tersbut. Proses dalam belajar ini jelas berjalan secara deduktif.
Istilah strategi kognitif dipakai oleh Arends (1988) untuk strategi berfikir yang bersifat komplek yang berkenaan dengan kecakapan menerima, menyimpan, dan mencari kembali informsi (Suyanto, 2008:5-7).
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic.
1.      Tahap enaktif, sesorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan dan sebagainya.
2.      Tahap ikonik, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perempuan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
3.      Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitar anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, metematika dan sebagainya. Komunikasinya di lakukan  dengan mengunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berfikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia tidak lagi menggunakan sistem enaktif dan ikonif. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukannya sistem enaktif dan ikonik dalam proses belajar (Budiningsih,2005:41-42).
Proses Belajar Munurut Teori Konstruktivistik                                                                     
Menurut ahli para Constructivism, “belajar” merupakan pemakna pengetahuan. Sedangakan pengetahuan bersifat temporer, selalu berubah. Karena segala sesuatu bersifat temporer maka manusialah yang harus memberi makna terhadap realitas. Dalam hal ini belajar adalah proses pemaknaan informasi baru.
Pada kenyataan kita tidak pernah memperoleh pengetahuan yang telah jadi atau dalam paket-paket, yang dapat dipersepsi secara langsung. Semua pengetahuan, metode untuk mengetahui, dasn berbagai disiplin ilmu yang ada dalam masyarakat dibagun (contructed) oleh pikiran manusia.
Constructivisme adalah salah satu filsafat yang percaya bahwa pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan bukan gambaran dari dunia kenyataan yang ada, tetapi merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Proses pembentukan pengetahuan ini berjalan terus menerus dan setiap kali ada reorganisasi karena terjadi suatu pemaham baru.
Para ahli teori konstruktif percaya bahwa pengetahuan itu tidak dapat begitu saja dipindahkan dari otak seseorang (guru) ke kepala yang diajar (siswa). Siswa sendiri yang harus mengertikan atau memberikan makna apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka (Suyanto, 2008:7).
Peranan siswa (si pelajar). Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pebentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif  berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadi belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat siswa sendiri. Dengan istilah lain, dan dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Paragdigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah mewakili kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam dalam mengontruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
Peran guru dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa belajar lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuan sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauan.
Peranan kunci guru dalam intraksi pendidikan adalah pengendalian, meliputi:
1.      Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan.
2.      Menumbuhkan kemampaun mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3.      Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana belajar. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksikan pengetahuan sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainya disedikan untuk membentu tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berfikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.
Evaluasi belajar. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengatahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memnculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi balajar antara pandangan behavioristik (tradisional) yang obyektif dan konstruktivistik. Pembelajaran yang diperogramkan dan didesain banyak yang mengacu pada mengarah pada konstruktivistik. Obyektif mengakui adanya reliabilitas pengetahuan, bahwa pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseoarang akan dihasilakan oleh proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata. Tujuan perancang dan guru-guru tardisional adalah menginterpetasikan kejadian-kejadian nyata yang akan diberikan kepada siswa.
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseoarang. Manusia mengkontruksi dan menginterpretasikanya berdasarkan pengalamannya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk mengterpretasikan objek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah istrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan terhadap dunia nyata, dimana interpretasi tersbut terdiri dari pengetahuan dasar manusia.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasikan informasi kedalam pikirannya hanya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi dan konseptual dunia eksternal (Budiningsih, 2005:58-61).
            Karakter pembelajaran sejarah adalah pertama sejarah terkait dengan masa lampau, namun materi intinya dari pembelajaran sejarah adalah produk masa kini dengan berdasarkan sumber yang ada. Oleh kerena itu pembelajaran sejarah memicu berfikir kritis, cermat dan berdasarkan bukti-bukti sumber sejarah. Kedua bersifat kronologis. Jadi dalam menjelaskan matari pembelajaran sejarah harus sesuai dengan urutan dari kronologis peristiwa sejarah. Ketiga ilmu sejarah mempunyai tiga unsur penting yaitu, manusia, ruang dan waktu. Berdasarkan tiga unsur penting tersebut dalam mengembangan pembelajaran sejarah harus mengingat siapa pelaku sejarah, dimana dan kapan. Keempat persepektif waktu dalam sejarah ada waktu masa lampu, kini dan sekarang. Dengan tiga persepektif waktu tersebut matari sejarah dapat didesain dengan persoalan masa kini dan masa yang akan datang.
3.      Tempat Benda Bersejarah dan Purbakala
Tempat benda bersejarah atau situs adalah lokasi yang didalamnya mengandung atau ada dugaan mengandung cagar budaya. Situs ini dapat ditentukan sesuai dengan spasialnya waktunya, seperti situs purbakala yang didalam terdapat kandungan nilai sejarah pada masa purbakala, bagitu situs kelonial yang didalamnya terdapat nilai sejarah pada masa konial dan begitu situs masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Berdasarkan  undang-undang Republik Indoensia Nomer 5 Tahun 1992 tentang cagar budaya. Pada pasal 1 yang berbunyi benda cagar budaya adalah: a) benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang merupakan kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan; b) benda alam yang dianggap mempuyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
F.     Metode penelitian
Metode yang digunakan adalah kualitatif, dengan strategi multi metode, dengan metode utama interviu, observasi dan studi dokumenter (Sukamadinata, 2007:116). Metode sejarah dengan menggunakan metode pengumpulan data dokumen,arsip dan observasi. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Metode penelitian sejarah adalah metode penelitian tentang masa lampau yang dilakukan secara sistematik dan sedikit obyektif dengan melibatkan ruang dan waktu. Hal ini dilakukan untuk memperoleh hasil penulisan yang bersifat ilmiah dan bukan hasil penulisan yang didasarkan penulisan semata. Pengertian metode dan metodologi mempunyai hubungan erat meskipun dapat dibedakan. Menurut Kuntowijoyo, metode sejarah adalah petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi dan penyajian sejarah (Kuntowijoyo, 2003:5)
      Metodologi adalah keseluruhan metode, prosedur-prosedur, konsep kerja, teknik-teknik dan pendekatan yang dipakai untuk memecahkan suatu masalah (Sjamsudin 1996: 2). Metode sejarah adalah seperangkat sistem yang berisi norma-norma, aturan-aturan, yang harus diikuti dalam menyusun fakta-fakta yang telah diuji dalam suatu hubungan guna menyusun peristiwa (Sjamsudin 1996: 5). Maka dalam penulisan ini penulis mengambil langkah sebagai berikut.
1. Pemilihan Topik.
Dipilihnya topik studi tempat-tempat bersejarah dan purbalakala sebagai pengembangan bahan ajar. Karena dengan adanya peninggalan-peninggalan benda bersejarah dan purbakala di wilayah Lumajang ini merupakan bentuk dari potensi sumber daya buatan. Jenis sumber daya tersebut dapat dikelola dengan serasi, seimbang dan selaras untuk kemanfaatan masyarakat.
Wilayah Lumajang dalam perjalanan sejarahnya dengan waktu yang panjang. Dengan ditemukan tempat-tempat benda bersejarah pada masa Hidhu-Budha, Hinda-Belanda, pendudukan Jepang dan masa kemerdekaan Indonesia. Dilihat dari segi pontensi ini pemilhan topik studi tempat-tempat bersejarah dan purbakala sebagai pemaksimalan media pembelajaran sejarah. Dengan mencari lokasi letak tempat-tempat benda bersejarah dan purbakala secara jelas, menganalis sejarahnya dan tempat benda bersejarah dan purbakala, apakah dekat dengan sekolah-sekolah yang tersebar diwilayah Lumajang, kalau lokasi tersebut dekat dengan sekolah ini dapat dimanfaatkan media pembelajaran sejarah. Topik ini saya angkat dikarenakan dalam sisi lain, dimana permasalahan para pendidik (guru) mata pelajaran sejarah yang kurang memperhatikan tempat-tempat benda bersejarah  yang ada diwilayah sekitarnya, khusus di Lumajang. Tenaga pendidik (guru) mata pelajaran sejarah yang bukan berasal dari Lumajang dan tidak ada basic dari studi sejarah, ini setidak dapat memberikan masalah, misal pontesi sejarah lokal tidak di manfaatkan secara maksimal dalam pembelajaran sejarah. Jika pemaksilan tempat-tempat benda bersejarah dan purbakala dalam pembelajaran sejarah secara maksimal akan secara otomatis merangsang pelestarian tempat-tempat benda bersejarah dan purbakala.
Kedekatan emosional peneliti yang berkaitan dengan ruang lingkup penelitian diwilayah Lumajang. Peneliti yang berasal dari Lumajang ini memberikan wawasan tahap awal untuk mengetahui medan dan sebagai bekal awal untuk pengumpulan data yang akan berkesinambungan. Bagi peneliti banyak hal yang penting dan menarik sebagai tema penulis.
2. Heuristik      
Sejarawan yang melakukan penelitian terhadap peristiwa sejarah, biasanya tidak berangkat dari nol, akan tetapi memerlukan buku-buku rujukan atau sumber yang dipakai. Dengan adanya hubungan masa lalu melalui warisan. Dalam pandangan warisan itu dapat dipandang sebagai bentuk komunikasi masa kini dengan masa lalu. Menurut bentuk warisan itu dapat dibagi tiga yaitu warisan lisan, tulisan dan visual. Ketiga macam warisan merupakan sumber sejarah mendapatkan bahan-bahanya.
            Warisan Lisan.
Sumber lisan 2 macam kategori yaitu:
·         Sejarah lisan (oral history), ingatan lisan (oral meminiscence) yaitu ingatan dalam tangan pertama yang dituturkan secara lisan oleh orang-orang yang di wawancarai oleh sejarahwan. Dipakai dalam menganalisis sejarah tempat-tempat benda bersejarah dan purbkala yang berada di Kabupaten Lumajang.
·         Tradisi lisan (oral tradition), yaitu narasi dan diskripsi dari orang-orang dan peristiwa-peristiwa pada masa lalu yang disampaikan dari mulut-kemulut selama beberapa generasi. Di negara-negara industri maju, tradisi lisan ini dapat dikatakan sudah lenyap, tetapi di negara-negara yang berkembang dimana melek huruf belum dapat menggantikan sama sekali budaya lisan, tradisi ini masih bisa bertahan dan masih hidup. Ini dapat dipakai dalam mencari informasi letak benda-benda bersejarah dan purbakala apabila ada kesulitan dalam mencari lokasi tempat benda bersejarah.
Sejarah lisan di anggap mempunyai kecenderungan demokratis atau populis karena memberikan kesempatan bersuara tidak saja kepada orang-orang kaya dan vokal tetapi juga kepada orang-orang biasa (tentu saja disamphng penggunaan sumber-sumber tertulis), dengan mendengarkan suara dari bahwa maka berkembang sejarah sosial yang membahas sejarah masyarakat secara keseluruhan (termasuk problem kehidupan sehari-hari yang mereka hadapi); tentang buruh ( buruh tani, buruh lepas), petani, pedangan, keliling, komunitas, imigran yang melarat, tentang kekerasan dan kejahatan, mabuk, kekurangan gizi dan sebagai (Sjamsuddin, 1996: 78-80).
Warisan tulisan.
Berbentuk pengawetan melalui tulisan dan ini mempunyai berbagai bentuk seperti bentuk surat instruksi, pembukuan, berita pemerintah, perpustakaan, museum, surat kabar, majalah, peta dan lain-lain bahn yang tertulis. Kata arsip sendiri berasal dari bahasa yunani “archaian” yang berarti gudang kantor (office building). Dan arti lain dari arsip adalah himpuan tertulis.
Warisan visual.
Di golongkan barang-barang yang terbentuk dan berupa dari masa lalu itu adalah pernyataan cara berfikir dan merasa dari bangsa yang mendukung kebudayaan itu. Tiap karya seni atau karya budaya dan ciptaan pribadi atau golongan pribadi sebagai anggota masyarakat, yang mewakili bangsa dalam kehidupan kebudayaan, bertolak dari benda kebudayaan, kita dapat mengajukan cara berfikir dan merasa, selanjutnya dapat menafsirkan dan menjelaskan segala sesuatu mengenai bangsa itu dalam sejarah. Alat kerja, senjata, perhiasan, dan barang lain yang mereka pergunakan rumah, candi, atau benteng yang mereka dirikan, bahkan tempat pemkaman (juga unsur Kebudayaan) yang mereka bikin dan lain-lain membawa kata langsung berhubungan dengan masa lalu (Gazalba, 1981: 111-112).
Dalam padangan sejarahwan bahwa sumber-sumber asli sebagai sumber pertama (primary sources). Sedangkan apa yang telah ditulis oleh sejarahwan sekarang atau sebelumnya berdasarkan sumber-sumber pertama disebut sumber kedua (secondary sources). Pada giliranya sumber kedua ini dikutib lagi penulis berikutnya sehingga hasilnya menjadi sumber ketiga dan seterusnya. Buku-buku sekolah-sekolah yang sekarang ini umumnya sudah sumber ketiga atau keempat (Sjamsuddin, 1996: 80).
3. Kritik
Dalam usaha mencari kebenaran (trauth). Sejarahwan dihadapkan dengan kebutuhan untuk membedakan apa yang benar, apa yang tidak benar (palsu) oleh karena itu melakukan proses verfikasi dengan cara pengujian terhadap sumber maka akan dilakukan suatu kritik terhadap sumber tersebut. Dalam proses kritik dibagi dua bagian yaitu kritik eksteren dan kritik intern (Sjamsuddin, 1996: 105).
1. Kritik Ekstern.
Kritik ekstern ialah cara melakukan verifikasi atau pengajian terhadap aspek luar dari sumber sejarah. Sebelum semua kesaksian yag berhasil dikumpulkan selah sejarawan dapat digunakan untuk merokontruksi masa lalu, maka terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan ketat. Sehingga kebenaran yang diharapkan dapat diperoleh dan tidak diragukan lagi.
Dalam penelitian ini, kritik ekstern dengan melihat bahan bagunan dapat menentukan apakah bisa dapat dipakai bukti awal dalam kategori peninggalan sejarah, begitu juga, memberikan informasi pada pengambilan data dan mencapai data yang benar dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya.
2. Kritik Intern
Kritik internal sebagaimana yang disarankan oleh istilahnya menekankan aspek yaitu isi dari sumber. Kritik internal berusaha memastika peristiwa yang dinyatakan olah bahan. Dalam penerapan kritik internal ini dilakukan sekarang. Kurangnya melalui dua langkah, pertama dalam penilaian dari dalam (intrinsik). Maksudnya adalah mencari arti sebenarnya suatu kesaksian dalam sumber. Kedua, dengan perbandingan antara sumber yang lain sehingga dengan langkah ini, dapat diharapkan memberikan gambaran yang lebih mendekati kebenaran.
Sumber-sumber yang dipakai kemudian saling di bandingkan antara satu dengan yang lain yang menjelaskan tentang keberadaan tempat atau latar belakang sejarah dari benda sejarah dan purbakala. Dengan perbandingan ini merupakan langkah untuk menuju perolehan data yang diaharapakan dari si peneliti.
Pada kritik intern, penulis akan melakukan wawancara mendalam dengan beberapa tokoh masyarakat yang berhubungan dalam rentangan waktu penelitian. Untuk memperoleh data dari permasalahan yang ada. Setelah wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat maka wawancara dengan tokoh masyarakat yang lain juga dilakukan kemudian dilakukan perbandingan antara pendapat kedua tokoh tersebut mana yang hampir mendekati fakta. Penerapan kritik intern yakni dengan membandingkan berbagai sumber yang tidak berhubungan satu dengan lainnya dan nantinya diambil satu kesimpulan yang hampir mendekati fakta. Dengan ini dapat peroleh latar belakang sejarah tempat benda bersejarah dan purbakala dapat diandalkan.
4. Interpretasi
Dengan penjelajahan dari buku sumber-sumber yang ada dan temuan data-data baru ini menyebabkan munculnya penafsiran-penafsiran baru terhadap sumber tertulis yang menyangkut arti dan suasana yang terdapat didalamya. Dengan demikian penulisan mencoba mengerti proses analisis dan sintesis.
Analisis dapat diartikan menguraikan. Hal ini dikarenakan dalam sebuah sumber memberikan beberapa kemungkinan. Dengan diuraikan peninggalan dari perjalanan sejarah wilayah Lumajang. Dengan  ini dapat diharapkan ditemukan fakta sejarah. Sedangkan langka selanjutnya adalah tahap sintesis yang baru berati menyatakan data. Dengan sintesis juga memberikan harapan hasil bentuk sebuah konsep.
Proliferasi tema menimbulkan apa yang disebut sejarah diplomasi, sejarah politik, sejarah lembanga, sejarah gereja (lebih luas dari agama), sejarah intelektual dan lain-laianya. Alasan ini cara termudah untuk mempelajari masa lalu. Memang begitu luas kegiatan hidup manusia di masa lalu sehingga terpaksa ditulis sejarah menurut tema-tema yang disukai oleh para sejarahwan. Hanya kelemahan jika mengunakan “visi terowongan” semacam sejarahwan tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh sejarahwan lain atau karena satu tema lalu menjadi “determistik”. Oleh sebab itu, disamping tema sentral (politik, ekonomi, sosisal, budaya), dalam diskripsi, narasi atau analisis perlu mengunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial atau mengunakan metode komperatif (Sjamsuddin, 1996:167-168)
5. Histriografi
Historiografi adalah penulisan sejarah yang merupakan keseluruhan pengerahan daya pikiran sejarawan melalui keterampilan teknis menggunakan kutipan-kutipan dan catatan-catatan serta pikiran-pikiran kritis dan analisisnya. Keberartian semua fakta yang dijaring melalui metode kritik baru dapat dipahami hubungannya satu sama lain setelah semuanya ditulis dalam suatu keutuhan bulat historiografi. Penulisan sejarah juga muncul ketika seseorang ingin mengetahui asal dan arah tujuan manusia yang bermula dari usaha untuk menempatkan diri di tengah alam dan lingkungan serta untaian waktu  (Abdullah, ed. 1978: 9).
Ketika sejarawan sudah memasuki tahapan menulis, maka ia menggerakkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikaran kritis dan analisisnya karena ia pada akhirnya harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuh. Hal inilah yang disebut historigrafi. Kebenaran (signifikasi) semua fakta yang dijaring melalui metode kritik baru dapat dipahami hubungannya satu sama lain setelah semuanya ditulis dalam suatu keutuhan bulat historigrafi (Sjamsuddin, 1996:156). Dan penerapan historiografi yakni dengan menuliskan berbagai sintesa yang telah didapat dan dijadikan sebuah tulisan sejarah.
Hal-hal yang mendapat perhatian dalam tahapan historigrafi adalah aspek kronologi dan aspek sistematis. Dengan kedua aspek inilah, penulis mencoba menyusun historigrafi yang benar.
Pertama, prinsip kronologis, dalam merangkai fakta-fakta dalam sebuah tulisan, aspek urutan waktu menjadi menjadi pegangan yang paling utama. Ini merupakan bentuk jalan yang mempermudahkan penulisan dan menghasilkan kisah yang dapat dipahami berdasarkan urutan peristiwa. Kedua, menekankan aspek sistematis dalam menyusun dan merangkai fakta. Dengan perinsip ini juga diterapkan supaya dapat mempermudah pemahaman, terutama agar tidak ada pengulangan dalam pembahasan.
I.  Sistematika penulisan
Bab I PENDAHULUAN
a. Latar belakang
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Masalah
d. Manfaat penulisan
e. Kajian Pustaka
f. Landasan teori
g. Metode penelitian
h. Sistematika penulisan
Bab II  KEADAAN TEMPAT BENDA BERSEJARAH DAN PURBAKALA DI KABUPATEN LUAMAJANG
a.        Masa Hindhu-Budha
b.      Masa kolonial
c.       Masa pendudukan jepang
d.      Masa masa pergerakan
BAB III latar belakang sejarahnya
a.       Temapat benda bersejarah masa Hindhu-Budha
b.      Tempat benda bersejarah masa kolonial
c.       Tempat benda bersejarah pada masa pendudukan jepang
d.      Tempat benda bersejarah pada masa pergerakan
BAB IV PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BENDA BERSEJARAH DAN PURBAKALA DI SEKOLAH-SEKOLAH  KABUPATEN LUMAJANG.
a.    Lokasi sekolah dan letak keberadan benda bersejarah dan purbakala
b.    Rancangan pengembangan materi sejarah nasional bersendikan sejarah lokal
J. Daftar Rujukan
Abdullah, Taufik (editor)1978. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Arief S. Sadiman,dkk. 2008. Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Helius, Sjamsuddin. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Fattah, Nanang. 2008. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Gazalba, Sidi. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhatara Karya Aksara
Kuntowijoyo. 2003. Metodelogi Sejarah. Yogykarta: PT Tiara Wacana Yogyakarta kerjasama   Fakultas Ilmu Budaya UGM
Murtiningsih, Siti. 2004. Pendidikan Alat Perlawanan (Teori Pendidikan Radikal Paul Freire). Yogyakarta: Resist Book
Pribadi, Sikun. 1987. Mutiara Pendidikan. Jakarta: PT Karya Unipress
Punaji. 2008. Pemanfaatan Media. Tidak diterbitkan, naskah disiapkan untuk acuan pada pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) di PSG Rayon 15 Universitas Negeri Malang
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosadakarya
Soetopo, Heudyat. 2009. Manajemen Berbasis Sekolah dan Kurikulum Berbasis Kompetensi.(Bunga Rampai Pokok Pikiran Pembaruan Pendidikan di Indonesia). Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang
Suhartono, Suparlan. 2008. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group
Suyanto, K. E. 2008. Model-Model Pembelajaran. Tidak diterbitkan, naskah disiapkan untuk acuan pada pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) di PSG Rayon 15 Universitas Negeri Malang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar